Daily Archives: April 16, 2019

Review Film MatiAnak

Saat keluar studio lalu melihat kembali poster ini di dinding bioskop, di situ saya sadar bahwa poster film ini adalah juga spoiler dari film ini.

Bila kita mendengar nama Derby Romero di tahun ini, maka kita akan langsung teringat pada perannya dalam komedi satir yang ceritanya mendapatkan respon positif secara tak terduga, Orang Kaya Baru. Kini Derby mencoba peruntungannya menjadi sutradara film horor perdananya. Secara tak terduga pula, debutnya mendapat penerimaan yang positif dan filmnya pun dikatakan sebagai Hereditary-nya Indonesia.

Film ini langsung dimulai dengan adegan pembantaian satu keluarga oleh sosok tak kasat mata. Anehnya, hanya anak bungsu mereka, Andi yang tidak ketakutan dan baik-baik saja, bahkan sulit untuk berbicara hingga kita menemuinya lagi pada pertengahan film. Keanehan tersebut membuat kita yakin bahwa Andi akan menjadi penyebab teror pada film ini. Setelahnya, kita langsung ditunjukkan Ina (Cinta Laura) dan anak-anak panti yang ia jaga. Panti Harapan Baroe ini dijaga oleh Pak Rosman (Yayu Unru) yang sangat galak kepada anak-anak asuhnya. Galaknya Pak Rosman kemungkinan besar terkait dengan kondisi finansial panti yang harus tetap memberi makan anak-anaknya. Ketegangan pada film dimulai saat sang sutradara berkameo untuk menjelaskan rumah tempat pembantaian keluarga di awal film. Ditambah lagi, Andi yang “selamat” dari peristiwa itu malah dititipkan oleh kepala desa di panti tempat Ina bekerja. Kedatangan Andi yang semula ditolak Pak Rosman, karena keterbatasan makanan di panti, membuat Ina semakin berkorban untuk panti yang ia jaga dan membuat Andi supaya dapat diterima di lingkungan panti. Kebaikan Ina ini dikarenakan oleh dirinya yang di waktu kecil diasuh di lingkungan yang sama pula. Setelahnya, film menepati janjinya untuk mulai menebar keseraman setelah Andi bergabung di panti. Premis ketegangan di film ini adalah, panti yang ditempati menjadi berhantu sejak kedatangan Andi. Konflik akibat premis ini dibebankan lagi kepada Ina, yang harus menjaga anak-anak dari teror yang menunggu.

Film yang berlatarkan tahun 1990 ini sudah cukup baik ilustrasinya. Selain dari kalender dan narasi awal, klasiknya cerita pada film didukung dengan fakta bahwa uang 150 ribu rupiah sudah terbilang cukup banyak untuk membiayai hidup para anak panti, ditambah lagi penggunaan mobil tua dan mesin tik pada film. Pada babak awalnya, film pun sangat dapat dinikmati karena menampilkan karakter anak-anak panti yang natural dan cukup menghibur yang terkadang membuat kita teringat akan Kuntilanak yang juga diperankan anak-anak kecil. Memasuki pertengahan kedua dari film, film seolah berhenti menjadi film keluarga dan bertransformasi menjadi film horor sejati. Sesungguhnya unsur-unsur horor yang ditawarkan pada film ini terbilang common, tetapi tetap disampaikan dengan baik dan tidak berlebihan. Yang paling saya suka dari film ini adalah tidak adanya adegan-adegan bodoh saat para tokoh dihantui. Para tokoh tampak melakukan hal yang sudah benar saat tragedi pada pertengahan film terjadi, apalagi setelah kepergian Pak Rosman dan teman pengasuhnya Ina, menjadi tidur bersama di lantai yang sama instead of di kamar masing-masing contohnya. Perubahan karakter Ina setelah kejadian tersebut bukanlah masalah yang merusak jalan cerita. Ina pun punya itikad untuk mencari kebenaran akan tragedi yang menimpa Andi dan mengumpulkan petunjuk dari pesan-pesan hantu yang menampakkan diri padanya, mengapa kata-kata sudah mati lari selalu disampaikan secara berulang oleh para hantu.

Adanya tokoh Jaka, yang merupakan pacarnya Ina sejatinya hanya pelengkap biasa seperti pada film-film horor kebanyakan. Pada akhirnya Jaka hanya bagaikan tokoh Hendra di Pengabdi Setan (2017) yang secara plot hanya berkontribusi sebagai otot dan kendaraan bagi Ina. Namun kekurangan film yang paling menonjol adalah bagaimana film terlalu cepat dalam menguraikan kebenaran demi kebenaran pada film, baik dari penjelasan kepala desa dan petunjuk yang ditemukan sendiri oleh Ina. Begitu juga dengan saat mencari petunjuk. Walaupun pertanyaan mengenai identitas Andi dan alasan ikut diserangnya si ibu donatur panti terjawab dengan baik, tetapi penyampaian pada cerita sangatlah cepat. Tampaknya film ingin sesegera mungkin diakhiri dengan “pertunjukan utama” di akhir cerita yang membuat para penontonnya mengatakan inilah Hereditary versi Indonesia.

Dibandingkan Hereditary ataupun Pengabdi Setan, film memilih untuk menampilkan “ending versi baik”. Opsi ini sekaligus menjadi pesan moral yang coba ditinggalkan film terkait kebaikan tokoh Ina sejak awal film. Kecepatan film pada pertengahan kedua dan eksekusi beberapa adegan memang tidak sebaik yang dilakukan di Hereditary, tetapi film ini tetap menjadi film horor Indonesia yang layak mendapatkan banyak penonton. Bahkan film ini deserved jam tayang yang lebih banyak dibanding My Stupid Boss 2 yang mulai tayang bersamaan. Untuk nilai akhir, debut Derby Romero ini saya berikan 7 dari 10. Ibarat juri audisi ajang pencarian penyanyi, nilai tersebut merepresentasikan “Yes” dari saya dengan harapan akan lebih banyak lagi film horor berkualitas dari sutradara atau rumah produksi yang sama.