Review Film My Stupid Boss 2

Sejatinya film ini hanya memindahkan cerita ke-“tempe”-an Bossman dan Kerani (Diana) sampai ke Vietnam

Tahun lalu Reza Rahadian terlibat dalam film komedi produksi Falcon yang terbilang gagal secara cerita dan humor. Tahun ini, Reza kembali memainkan peran Bossman dalam film komedi dari rumah produksi yang sama dan memiliki harapan kesuksesan My Stupid Boss pada tahun 2016 akan terulang kembali.

Film ini menceritakan kembali kisah Diana/Kerani (Bunga Citra Lestari) yang masih bekerja untuk Bossman (Reza Rahadian) setelah batal untuk resign di film sebelumnya. Film mempertahankan premis bahwa Diana adalah tangan kanan Bossman dan tempat para karyawan lain berkeluh kesah atas ketidak bijaksanaan Bossman di kantornya, termasuk para buruh kayu yang beramai-ramai keluar perusahaan akibat kekikiran Bossman yang sekaligus menjadi premis awal konflik pada film ini. Banyaknya pekerja yang resign lantas membuat perusahaan krisis karyawan. Di saat yang bersamaan Bosssman akan menghadiri suatu acara di Vietnam. Memanfaatkan momentum ini, akhirnya Bossman berangkat ke Vietnam sambil mencari karyawan pabrik baru di sana. Untuk kepentingan tersebut, Bossman pun mengajak Diana, Mr. Kho, dan Adrian ikut dengannya dan menyisakan dua pekerja lainnya di kantor Malaysia. Berikutnya, mengisi separuh durasi film fokus pada tingkah laku Bossman yang membuat Diana dan kedua temannya merasakan business trip yang lebih mengesalkan, dipenuhi berbagai masalah, dan melelahkan dibandingkan pada saat mereka mengantarkan pintu besi ke hutan di film sebelumnya. Meski sedang berada di Vietnam, ulah Bossman pun berdampak pada kedua pegawainya yang tinggal di kantor Malaysia. Kedua pegawai Bossman yang tidak ikut ke Vietnam malah kedatangan dua kelompok gangster yang hendak menagih hutang Bossman yang menumpuk.

Sebagai sebuah komedi, film ini cukup berhasil membuat tertawa, terutama bagi penontonnya yang masuk dalam kategori sudah bekerja. Beberapa komentar positif terhadap jenakanya film ini mungkin muncul dari mereka yang pernah senasib dengan Diana atau memiliki atasan yang menyebalkan. Film ini seolah berhasil menyulap setiap permasalahan yang dihadapi para karyawan Bossman menjadi suguhan komedi yang batal membuat kita merasa kasihan pada setiap objek penderita di film ini. Termasuk adegan rivalitas kedua kelompok gangster penagih hutang yang akhirnya malah dibelokkan menjadi adegan battle dance yang mengocok perut. Namun kita masih dapat merasa iba kepada Diana dan pegawai asal Indonesia lainnya yang sulit mendapatkan izin untuk libur dan ikut Pemilu. Tidak lupa juga kepada para buruh pabrik yang memilih tidak ikut resign karena merasa tidak kompeten untuk mencari pekerjaan lain. Keberhasilan film ini menjadi sajian yang menghibur para salary man yang menontonnya tentu berkat aktingnya Reza Rahadian. Entah mengapa pula film ini menjadi film Reza Rahadian yang saya paling sukai.

Namun aspek humor pada film ini mungkin saja dapat berubah menjadi aspek geram dan kesal dari para penonton yang sudah tahu semenyebalkan apa Bossman di film sebelumnya. Hanya saja kekesalan kita bukan hanya kepada Bossman tetapi juga pada para pegawainya yang terkadang ikut terbawa bodoh. Jika film ingin memberikan pesan tidak langsung bahwa kebodohan itu menular, maka film cukup berhasil. Secara jalan cerita, saya dapat mengatakan bahwa film ini hanya memindahkan cerita tentang seberapa menyebalkannya Bossman ke negeri Vietnam, tidak kurang dan tidak lebih. Di Vietnam pun ulah Bossman turut berdampak pada mantan koleganya di Vietnam yang dieprankan oleh Morgan Oey. Segala unsur cerita yang ada di film pertama dapat kita temukan lagi di film kedua ini, termasuk prinsip Bossman yang diam-diam dermawan dan merahasiakan sisi baiknya itu. Baik bagi Bossman ataupun tokoh lainnya, tidak ada pengembangan karakter yang diberikan lebih jauh dari film sebelumnya. Setiap karakter tokoh dibiarkan sama dengan film sebelumnya. Pengembangan karakter yang dapat ditemui pada film ini mungkin hanya terkuaknya nama asli Bossman yaitu Hendrik Suryaman, dan juga fakta bahwa nama kontak Bossman di WhatsApp suaminya Diana adalah Bro. Tidak lupa film juga mengulang premis bahwa Bossman pun senantiasa mempengaruhi kehidupan rumah tangga Diana dan suaminya. Secara keseluruhan, film diceritakan dalam pola cerita yang sama dengan film sebelumnya, akhirnya pun serupa tapi tak sama. Kurangnya lagi, film tidak lagi melafalkan slogan “impossible we do, miracle we try” ala Bossman. Sepertinya karena film sudah merasa cukup untuk menjadikan sifat Bossman yang kikir tapi dermawan sebagai signature dari franchise mereka.

Singkatnya film ini sukses menjadi film yang menghibur walaupun tidak ada pengembangan karakter yang signifikan terhadap para tokohnya. Nilai subjektif saya untuk film ini adalah 5 dari 10.

Leave a comment