Multireview Edisi 29: 6 Film Indonesia Mei 2024

Di bulan Mei lalu cukup banyak film menarik yang ditawarkan baik di bioskop maupun layanan streaming. Untuk kasus film Indonesia, dua film bioskop tayang lebih awal di akhir April karena efek libur di Hari Buruh. Ada juga film horor yang mengeksploitasi sebuah tragedi, yang sengaja saya hindari karena tidak ingin menambahkan statistik jumlah penontonnya. Sisanya ternyata bergenre horor jika mengabaikan Tuhan, Izinkan Aku Berdosa yang sudah pernah saya tonton dan ulas tahun lalu. Maka itu, keenam film yang akan diulas singkat kali ini cenderung seragam. Hanya saja semuanya tetap memberikan pengalaman horor yang beragam.

1. Menjelang Ajal

Dalam dua tahun ini, ada tren Alam Barzah Cinematic Universe (ABCU) yang merupakan istilah untuk film-film yang judulnya menggambarkan proses pengalaman maut. Titik akhirnya adalah siksa neraka yang versi filmnya sudah tayang tahun lalu. Menjelang Ajal termasuk dalam salah satunya, yang premisnya ternyata bukan tentang upaya untuk menghindari kematian. Peristiwa kematian utamanya dialami oleh Sekar (Shareefa Daanish), seorang ibu yang sulit merenggang nyawa karena terikat perjanjian dengan jin yang memberikannya ajian penglaris untuk warung nasinya. Sekar mengambil jalan pintas tersebut untuk menafkahi ketiga anaknya: Dani (Daffa Wardhana) yang berselisih dengannya karena lebih memilih untuk bekerja di bengkel alih-alih kuliah, Ratna (Caitlin Halderman) yang masih duduk di bangku SMA dan berpacaran dengan lelaki yang lebih tua, dan Dodi (Shakeel Fauzi) yang paling bungsu.

Alur ceritanya sempat menipu penonton, seolah ada kompetitor yang ingin menjatuhkan Sekar ketika serangkaian keanehan terjadi di warungnya. Padahal, inti dari naskahnya hanya menunjukkan konsekuensi yang diterima Sekar ketika perjanjiannya dilanggar. Di paruh awal, banyak penggambaran menarik tentang efek pesugihan di tempat makan yang justru menghancurkan usahanya, alih-alih menambahkan untung. Di samping itu, tersaji juga drama yang menyorot kesungguhan Dani untuk membuktikan bahwa dirinya bisa sukses tanpa kuliah dan konflik antara Ratna dan kekasihnya yang kelak mudah dilupakan karena tidak penting adanya. Sementara itu, hubungan antara Sekar dan anak-anaknya terungkap terlalu singkat karena banyak disajikan dalam adegan kilas balik. Maka, resolusi yang dipilih akan hubungannya dengan sang anak sulung malah terkesan curang, memberi jalan termudah untuk segera menyelesaikan teror yang dialami Sekar dan anak-anaknya.

Aspek horornya sendiri masih banyak mengandalkan jumpscare tak berinti yang dieksekusi dengan scoring berisik. Tujuannya kebanyakan hanya untuk menakuti Dodi. Untung paruh keduanya punya banyak adegan gore yang tidak malu-malu dengan jumlah korban yang maksimal. Walaupun aspek ceritanya sengaja dikorbankan dengan adanya plot bodoh dan suasana janggal ketika Sekar hendak diobati (amati suasana kediaman sang dukun ketika sebelum dan sesudah klimaks!). Secara keseluruhan pula, kengerian yang dihadirkan pada film ini bisa dimaksimalkan berkat penampilan Shareefa. [4/10]

2. Possession: Kerasukan

Sejujurnya, saya tidak begitu paham dengan cerita pada Possession (1981), karya Andrzej Zulawski yang penuh metafora. Remake versi Indonesianya, walaupun bertutur lebih sederhana dan menggunakan elemen horor yang lebih dekat dengan kita, ternyata lebih tidak saya pahami. Alhasil, selama 93 menit durasinya saya hanya berhasil menikmati latar tempat yang cukup berhasil disulap menjadi lebih lawas dengan suasana yang begitu sepi. Secara ceritanya, film ini bagi saya hanya bisa dianggap sebuah remake selama paruh pertamanya. Karena premisnya setia dipertahankan, tentang seorang istri yang meminta cerai ketika suaminya baru pulang dari sebuah tugas negara.

