In Depth Review: Negeri Di Bawah Kabut

Minggu lalu, kanal Youtube Negeri Films merilis sebuah film dokumenter yang meliput kehidupan para petani di desa Genikan, Magelang. Di waktu yang sama juga ketika itu di media sosial sedang ramai perdebatan mengenai privilege dan kerja keras. Semula saya termasuk golongan yang percaya bahwa kesuksesan seseorang benar hanya dipengaruhi oleh kerja kerasnya. Sampai saya menyimak beberapa konteks, saya turut berubah pikiran untuk percaya bahwa sebanyak apa modal privilege yang kita miliki lebih mempengaruhi kesuksesan kita kelak. Ketika saya menonton film ini, saya semakin yakin akan hal tersebut.

Selama 105 menit, fokus pada film dokumenter ini akan terbagi dua. Pertama, mengenai sepasang petani (Muryati dan Sudardi) yang mengalami gagal panen karena perubahan musim. Kedua, tentang kehidupan Arifin, seorang anak petani yang baru saja lulus sekolah dasar. Selama menonton tayangan ini, mungkin kita akan banyak membandingkan kehidupan kita dengan mereka, seperti bagaimana kehidupan kita saat di bangku sekolah dulu misalnya. Wajar, karena kisah mereka yang berhasil diliput sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Seselesainya film, banyak isu sosial dan nilai-nilai kehidupan yang dapat kita tangkap, dari yang sangat jelas hingga yang menimbulkan pertanyaan karena tersirat. Karena ditonton di masa seperti ini, saya pun sampai bertanya dalam hati “Bagaimana nasib mereka di hari ini? Di tengah pandemi yang sedang dunia hadapi kini?” Melalui artikel ini, saya akan berbagi apa saja hal-hal yang saya “bawa pulang” dari film ini.

Tentang Kepercayaan Setempat

Kepercayaan di sini, bukan berarti sebagai ajaran atau agama yang mereka anut. Di sana tak jauh berbeda dengan kita yang sudah familiar dengan aspal dan gedung-gedung tinggi. Maksudnya, tentang nilai yang mereka anggap benar. Selama bertani, petani setempat mengandalkan sistem kalender Jawa untuk menentukan kapan harus menanam bibit dan memanen hasilnya. Ketika musim berubah dan tidak lagi sesuai dengan perhitungan mereka, mereka hanya bisa bingung. Mereka tidak mengandalkan ramalan cuaca yang lebih ilmiah, murni berhitung dengan kalender yang dianut. Kebingungan mereka mengisyaratkan bahwa perubahan cuaca sangatlah mempengaruhi hasil panen mereka, tak bisa dianggap sepele. Bahkan kita akan melihat hasil tani yang gagal justru karena kebanyakan hujan.

Latar pada film ini cukup jelas, yakni pada tahun 2009. Pada film, kita akan melihat warga setempat juga melaksanakan pemilu pada tahun tersebut. Ada tiga pasang calon presiden dan wakil presiden, salah satu pasangan menang mutlak di desa mereka. Yang cukup menarik adalah bagaimana harapan mereka akan calon presiden tersebut. Mereka dengan ringan percaya bahwa jika sang calon terpilih, maka jalanan di desa mereka akan dibangun. Begitulah masyarakat di sana, yang menjadi sasaran empuk janji-janji calon pejabat yang hendak berkuasa. Pada film pun kita sedikit belajar tentang otonomi daerah tatkala tak semua desa kompak memutuskan untuk membangun jalan.

Tentang Pekerjaan

Para tokoh orang dewasa pada film sebagian besar merupakan petani. Kita akan melihat bagaimana mereka mengurusi bibit-bibit yang mereka tanam hingga menjual hasil panennya ke pasar lokal pada malam hari. Penghasilan yang mereka dapatkan tentu sangat minim, bergantung banyak hasil panen masing-masing dan dikurangi segala modal untuk panen berikutnya (bibit, pupuk, dsb). Jika Dark Waters mengingatkan kita untuk mengecek teflon di dapur masing-masing, maka film ini mengingatkan kita untuk berpikir kembali ketika menawar harga belanjaan di pasar. Praktis kita pun akan tergerak untuk membeli hasil tani sebisa mungkin langsung dari para petani.

Pekerjaan lain yang disorot pada film adalah pekerja tambang. Dikisahkan mereka mendapatkan penghasilan sedikit lebih banyak jika menjadi buruh tambang. Namun, tantangan yang dihadapi akan lebih kompleks dari mulai jarang pulang dan pekerjaannya yang lebih berisiko.

Tentang Anak-Anak

Arifin (12 tahun, SD) adalah anak yang paling diliput pada film ini. Melaluinya, film pun berhasil memaparkan keseharian anak-anak di desa tersebut selain sekolah. Anak-anak yang diliput umumnya dibesarkan oleh para orang tua yang tidak merasakan bangku sekolah. Namun, para orang tua tetap mau menyekolahkan anak-anaknya demi masa depan mereka. Bagi mereka, menyekolahkan anak adalah kesempatan untuk meningkatkan derajat mereka kelak. Meski demikian, motivasi anak-anaknya untuk mengenyam pendidikan bervariasi, ada yang serius belajar, ada yang bahkan mencoba kabur setelah dimasukkan orang tuanya ke pesantren.

