Daily Archives: September 8, 2019

Review Film Kembalinya Anak Iblis

Akankah film ini berhasil menjawab rasa penasaran saya dari film sebelumnya?

OK. Tepat di postingan sebelumnya, saya mengulas film 13 The Haunted yang dirilis tahun lalu tetapi baru saya tonton di tahun ini. Sengaja, karena kali ini saya ingin membahas kelanjutan dari film tersebut, Kembalinya Anak Iblis yang baru dirilis hari Kamis lalu. Semula saya tidak tertarik sama sekali untuk menonton film ini mengingat kualitas dari film sebelumnya dan juga reputasi film-film milik rumah produksi yang merilis film ini. Hanya saja, saya penasaran dengan penyelesaian cerita yang diakhiri dengan tidak jelas pada film sebelumnya. Lalu, akankah film ini menjawab segala pertanyaan saya pada film sebelumnya?

Tepat setelah kejadian pada 13 The Haunted, Rama (Al Ghazali) dan teman-temannya menutup akun Youtube mereka. Jenazah Hana (Marsha Aruan) dan Fira (Mumuk Gomez) di pulau Ayunan pun belum ditemukan. Keadaan mereka diperparah dengan Celsi (Valerie Thomas) yang dirawat di rumah sakit jiwa, diketahui masih sering dihantui arwah anak kecil yang mati penasaran di pulau yang mereka kunjungi. Untuk menyelesaikan segala teror dan kesedihan, Rama mengajak teman-temannya untuk mencari mayat Hana dan Fira, kembali ke pulau Ayunan, dibantu Klara (Mikha Tambayong) dan Joy (Achmad Megantara) yang mengetahui cara untuk menghentikan teror arwah penasaran di pulau tersebut.

Trailer film ini sesungguhnya menjanjikan dalam menjawab tragedi apa yang sebenarnya terjadi di pulau Ayunan. Untuk menepati janjinya, film diawali dengan flashback terhadap kejadian tragis 13 bulan yang lalu, membenarkan semua anggota keluarga yang tinggal di sana dibantai oleh sang kepala keluarga demi mendapatkan “ilmu keabadian”, yang malah diakhiri aksi bunuh diri sang kepala keluarga. Ketika mengulas Gundala, beberapa teman turut mengkritisi berkat adanya beberapa peristiwa tidak logis yang terjadi pada film tersebut. Saya yang hanya menikmati filmnya tentu sulit untuk sadar. Namun kali ini entah mengapa saya banyak menemukan hal janggal pada film ini. Pertama, mengenai sang kepala keluarga yang membunuh keluarganya, mengapa ia akhirnya bunuh diri untuk mendapatkan keabadian? Yang ia lakukan tentu sangat bertentangan dengan yang ia inginkan. Dalam menyajikan latar tempat film ini pun, sang sutradara seolah hanya berpikir bagaimana menciptakan suasana yang seram pada setiap scene, makanya ia menyajikan latar rumah sakit jiwa yang tampak kuno dan sepi, juga toko buku yang sepi pula tak terawat di mana Klara dan Joy menemukan literatur mistis yang mereka perlukan.

Sesungguhnya inti cerita dari film ini adalah upaya Rama dan teman-temannya dalam mencari jasad teman dan adiknya, juga untuk menutup pintu dunia gaib yang diejawantahkan dalam 13 cara menutup Gapuro Tentrem. Sudah jelas film ini akan kembali mengulur waktu, mempersulit upaya para tokoh utama selama 84 menit durasi. Saya pun masih heran mengapa film ini dan film sebelumnya sangat terobsesi dengan angka 13. Bahkan ada satu dialog dari seorang tokoh yang mempertanyakan mengapa penyelesaian teror mereka harus dilakukan dalam 13 tahap? “Kan lebih cepat lebih baik,” katanya secara tidak sadar mengkritisi jalan cerita dari film ini sendiri. Ditambah lagi, ke-13 cara yang berasal dari buku yang ditemukan Joy tersebut tampaknya adalah cara-cara yang tampak sudah dikhususkan untuk dilakukan di pulau yang mereka kunjungi. Sungguh kebetulan yang sangat.

Jika dieksekusi dengan baik dan benar, sesungguhnya film pertama dan film kedua dapat digabungkan menjadi sebuah film horor yang solid seperti film-film produksi Hitmaker. Jika saya menulis naskah untuk film ini, teror di pulau Ayunan yang terjadi pada film sebelumnya akan saya kemas sebagai babak kedua film dengan menghilangkan plot “13 cara untuk melihat hantu”, kemudian penyelesaian film ini saya simpan untuk babak ketiga dan resolusinya tidak akan sebanyak 13 cara pula. Durasi totalnya kurang lebih akan sama dengan durasi dari Gundala. Jangan-jangan, film ini mencoba meniru It Chapter Two yang memiliki plot ritual untuk menghentikan Pennywise.

Mengapa film ini sangat terobsesi dengan angka 13?