Sosok istri tersebut kini bernama Ratna (Carissa Perusset) dan suaminya bernama Faris (Darius Sinathrya). Ceritanya dibuka dengan pemandangan yang kurang lebih sama, menunjukkan Ratna yang sudah tidak ingin mempertahankan rumah tangganya. Naskahnya tegas memposisikan Faris sebagai suami yang menjadikan istrinya sebagai pelayan belaka. Upaya Faris untuk mencari tahu alasan sebenarnya dari Ratna, secara keseluruhan tersaji kurang menarik. Mungkin karena durasinya kurang atau ada plot lain yang lebih mencuri perhatian. Seperti pertemuan Faris dan Mita (Sara Fajira), asisten Ratna yang justru menyukai Faris. Penegasan bahwa film ini adalah tentang wanita yang mencoba bebas pun beberapa kali ditampakkan melalui penggunaan lagu Sabda Alam. Tentu lirik “wanita dijajah pria” yang mendapat highlight.

Jika Possession versi Zulawski memiliki alien yang menyerupai gurita, maka sosok monster di versi Robby Ertanto menghadirkan pocong, sosok setan yang sudah familiar bagi penonton Indonesia. Sayang penampakan sang pocong tidak pernah dieksekusi benar-benar menyeramkan. Perbedaan tersebut tentu membuat penyebab sejati dari kerasukan yang dialami Ratna juga berbeda. Ketika diungkap, cerita yang tersaji makin tidak jelas berkat sebuah twist dari sosok antagonis yang bodoh. Kesan serupa juga muncul ketika adegan kesurupan ikonik dari Isabelle Adjani coba direka ulang oleh karakter Mita alih-alih Ratna. Saya pun semakin dibuat bingung dengan gimmick dari Budi (Sultan Hamonangan), anak Ratna dan Faris di penghujung film. [3/10]

3. Do You See What I See

Sebagai sebuah film adaptasi, Do You See What I See begitu khas karena materi aslinya diambil dari salah satu episode pada siniar berjudul sama. Inti episodenya yang tidak sampai 10 menit menceritakan kisah pendengarnya yang pernah memiliki teman kuliah yang berpacaran dengan pocong. Ide tersebut dikembangkan sebagai naskah film oleh Lele Laila dimana para pemerannya dikisahkan sebagai sahabat. Tokoh utamanya adalah Mawar (Diandra Agatha), yang merayakan ulang tahunnya ke-20 bersama kedua sahabatnya, Vey (Shenina Cinnamon) dan Kartika (Sonia Alyssa). Malamnya, Mawar berziarah ke makam kedua orang tuanya. Sejak saat itu, Mawar tampak bahagia karena mengaku sudah memiliki pacar. Namun, kemudian Mawar menunjukkan tingkah laku aneh yang diamati oleh kedua sahabatnya.

Mengisi 109 menit durasinya, naskah cukup berhasil membuat penonton peduli pada pada karakternya. Mawar memang bersahabat dengan Vey dan Kartika karena tinggal di rumah kos dan berkuliah di kampus yang sama. Namun, mereka dipersatukan karena keadaannya yang sama-sama sendiri. Walaupun memiliki kekasih, Vey tidak tahu kalau dirinya diselingkuhi. Kartika terobsesi dengan idolanya dari luar negeri. Mawar belum pernah berpacaran, pun hanya memiliki seorang adik di keluarganya. Asal dari kekasih Mawar yang ia panggil Mas Restu pun kelak diungkap, dielaborasi, yang mana berkaitan dengan adegan pembuka pada film ini.

Elemen horornya sendiri cukup mengingatkan pada apa yang sang sutradara lakukan pada Sunyi (2019) lima tahun lalu. Momen menegangkan kebanyakan berasal dari suasana sepi, tak mengandalkan musik yang menusuk telinga. Beberapa penampakan tujuannya memang murni untuk menakuti penonton saja, termasuk jumpscare berupa ketukan pintu. Namun, hal tersebut bisa diampuni lewat tepatnya momentum ketika wujud asli Restu diungkap. Sayangnya, babak ketiganya bergulir tampak lamban, bisa dibuat lebih efektif lagi. Begitu juga dengan keadaan keluarga Mawar di masa lalu yang bisa digali lebih.

