Review Film Pelukis Hantu

Satu lagi komika yang menjalani debutnya sebagai sutradara, Arie Kriting.

Arie Kriting kini telah mengikuti rekannya sesama komika, Bene Dion dan Ernest Prakasa dalam menjadi sutradara sekaligus penulis naskah film panjang. Arie sendiri sebenarnya sudah memiliki pengalaman dalam menyutradarai beberapa episode dari kedua season Cek Toko Sebelah: The Series. Pengalamannya mengarahkan aksi dan meracik naskahnya sendiri membuat karya perdananya, Pelukis Hantu, menjadi film Indonesia terbaik yang ditayangkan eksklusif di Disney+ Hotstar versi saya hingga saat ini. Meski demikian, film ini tetaplah memiliki kekurangan dari setiap genre yang diusungnya, drama keluarga, horor, dan tentunya komedi.

Dikisahkan Tutur (Ge Pamungkas) adalah pelukis yang kurang beruntung, karya-karyanya kurang lagu di galeri. Tutur ingin mencari pekerjaan baru guna membantu ekonomi keluarganya. Udin (Abdur Arsyad), temannya yang bekerja sebagai Office Boy di sebuah stasiun TV merekomendasikan Tutur untuk menjadi pelukis makhluk gaib di sebuah acara supranatural. Semula Tutur berpura-pura bisa melihat berbagai makhluk gaib dan menerima perannya di acara TV tersebut. Di tayangan pertamanya, Tutur tiba-tiba bisa melihat hantu meski matanya ditutup, sosok kuntilanak yang dilihatnya bisa terlukis dengan baik. Hingga beberapa episode berikutnya, Tutur selalu melihat dan melukis sosok kuntilanak yang sama. Tutur dan Udin mendatangi Amanda (Michelle Ziudith) untuk mencari cara agar Tutur bisa melihat sosok hantu yang lain, sekaligus mencari tahu mengapa sosok kuntilanak yang dilukis Tutur selalu mendatanginya.

Sebagai sajian komedi, Arie cukup berhasil menyampaikan komedi dalam taraf yang pas, tidak terlalu mengganggu suasana yang tengah tegang ataupun dramatis. Kemunculan sejumlah komika lain yang menjadi kameo seperti Dodit, termasuk Arie sendiri cukup membuat penonton tersenyum. Mereka tampil sesuai dengan karakter asli masing-masing seperti Dodit yang berdialog panjang dan serius tetapi menghibur atau Soleh Solihun yang konsisten memerankan karakter yang menjengkelkan. Dengan demikian, secara keseluruhan aspek komedi yang ditampilkan hanya terbilang “cukup membuat tersenyum”.

Aspek horor pada film ini terinspirasi dari acara supranatural yang sempat trending dua tahun lalu. Terhadap acara yang demikian, tentu ada penonton yang menganggap apa yang terjadi adalah palsu atau setting-an, ada juga yang serius menganggapnya benar-benar terjadi. Karakter yang percaya dengan kejadian di acara tersebut, juga merasa paling tahu dunia mistis adalah Amanda. Sosoknya dibuat misterius pada awal film, tetapi kita akan sering melihatnya membantu Tutur di pertengahan film. Sebagai sebuah sajian horor, film ini memang berhasil menakuti penonton hanya pada beberapa kesempatan, seperti ketika Tutur kecil pertama kali melihat hantu dan saat sang kuntilanak mengamuk pada Tutur di dalam mobil. Jumpscare visual seperti hantu yang timbul dari lukisan memang agak mengagetkan, tetapi setelahnya malah membuat tertawa, entah karena efek yang digunakan atau pengaruh situasi pada adegan tersebut. Memang, jika ada film yang memadukan unsur horor dan komedi, aspek komedi lah yang lebih sering jadi yang paling dominan.

Tentu film akan mengungkap alasan sang kuntilanak terus menampakkan dirinya pada Tutur. Alasan tersebut membuka jalan akan cerita asal usul keluarga Tutur yang secara tak terduga berkaitan dengan salah satu peristiwa traumatis (bagi kalangan tertentu) yang pernah terjadi di Indonesia. Situasi mengenai peristiwa tersebut, yang diceritakan Arie pada film ini cukup akurat, membuat penonton turut mengutuk salah satu luka lama bangsa ini. Maka sejak pertengahan film, kita akan melihat drama Tutur dalam mencari tahu masa lalu keluarganya. Setelahnya, barulah film kembali ke ranah horor yang menampilkan teror pamungkas dari film. Adegan horor tersebut terjadi agak terburu-buru dan tidak begitu mencekam, juga tidak memiliki motif yang jelas dari sang hantu meski disampaikan secara eksplisit. Jika mengikuti naskah ceritanya pun, teror tersebut seharusnya tak terjadi andaikan Tutur sempat jujur dan berdialog panjang dengan sang arwah yang sudah dekat dengannya.

Arie juga tampak memiliki upaya dalam memberikan pengembangan karakter pada tokoh selain Tutur. Kepada seorang Amanda misalnya, kita akan memahami mengapa ia sangat tertarik dengan dunia mistis. Amanda juga memiliki masalah pribadi yang hanya tampak permukaannya saja tanpa konklusi yang bulat di akhir film. Kedekatannya dengan Tutur di akhir film pun untung saja tidak terlalu diromantisasi karena proses pendekatan mereka cenderung cepat.

Nilai keseluruhan yang saya berikan untuk Pelukis Hantu adalah 6 dari 10. Nilai tersebut sebenarnya cukup baik mengingat film ini adalah debut Arie Kriting sebagai sutradara, setelah beberapa kali bereksperimen dalam series yang berdurasi sekitar 30 menit di tiap episodenya. Dengan demikian, karya-karya berikutnya dari Arie patut ditunggu.

1 thought on “Review Film Pelukis Hantu

  1. Pingback: 4 Film Indonesia Terfavorit Sepanjang 2020 | Notes of Hobbies

Leave a comment