Review Film Makmum 2

Kenapa hantu makmum perlu muncul lagi?

Makmum 2 ternyata masih mengandalkan berbagai penghargaan yang pernah diraih film pendeknya untuk menarik penonton. Padahal, kualitas dari film pertamanya, Makmum (2019) cenderung mengecewakan. Begitu juga dengan film horor terakhir yang dirilis oleh Dee Company dan Blue Water Films, Ghibah, yang malah lebih terasa komedinya dibanding unsur horor relijinya. Melihat trend negatif ini, saya pun sempat pesimis dengan salah satu film Indonesia yang menutup tahun 2021 ini.

Rini (Titi Kamal) kini masih menjadi pengurus asrama, tetapi sudah menikah dengan Ustadz Ganda. Sayangnya, sang suami sudah berpulang tiga tahun lalu dan kini Rini tinggal bersama anak mereka, Hafiz (Jason Doulez). Duka Rini bertambah ketika mendapat kabar bahwa tantenya di desa baru saja meninggal. Rini dan Hafiz pun sementara menetap di desa tempat tinggal Rini dulu. Ketika bermain petak umpet, Hafiz dan kedua temannya di desa menghilang, yang ternyata tengah tak sadarkan diri di hutan yang dipercaya warga desa terlarang untuk dimasuki.

Sebenarnya Makmum 2 punya banyak potensi untuk memiliki banyak layer konflik dalam naskahnya. Rasa kehilangan Rini yang dapat digali lebih, konflik warga desa yang menolak teknologi (meski hanya berupa listrik) karena alasan yang dangkal, semua dapat diusahakan masuk untuk mengganti plot jumpscare yang repetitif. Namun, film hanya mengandalkan premis akan adanya hutan terlarang di desa Rini. Kelak kita pun akan tahu gangguan yang terjadi di desa tersebut disebabkan oleh pembangunan masjid baru di desa tersebut, yang dipantau langsung oleh ustadz ternama di sana. Untung saja, permasalahan tentang warga desa yang menolak pemasangan listrik dapat diberikan resolusi singkat melalui Alif (Samuel Rizal), teman lama Rini yang pindah lebih dulu dari kota ke desa.

Sejak film sebelumnya, kita sudah tahu bahwa Rini memiliki ability untuk merasakan kehadiran makhluk gaib, teman-teman semasa kecilnya di desa pun sudah tahu itu. Namun, film tetap membuat mereka memiliki karakter yang skeptis terhadap terawangan Rini. Di film ini, kita akan bertemu Aisyah (Marcella Zalianty) dan Lastri (Dea Panendra), yang mana anak-anak mereka pun senasib dengan Hafiz. Film sempat membuat penonton berasumsi bahwa mereka memiliki motif lain untuk skeptis terhadap pandangan Rini. Hanya saja, alasan tersebut lemah atau tidak pernah diungkap mengapa. Secara keseluruhan pun, formula cerita dari film ini tidak begitu istimewa. Yang mengejutkan, dan ternyata obvious adalah pilihan konklusi dari film ini yang turut mengajak penonton untuk menjaga lingkungan layaknya aktivis Greenpeace.

Ketika saya menonton film ini hingga akhir, saya menemukan cukup banyak referensi film horor lain yang kembali muncul di film ini. Sebut saja jumpscare gangguan setelah salat seperti pada Pengabdi Setan (2017) atau penampakan frontal ketika salat/berdoa seperti pada Danur 2: Maddah (2018) dan Asih (2018). Referensi dari film horor luar pun saya dapatkan, seperti premis hutan terlarang layaknya The Forest (2016), penampakan anak kecil yang creepy seperti pada Sinister (2012), atau makhluk gaib yang menipu mediatornya seperti pada The Medium (2021). Cukup komplit bukan? Sementara itu, sajian horor asli dari film ini – penampakan hantu khanzab yang mengganggu salat – benar-benar dimunculkan dan cenderung overused. Bahkan ada satu titik dimana saya sudah tidak kaget lagi ketika film menunjukkan adegan salat. Penampakan hantu khanzab memang selalu ada, hanya saja waktu kemunculannya berbeda-beda. Hal ini, bagi saya justru memberikan nilai minus terhadap film ini.

Sisi positifnya, film ini lebih berani menunjukkan rupa penampakan yang lebih seram. Makhluk gaib yang muncul pada film ini pun ditunjukkan lebih sadis, lebih manipulatif, lebih nekat melukai dibanding pada film pertamanya. Untuk menaklukkannya saja tidak cukup dengan satu kali bacaan ayat kursi. CGI yang digunakan pun agak lebih baik, tidak konyol. Sayangnya efek visual pada adegan klimaks masih seperti efek visual yang lazim kita lihat di FTV azab. Ini dapat menjadi nilai plus untuk film ini. Namun, sekali lagi, negatif ditambah positif, hasilnya akan cenderung netral.

Akhirnya, film ini tampil sebagai sebuah sekuel yang tidak terlalu dibutuhkan. Sebab dari selesainya konflik utama dari film pun cenderung ambigu. Dengan demikian, tidak salah jika saya berasumsi bahwa film ini masih berupa fan service untuk film pendeknya yang fenomenal. Dengan demikian, nilai saya untuk Makmum 2 adalah 4 dari 10.

3 thoughts on “Review Film Makmum 2

  1. Pingback: Review Film KKN di Desa Penari | Notes of Hobbies

  2. Pingback: Review Film Qorin | Notes of Hobbies

  3. Pingback: 5 Film Ter-Tak Terduga dan Mengecewakan Semester 1 Tahun 2023 | Notes of Hobbies

Leave a comment