Daily Archives: April 21, 2019

Review Film Sunyi

Kamu menonton film ini karena ada Amanda Rawles dan Angga Yunanda, atau karena diadaptasi dari horor Korea?

Label adaptasi dari sebuah film horor Korea adalah daya tarik utama film ini, bukan Amanda Rawles atau Naomi Paulinda sang dua pemeran jelita. Meski saya pun turut tertarik akan film ini berkat poin tersebut, saya akhirnya menonton film ini dalam keadaan sama sekali tidak pernah tahu cerita dan unsur-unsur perfilman lainnya dari Whispering Corridors. Dengan demikian, ulasan saya ini tidak akan membandingkan Sunyi dengan Whispering Corridors. Bagi yang penasaran akan Whispering Corridors, cukup tahu bahwa film tersebut muncul sebagai easter egg di film adaptasinya ini.

Angga Yunanda berperan sebagai Alex Pranoto, tokoh sentral di film ini. Mengingat Angga, maka kita akan mengingat pula bahwa tahun lalu ia berperan dalam Sajen, memiliki karakter yang mirip dengan di filmnya sekarang. Sajen dan Sunyi secara khusus memiliki kemiripan pada peran Angga, tipe sekolah yang dijadikan latar film, dan isu yang ingin diangkat untuk dijadikan pesan akhir pada film. Sajen sendiri memiliki premis akan adanya korban bullying yang kasusnya disembunyikan rapi-rapi di sekolah mewah dan penuh prestasi. Sunyi, pada latar yang lebih lampau memiliki setting di sekolah yang tradisinya lebih buruk dibandingkan sekolah pada Sajen.

Film dibuka dengan tragedi tewasnya tiga siswi SMA Abdi Bangsa karena ulah seorang siswi senior yang dijuluki Cindy Sadis. Kasus tersebut akhirnya menjadi urban legend yang cukup membuat Alex, si murid baru khawatir akan pilihan sekolah dari orang tuanya. Kemudian, isu senioritas yang menjadi dasar konflik pada film ini disampaikan langsung secara gamblang di awal film. Di sini senioritas yang dilakukan para kakak kelas Alex dinilai lumrah karena merupakan suatu tradisi rutin dan sarana pendidikan karakter melalui dialog para tokoh pendukung. Narasi ini jelas merupakan sindiran bagi mereka yang masih menjustifikasi praktik senioritas dan perundungan di sekolah. Film pun menghiperbolakan isu ini dengan mendetilkan banyak aturan yang diberlakukan untuk Alex dan siswa kelas 1 lainnya. Aturan-aturan di sekolah ini seperti tidak boleh menggunakan toilet, kantin, dan perpustakaan, juga sebutan “Budak” bagi para junior sukses membuat tertawa dan kesal di saat yang bersamaan, dalam kadar kesal yang setingkat dengan ulah Bossman di My Stupid Boss 2. Apalagi budaya sekolah ini yang memiliki hirarki Budak – Manusia – Raja – Dewa sebagai status sosial para murid dan alumni di sekolah ini.

Suasana horor dimulai melalui premis yang sudah familiar digunakan oleh film-film horor Asia lainnya. Suasana pada film pun mengingatkan kita ke jaman dimana film horor masih efektif menakuti tanpa efek yang berlebihan. Film nyaris tidak memiliki efek visual dan audio yang berlebihan namun tetap sukses memberikan jumpscare yang efektif. Misalnya, suara teror di lab bahasa dan adegan loncat ke kolam renang. Bagi penonton awam, pengambilan gambar pada beberapa scene pun enak diikuti.

Dari segi tokoh, pembagian karakter pada tokoh-tokohnya terbilang efektif. Termasuk tokoh guru olahraga yang diperankan Verdi Solaiman, setiap tokoh memiliki kontribusi yang proporsional terhadap isu yang ingin dibawa oleh film. Konsekuensinya, film menunjukkan interaksi antar siswa di sekolah secara terbatas. Sepanjang film, kita hanya melihat Alex berteman dengan Maggie, siswi yang mencuri perhatiannya saja. Tidak pernah ditunjukkan bagaimana Alex bergaul dengan teman sekelasnya misal. Tokoh senior yang muncul di sekolah pun hanya trio Erika, Fachri, dan Andre saja yang masing-masing diperankan oleh Naomi Paulinda, Teuku Rizki, dan Arya Vasco. Namun setiap tokoh diberikan pengembangan karakter yang cukup berdasarkan porsi kemunculan masing-masing tokoh melalui dialog yang singkat. Lingkup cerita pun benar-benar fokus pada kejadian di sekolah saja, tidak pernah film mengambil latar di luar sekolah Alex. Pengembangan karakter Alex pun hanya meluas di titik diantarkannya Alex oleh mobil ibunya. Padahal akan lebih menarik jika karakter Alex ini lebih dibawa keluar sekolah mengingat latar belakang keluarganya lah yang berkontribusi atas premis awal pada film.

Katanya biasa melihat hantu, tapi nonton film horor kok masih takut histeris?

Film ini tentu memiliki plot twist, mudah ditebak oleh penonton film horor yang sudah berpengalaman bahkan. Memasuki awal paruh kedua pada film, saya pun sudah yakin akhir seperti apa yang akan terjadi. Namun, alur cerita dalam menyampaikan twist tersebut cukup mulus. Twist yang ada pun menjelaskan beberapa kontradiksi yang terjadi sebelumnya mengenai Maggie, misalkan mengapa ia yang mengaku mampu melihat makhluk gaib juga tetapi takut menonton film horor? Mengenai aspek horor pada film, hantu ketiga siswi pada film ditampilkan dengan looks yang konsisten hingga akhir film. Peran para hantu pada film ini secara singkat adalah arwah yang berusaha berkomunikasi dengan tokoh protagonis dan “mengadili” para antagonis. Akhirnya, mereka pula lah yang menguak kebenaran akan urban legend di sekolah mereka. Sebagai bonus, baru di akhir film lah kita dapat menerima mengapa film ini diberi judul Sunyi.

Pada akhirnya film memilih ending yang tergolong baik akan nasib beberapa tokoh dan masa depan tradisi senioritas di sekolah Alex. Yang kecewa akan ini mungkin hanya penonton yang mengharapkan akhir yang more bleeding. Namun film sempat membuat plot hole yang akhirnya tidak dijelaskan kembali, seperti ucapan “berbohong demi kebaikan” dari mulut ibunya Alex. Dengan demikian, secara keseluruhan saya memberikan nilai 7 dari 10 saja untuk film ini. Jika latar belakang keluarga Alex lebih dikembangkan, mungkin nilai dari saya akan lebih tinggi lagi.