Apa yang kalian lakukan sehari-hari seusai sekolah saat anak-anak? Bermain? Mengerjakan PR? Beruntung jika kalian dapat mengerjakannya tanpa perlu membantu pekerjaan orang tua. Karena pada film ini kita akan melihat keseharian anak-anak yang sebagian besar membantu bertani sepulang sekolah. Bahkan untuk belajar dan mengerjakan PR pun kadang tak sempat karena kesibukan tersebut.

Permasalahan akan gizi anak pun sedikit diliput ketika ada tokoh orang tua yang membandingkan postur tubuh anak-anaknya. Selain itu, ada adegan paling mengharukan yang terjadi di sekolah. Tatkala sang guru sedang membahas kelanjutan pendidikan anak-anak didiknya, ada seorang siswi yang bersedih. Ia bersedih, sambil dijadikan objek bercanda teman-temannya, karena ia harus berhenti sekolah dan rela dinikahi dengan tengkulak. Melihatnya, saya langsung ingin menghajar orang-orang yang berpikir bahwa privilege tak begitu mendukung kesuksesan seseorang. Jelas sang siswi tak mendapatkan privilege untuk tumbuh dan berkembang seperti anak-anak lainnya, apalagi merasakan pendidikan untuk mengangkat derajatnya.

Tentang Pendidikan

Isu ini paling disorot dari anak-anak yang diliput pada film. Pada bagian sebelumnya, saya menjelaskan bahwa anak-anak setempat juga bisa merasakan bangku sekolah, untuk pergi mengaji pun sempat. Namun, tentunya kualitas pendidikan yang dirasakan jauh di bawah standar sekolah negeri kebanyakan. Mereka tetap mendapatkan materi yang sama, tetapi dengan fasilitas apa adanya. Dalam menentukan kelulusan sekolah pun, mereka menggunakan standar yang sama, yakni Ujian Nasional yang dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia. Hasilnya, untuk sebuah sekolah relatif menyedihkan.

Ketika masih SMP saya pernah menonton berita tentang hasil Ujian Nasional di sebuah desa. Di salah satu sekolahnya, hanya satu siswa yang dinyatakan lulus berdasarkan standar nilai yang ditentukan pemerintah. Apa yang terjadi di sekolah tempat Arifin belajar agak lebih baik. Di kecamatannya, tingkat ketidak lulusan cukup tinggi, sampai 20%. Entah berapa orang yang dinyatakan tidak lulus di sekolah Arifin. Arifin, sang bintang kelas pun hanya mendapatkan nilai yang standar (rerata 7). Untung saja kini Ujian Nasional, walaupun masih dilaksanakan, tidak dijadikan penentu kelulusan. Karena sungguh tak adil jika sekolah yang memiliki segala keterbatasan harus menggunakan standar kelulusan yang sama dengan sekolah yang mewah dan nyaman.

Jika melihat 10 tahun setelah film diambil, saya jadi penasaran bagaimana perkembangan sekolah tersebut. Selain itu, saya pun penasaran bagaimana kondisi pendidikan di jenjang yang lebih tinggi? Andaikan pada saat itu ada wabah yang menganjurkan penduduk untuk diam di rumah seperti sekarang, apakah anak-anak yang sekolah terpaksa libur setahun penuh?

Saya percaya pendidikan adalah investasi. Biaya yang kita keluarkan untuk sekolah 12 tahun ditambah kuliah sampai menyelesaikan tugas akhir sungguhlah besar. Namun, pendidikan dapat menjadi akses untuk mendapatkan pekerjaan yang prospek dan menyejahterakan lingkungan sekitar. Ini adalah persoalan yang khusus dialami Arifin pada film. Ia harus menghadapi mahalnya pendidikan yang ia lanjutkan. Biaya pendaftaran bukanlah pengeluaran terakhir untuk Arifin bisa sekolah. Masih ada pengeluaran lain-lain yang menanti, mulai untuk uang jajan hingga buku pelajaran. Bantuan operasional dari pemerintah pun tidak dirasakan setiap sekolah, juga tak membuat sekolah benar-benar gratis.

Menonton film ini, kita bisa relate dengan mudahnya apabila kita pernah tinggal di desa yang sebagian besar penduduknya bercocok tanam. Kita akan menikmati percakapan tentang memenuhi kebutuhan sehari-hari. Diputarkan kembali, film ini akan selalu menjadi kritik untuk pemerintah akan pembangunan dan meratanya kualitas pendidikan. Meski zaman sudah berubah, teknologi semakin maju, gap tersebut akan selalu ada.

Leave a comment