Secara keseluruhan, saya hampir memiliki bias terhadap film ini karena jajaran pemerannya. Diandra yang memerankan Mawar punya senyum yang menawan di berbagai kesempatan. Termasuk ketika senyumnya menyembunyikan misteri besar dan menjemput bahaya untuk orang-orang di sekitarnya. Sementara itu, Sarah Felicia yang memerankan karakter cenayang pun turut mencuri perhatian dalam berbagai aksi pengungkapan misteri yang ia lakukan secara mendetil. [6/10]

4. Monster

Monster karya Rako Prijanto ini membuat tulisan ini menjadi memiliki 6 ulasan pendek. Lebih banyak dari tulisan multireview biasanya. Filmnya ditayangkan di Netflix, dan memang formatnya juga cenderung eksperimental. Selama 86 menit, kita akan melihat para karakternya tidak mengucapkan dialog apapun selain memanggil nama temannya atau berteriak. Artinya, ceritanya murni mengandalkan fokus kamera dan pemilihan scoring untuk menunjukkan seberapa teganng situasi yang sedang dialami karakter utamanya. Filimnya sendiri mengisahkan Rabin (Sultan Hamonangan) yang diculik oleh Jack (Alex Abbad) lalu dibawa ke sebuah rumah untuk kelak dieksekusi. Ternyata teman Rabin, Alana (Anantya Kirana) mengikuti mereka hingga menyusup ke rumah Jack. Alana harus bersembunyi sambil mencari cara untuk menyelamatkan Rabin yang dikurung.

Seperti yang sudah disebutkan, film ini bergulir bukan tanpa sedetik suara pun dari para karakternya. Kadang salah satu karakternya berteriak akan nama dari temannya, untuk memperkenalkan pada penonton nama mereka. Namun, tujuan tersebut sebenarnya tetap bisa dilakukan tanpa suara. Dengan cara mengalihkan fokus kamera pada sesuatu yang secara implisit menunjukkan nama mereka. Misalnya nama Alana dan Rabin jelas terlihat di seragam yang mereka kenakan. Dalam situasi yang membutuhkan mereka untuk berbicara panjang lebar pun, filmnya memilih untuk me-mute dialognya dengan latar musik. Namun, yang paling penting, apakah suasana di rumah Jack memang membuat Alana dan Rabin harus terdiam tanpa kata? Cukup meyakinkan untuk dibilang ya. Karena suara yang muncul, misalkan dari peralatan di rumah tersebut, senantiasa dihadirkan secara menegangkan. Sayangnya, beberapa scoring pada film ini mirip dengan suara barang-barang yang biasa ditemukan di rumah. Alhasil ada kesan ambigu yang dihadirkan.

Suasana menegangkan yang berhasil dibangun tak jarang dirusak oleh tindakan dari karakternya, yang bisa lebih tega lagi dalam bertindak. Naskahnya pun seolah mudah membuat karakter anak-anaknya untuk bisa melarikan diri, seperti mobil yang digunakan tidak bisa melaju lebih cepat dari sepeda milik anak-anak tersebut. Walau plotnya kadang membuat geleng kepala, film ini tetap memiliki momen ikonik yang benar-benar mengagetkan. Salah satunya adalah scene yang terinspirasi dari The Shining (1980). [5/10]

5. Malam Pencabut Nyawa

Film horor terbaru dari Sidharta Tata ini akan lebih familiar apabila menggunakan judul Respati alih-alih ikut relevan dengan ABCU sebagaimana Menjelang Ajal. Ceritanya sendiri diadaptasi dari novel fantasi berjudul Respati karya Ragiel JP. Judul tersebut diambil dari nama karakter utamanya yang diperankan Devano Danendra. Respati adalah siswa SMA yang mengalami insomnia sejak merasa bersalah akan kecelakaan maut yang menimpa kedua orang tuanya. Respati ternyata bisa memasuki mimpi orang lain yang membuat dirinya bertemu sosok misterius. Sosok tersebut ternyata menyebabkan kematian di dunia nyata.