Mencoba menambahkan konflik untuk film ini, kedua penulis naskah turut memasukkan drama cinta segitiga antara Rama, Klara, dan Joy juga drama ibu dan anak antara Celsi dan ibunya. Unsur drama tersebut tentunya hanya menjadi angin lalu yang mudah dilupakan, karena film masih sadar kewajibannya untuk mencacah 13 cara yang perlu ditunjukkan. Namun, karena terlalu fokus dalam berhitung dari 1 hingga 13, film sekali lagi melupakan siapa yang seharusnya di-highlight pada film ini berdasarkan judulnya, yakni arwah penasaran anak kecil yang menghantui Celsi di rumah sakit jiwa. Dan benar, bahkan akhir dari film ini tidak memberikan penyelesaian bagi sang anak iblis yang telanjur menghantui seisi rumah sakit. Alih-alih memberikan penyelesaian yang logis terhadap segala teror yang terjadi, film ini malah memberikan plot twist yang sangat tidak logis. Film ini tampak ingin dikenang dengan menampilkan twist yang tak terduga tersebut. Namun plot twist dari film ini tidak dibarengi dengan flashback yang menjelaskan mengapa hal tersebut dapat terjadi, juga kontradiksi dengan apa yang seharusnya menjadi konklusi cerita dari film ini. Saya seolah ingin berkata pada para penulis naskah film ini, “Membuat plot twist yang bagus itu tidak tiba-tiba seperti itu. Harus ada sebab akibat yang jelas dan logis walaupun tidak memberikan petunjuk-petunjuk kecil sejak awal film.” Lalu, apakah hal terburuk yang disebabkan plot twist tak beralasan tersebut? Cerita dan pengembangan karakter yang dibangun sejak film pertama pun ikut menjadi kacau.

Saya tampak menyesal setelah menonton film ini, yang menjawab berbagai pertanyaan pada film pertama secara tidak memuaskan. Walaupun memiliki premis untuk memberikan resolusi atas teror yang terjadi pada film pertamanya, film pertama yang tidak jelas ingin bercerita tentang apa pun tampak sedikit lebih baik. Akhirnya saya pun mempertahankan nilai 1 dari 10 (yang semula saya berikan pada aplikasi Cinepoint) untuk film ini.

Review Film 13 The Haunted (2018)

Inilah film horor yang terlalu terobsesi dengan angka 13

13 The Haunted menceritakan Rama (Al Ghazali) dan teman-temannya yang ingin membuat vlog yang dapat menyaingi video penelusuran tempat seram yang dibuat oleh The Jackal, akun vlog yang dikelola Klara (Mikha Tambayong) dan Joy (Achmad Megantara). Alih-alih membuat vlog di pulau Ayunan, pulau seram yang bahkan tidak ingin didatangi Klara, mereka malah menemukan pulau tersebut sebagai tempat liburan yang menyenangkan. Namun, satu persatu hal aneh mulai dialami oleh mereka yang tengah berliburan. Berkat peringatan dari Joy dan Klara, mereka yang tengah berlibur pun menyadari bahwa tragedi pembantaian satu keluarga yang terjadi 13 tahun lalu di pulau Ayunan benar adanya.

Film ini hanya tampak menarik karena menampilkan aktor dan aktris yang sedang naik daun seperti Al Ghazali, Steffi Zamora, Atta Halilintar, bahkan Chef Juna (yang untungnya tetap mendapatkan peran sebagai chef). Jika membicarakan kualitas akting dari para pemeran utama, yang tampil cukup baik adalah Mikha Tambayong dan Achmad Megantara yang memang sudah terbiasa mengolah peran. Setting dari film ini pun dieksekusi dengan cukup niat, terutama ketika menayangkan para pemeran kita yang berlibur di pulau Ayunan. Premis dari film ini seolah mengajarkan kita untuk tidak menantang bahaya demi konten media sosial dan popularitas, dan cukup efektif disampaikan melalui dialog Celsie (Valerie Thomas) dan Klara. Hanya saja setelah itu film malah seperti sedang meliput liburannya para anak orang kaya.

Memasuki babak kedua, film bertransformasi dari meliput liburan para pemerannya menjadi sajian horor yang tidak jelas tujuannya. Terlalu lama bercerita mengenai keseruan pengalaman Rama dan kawan-kawannya, film ini tetiba membangun cerita horor (yang sebenarnya tidak seram) yang berlatar belakang dari benarnya peristiwa tragis di pulau Ayunan. Lalu, apa yang kemudian diceritakan dalam film ini? Bukannya membahas kisah tragis tersebut, dan malah menampilkan plot baru tentang 13 cara melihat hantu. Film ini memang menyebutkan cara-cara melihat hantu tersebut dari nomor 1 hingga 13, dan membuat para tokoh kita makin terlihat bodoh. Akhirnya, film memilih skenario tentang menyelamatkan diri dari pulau berhantu tersebut tanpa menjawab pertanyaan penonton mengenai apa yang sebenarnya pernah terjadi di pulau tersebut? Memang akan ada film kedua untuk menjawab pertanyaan tersebut, tetapi alasan itu bukanlah menjadi pembenaran untuk memberikan akhir yang menggantung untuk film ini. Singkatnya, film tentang liburan ke pulau berhantu ini hanya diselesaikan dengan narasi 13 cara melihat hantu. Sungguh kasihan sekali tokoh-tokoh hantu pada film ini, tidak penting, tidak diberikan deskripsi sebab akibat mengapa mereka menjadi hantu.

Film yang terlalu terobsesi dengan angka 13 ini adalah alasan mengapa film horor berpremis “pergi ke tempat seram demi konten” sudah usang dan bukan ide yang baik untuk memulai sebuah film horor. Untung saja saya menonton film ini dari TV secara gratis. Untuk film ini, saya memberikan nilai 2 dari 10.

Sekuel dari film ini, Kembalinya Anak Iblis baru dirilis tanggal 5 September lalu. Bagi yang penasaran dengan latar belakang teror di pulau Ayunan, yang tidak diceritakan pada film ini, boleh saja menontonnya, tetapi risikonya mohon tanggung sendiri. Semoga film tersebut masih bertahan di bioskop (ketika kalian membaca tulisan ini).