Review Film Playing With Fire

Film keluarga yang tak terduga cukup menghibur

Playing with Fire yang dibintangi John Cena sejatinya bukanlah film tentang aksi para damkar dalam menjalankan tugasnya. Dikisahkan Jake Carson adalah komandan grup smoke jumpers (yang menurutnya berbeda dengan firefighters) yang bertugas di California. Ia terbiasa melakukan aksi pemadaman yang berbahaya bersama ketiga temannya, Mark Rogers, Rodrigo Torres, dan Axe. Suatu hari, keempatnya berinisiatif untuk menyelamatkan tiga anak bersaudara dari sebuah pondok yang terbakar. Mereka berhasil menyelamatkannya meski kurang disukai peneliti lingkungan setempat, Amy Hicks karena mereka mengambil air dari kolam habitat berudu yang sedang ia lestarikan. Setelah aksi tersebut, Carson dihubungi sang komandan divisi, Richard yang segera pensiun. Carson akan dijadikan kandidat pengganti Richard, dan dikirimkan form promosi untuk segera diisi.

Masalah muncul ketika orang tua ketiga anak yang diselamatkan tak bisa segera datang menjemput. Ketiganya, Brynn, Will, dan Zoey terpaksa harus diurus Carson dan kawan-kawannya berkat UU Perlindungan Anak. Namun, Will dan Zoey merupakan anak-anak yang susah diatur, Brynn pun seorang kakak yang pendiam. Kehadiran mereka membuat suasana kerja Carson menjadi kurang kondusif, apalagi ditambah kedatangan Amy yang meminta kesepakatan untuk menjaga lingkungan pada para damkar. Carson yang kurang bisa mengekspresikan kelebihannya dalam isian form yang dikirimkan padanya semakin kebingungan karena terdistraksi para penghuni baru di markasnya.

Sebagai sebuah film keluarga, film ini banyak memberikan momen yang menghibur melalui para tokohnya yang dibekali karakter yang cukup kuat. Carson adalah pemimpin yang kaku, canggung ketika berinteraksi dengan orang lain. Inspirasinya adalah ayahnya yang tewas dalam suatu aksi pemadaman. Rogers adalah sahabat sekaligus anak buah Carson yang setia, lebih humoris darinya. Rodrigo adalah seorang yang gugup sementara Axe adalah sosok menyeramkan yang pendiam dan selalu membawa kapak. Hiburan yang coba disajikan beberapa kali memang membuat tertawa, tetapi bermula dari adegan konyol dari para damkar yang kesulitan dalam mengurus anak-anak. Tentu yang kita tertawakan lebih ke situasinya daripada para tokohnya.

Interaksi antara para tokoh anak-anak dan damkar dikembangkan begitu pesat, membuat mereka bisa cepat akrab. Ketika keakraban mereka terjain, kenakalan para anak-anak yang gemar mengoprek pun mencapai klimaksnya. Puncak kekacauan yang mereka sebabkan kemudian membuka plot baru dari film, diawali dengan mengungkap kebenaran tentang orang tua Brynn dan adik-adiknya. Film pun beralih menjadi film keluarga seutuhnya. Film juga menambahkan plot tentang cinta tak terucap dari Carson kepada Amy.

Film ini berhasil untuk dapat diminati oleh semua kalangan penonton. Namun, tidak akan ada konflik yang benar-benar berkesan pada film ini. Keinginan dari setiap karakternya mudah dilupakan, termasuk misi Carson dalam menjawab semua pertanyaan di dalam form promosinya. Konflik mengenai tanggung jawab para damkar dalam menjaga markas dan memakai fasilitasnya pun dapat dikembangkan lagi, alih-alih langsung diberikan konklusi justifikatif.

Selain mendapatkan hiburan yang cukup segar, sepulangnya dari menonton film ini, kita akan sepakat bahwa lelaki tak perlu malu ketika menangis. Ditambah lagi, keluarga bukanlah sosok yang kehadirannya mengganggu pekerjaan kita. Meski kita akan mudah melupakan film ini, kita tak akan mudah dalam mengabaikan kedua pesan tersebut. Praktis, saya pun terdorong untuk menambahkan nilai bagi film ini, yang semula 6 menjadi 7 dari 10.

Leave a comment