Diantara keenam film yang dibahas kali ini, ini lah film yang paling potensial dilihat dari konsep cerita yang dibangun. Karakternya pun walau sedikit tetap menarik. Contohnya Wulan (Keisya Levronka), siswi pindahan di sekolah Respati yang ternyata seorang indigo dan memiliki trauma masa lalu berkaitan dengan orang tuanya. Ada juga Tirta (Mikha Hernan), informan bagi Respati yang setia membantu permasalahannya. Kehadiran ketiganya hingga babak kedua dari film ini, sayangnya kurang bisa mengemas cerita yang menarik. Padahal cukup banyak informasi yang disampaikan terkait hubungan Respati dengan wanita yang meneror di mimpinya, Sukma (Ratu Felisha) atau hubungan antar karakternya yang lain. Naskahnya juga ternyata memiliki twist perihal penyebab mimpi buruk yang dialami Respati, tetapi diungkap di momen yang kurang tepat. Narasi yang perlu diberikan catatan karena adegan penutup dari film ini pun memberikan isyarat akan kelanjutan petualangan Respati yang lebih menarik.

Elemen fantasinya ditunjukkan dalam porsi yang lebih besar dari perkiraan, yang mana merupakan sebuah hal positif. Karena menunjukkan sejauh apa naskahnya bisa mengonsep dunia nyata dan dunia mimpi yang menjadi latarnya. Kelebihan Respati ketika masuk ke mimpi orang lain sempat mengingatkan saya pada protagonis dalam Dream Scenario dimana kehadirannya memberikan pengaruh bagi sang pemilik mimpi. Kali ini, kemampuan tersebut digunakannya untuk menyelesaikan trauma yang dialaminya sejak awal film. Pertarungan akhir antara Respati dan Sukma juga tersaji lumayan mendebarkan. Kesan tersebut didukung desain karakter Sukma yang sejak diperkenalkan sudah menunjukkan gesture mengerikan. Ketika wujud seramnya diungkap, penampilan benar-benar mengerikan. Namun, cast yang perlu diapresiasi lebih adalah Keisya karena berhasil membawakan scene kerasukan Wulan dengan sangat baik. [6.5/10]

6. Temurun

Di antara keenam film yang dibahas kali ini, Temurun lah yang bagi saya paling mengecewakan dilihat dari potensi yang dimilikinya. Konon premisnya masih berkaitan dengan dampak dari buruknya kesehatan mental. Kali ini, debut naskah dari Vontian Suwandi mengajak kita berkenalan dengan Sena (Bryan Domani) dan Dewi (Yasamin Jasem) yang memulai hidup baru bersama ayah mereka setelah sang ibu tewas. Ayah mereka pun baru kembali ke hadapan mereka setelah bertahun-tahun meninggalkan keluarga mereka jatuh miskin. Ketika hendak memulai hidup baru sebagai pengelola usaha keluarga, ada ancaman besar yang membahayakan Sena dan Dewi.

Babak pertamanya begitu detil menunjukkan mengapa kakak beradik tersebut harus ikut ayah mereka untuk melanjutkan hidup. Permasalahan yang membuat ibu mereka kehilangan nyawa pun diselesaikan secara subtil. Penontonnya mudah menerka berbagai sebab akibat yang terjadi. Sayangnya, ketika pindah ke kediaman sang ayah, pengembangan karakter protagonisnya dipaparkan sangat cepat. Sena cepat akrab dengan ayahnya ketika sang adik masih dihantui duka. Yang paling parah, setelah berbagai misteri tentang keluarga Sena diungkap, filmnya terkesan ingin cepat-cepat selesai. Alih-alih memberi adegan penutup yang benar-benar mencekam, film ini justru ditutup dengan petuah yang agak menggurui tentang kesehatan mental.

Elemen horornya sendiri sejujurnya tidak ada yang benar-benar berkesan. Berbagai jumpscare yang dihadirkan murni untuk mengagetkan penontonnya dan tampak kurang seram. Padahal premis tentang rahasia keluarga dan adegan penutupnya terinspirasi dari dua film horor yang dieksekusi dengan sangat baik. Misterinya pun hanya dieksplor permukaannya saja. Berbagai petunjuk keanehan keluarga Sena yang sudah disebar sejak awal film tampak percuma karena konklusinya yang sederhana dan motivasi sanng antagonis yang mudah ditebak. [3/10]

Leave a comment