Daily Archives: August 17, 2019

Review Film Makmum

Benarkah film ini membuat penonton enggan melakukan salat malam?

Makmum merupakan versi panjang dari sebuah film pendek berjudul sama yang diproduseri oleh Riza Pahlevi. Walaupun memenangkan banyak penghargaan, Makmum versi pendek sempat menuai kontroversi karena dianggap menakut-nakuti orang yang hendak salat pada malam hari (baik Isya maupun Tahajud). Namun justru menurut sang produser, film ini ada untuk mengingatkan penontonnya bahwa ada ibadah salat Tahajud selain salat-salat yang diwajibkan setiap harinya.

Makmum dimulai dengan menceritakan gangguan mistis yang dialami Nurul, Nissa, dan Putri (kali ini saya tidak menyebutkan nama aktris yang memerankan mereka seperti biasanya, karena memang kurang memperhatikan) di sebuah asrama putri ketika malam hari. Nurul merasa ada arwah yang mengikuti salat malamnya sedangkan Putri mendadak pingsan setelah kesurupan. Mereka bertiga merupakan siswi yang harus menghabiskan liburan mereka di asrama karena nilai akhir mereka di bawah rata-rata. Di asrama, mereka tinggal bersama Rossa, kepala asrama yang sangat keras, disiplin, dan skeptis. Selain Rossa, ada juga Pak Slamet, penjaga asrama dan Bu Kinanti, mantan kepala asrama yang lumpuh dan sulit berbicara. Rini yang pernah bersekolah dan tinggal di asrama putri tersebut menjadi penghuni asrama baru sebagai tutor dan langsung akrab dengan ketiga siswi. Rini kembali ke asrama berkat undangan Bu Kinanti, selain karena dirinya yang memang diusir dari kontrakannya karena menunggak biaya sewa. Di asrama tersebut, Rini yang semula pengurus jenazah di rumah sakit juga mengalami kejadian-kejadian aneh. Rini yang percaya akan keberadaan makhluk gaib pun merasa arwah makmum yang senantiasa mengganggu ketiga siswi asrama hendak menyampaikan sesuatu kepada mereka.

Meski memiliki premis yang unik, yakni adanya arwah yang mengganggu ketika sedang salat, film ini tetap dikembangkan mengikuti template film-film horor Indonesia lain kebanyakan. Misalnya, adanya tokoh yang diganggu dan tokoh yang tidak percaya hantu, yang dalam film ini diejawantahkan kedalam tokoh ketiga siswi asrama dan Rossa. Kemudian ada tokoh yang open-minded terhadap hal mistis yang dialami, dan berusaha mencari tahu sebab dari gangguan yang terjadi. Porsi tokoh tersebut pada film ini untungnya ada, dan diambil Rini yang diperankan Titi Kamal. Untungnya lagi jumpscare dari film ini tidak berlebihan dan berada pada taraf yang konsisten walaupun tetap ada adegan bodoh pada awal film. Penjelasan akan adanya arwah yang mengganggu ketika salat pun cukup baik dipaparkan melalui karakter guru agama pada film. Tentang sosok yang mengganggu di asrama pun, tentu ada kebenaran yang akan terungkap di akhir cerita, yang disampaikan dalam plot yang wajar melalui “penghuni senior” asrama tersebut, Bu Kinanti dan Pak Slamet. Maksud plot wajar di sini adalah, tidak menggunakan plot twist yang memaksa.

Ketika latar belakang para siswi asrama dijelaskan secara singkat oleh Pak Slamet dan karakter Rini sudah dikembangkan sejak adegan di kamar mayat, tersisalah karakter Rossa yang paling menarik untuk dibahas. Rossa digambarkan sebagai kepala asrama yang menerapkan kedisiplinan dan sangat skeptis terhadap ketakutan yang dialami para siswi. Bahkan ia menganggap peristiwa kesurupannya Putri hanya pura-pura. Namun film hanya memberikan deskripsi tambahan tentang Rossa sebagai wanita yang baru bercerai untuk mendukung ketegasannya. Tidak dijelaskan motivasi Rossa untuk mengedepankan kedisiplinan di asrama yang ia kelola. Akhirnya ia malah lebih terlihat sebagai ibu tiri bagi para penghuni asrama. Saya termasuk orang yang senang ketika Rossa pun terlibat dalam adegan mencekam di akhir film, tetapi setelahnya kembali kesal dengan tokoh ini. Memangnya ia tidak memiliki empati sama sekali dengan peristiwa yang baru saja terjadi? Memangnya ia tidak peduli dengan “sejarah kelam” asrama yang ia kepalai? Penggambaran karakter dari Rossa ini bagi saya sangatlah berlebihan, bahkan hingga akhir cerita.

Mana yang lebih seram? Hantu yang selalu ikut salat malam atau kepala asrama rasa ibu tiri?

Saya sepakat bahwa bagian terburuk film ini terletak pada horror scene terakhir. Eksekusi ketegangan yang ingin diperlihatkan tidak maksimal dan serba tanggung. Saat menonton film ini saya beberapa kali berteriak dalam hati “Ayo lari!” sambil diselingi dengan Istighfar. Itu karena tokoh seperti Rini dan Pak Slamet yang kurang menggambarkan situasi gawat pada scene tersebut. Bahkan ada adegan yang berpotensi penuh darah, tetapi eksekusinya minimalis dan terlalu baik hati. Adegan penyelamatan yang melibatkan si guru agama pun tampak tidak efektif dan efisien. Hal positif dari akhir film ini hanyalah adegan kesurupan yang cukup realistis dan tidak berlebihan, seperti adegan serupa di awal film. Sebagai catatan tambahan, efek CGI yang digunakan film mengingatkan saya pada efek serupa di FTV horor.

Akhirnya film pun memilih akhir yang aman, berusaha memberikan ending terbaik bagi semua pemerannya. Namun pilihan happy ending for all tersebut tidak praktis menutupi dua kekurangan film yang saya sebutkan di atas. Saya memberikan nilai 4 dari 10 untuk film dengan horor berpremis unik ini. Jika sebelumnya saya memasang ekspektasi yang lebih rendah, atau jika akhir film ini dieksekusi dengan lebih baik, mungkin nilai akhir dari saya akan meningkat jauh.