Review Film Tabu: Mengusik Gerbang Iblis (2019)

Apakah film horor ala milenial ini akan terbilang berhasil?

Sebelum menonton Tabu (2019), saya tentu sudah menonton beberapa film horor lokal dengan premis serupa. Sekelompok remaja sengaja datang ke tempat seram demi konten ataupun rasa penasaran, lalu sepulangnya mereka semua mendapatkan teror. Film horor dengan cerita demikian, bagi saya sudah gagal sejak awal, karena gagal membuat kita simpati akan para pemerannya supaya mereka bisa selamat di akhir cerita. Namun, Tabu adalah satu yang berbeda karena premis tersebut dikaitkan dengan sebuah drama yang solid, yang membuat film ini akhirnya tidak seburuk film-film bertema sejenis.

Dikisahkan Diaz (Angga Yunanda) adalah remaja yang terobsesi dengan tempat-tempat seram. Ia gemar berpetualang dan membuat video penampakan bersama pacarnya, Keyla (Isel Fricella). Suatu hari Diaz menantang keempat temannya untuk berkemah di situs Leuweung Hejo yang dikenal sebagai portal arwah gaib. Teman-teman yang diajaknya selain Keyla adalah Mahir (Bastian Steel), Muti (Agatha Chelsea), Tio (Rayn Wijaya), dan Adis (Elina Joerg). Film memang menggambarkan bagaimana perjalanan Diaz dan teman-temannya terencana dengan matang, termasuk dalam mengetahui hal-hal apa saja yang tabu dilakukan di sana. Namun, tak sengaja mereka menerobos masuk wilayah yang tak boleh didatangi dan satu persatu dari mereka melakukan hal tabu tersebut. Akhirnya, mereka menemui teror yang membuat Diaz kerasukan dan menemukan anak misterius yang dapat menenangkan Diaz. Keyla pun membawa serta anak itu pulang dengan alasan untuk membuat Diaz baik-baik saja.

Film mengaitkan alasan Diaz dan Keyla tertarik ke Leuweung Hejo dengan motivasi yang berhubungan dengan keluarga masing-masing. Tentu kita juga akan mendapatkan alasan yang layak akan mengapa Keyla ingin membawa pulang anak misterius yang ia temui di sana. Alasan tersebut kelak berhubungan dengan penyebab retaknya keluarga Keyla. Terhadap alasan Diaz, film hanya menampakannya sekilas. Latar belakang keluarga Diaz kurang digali karena ketika film menceritakan Diaz kita akan lebih banyak melihatnya kerasukan dan terdiam. Uniknya, film telah menyebarkan latar belakang keduanya seiring bergulirnya film. Motif dari Keyla misalnya sengaja tidak disembunyikan untuk dikumpulkan menjadi plot twist pada akhir film. Dengan demikian, kita akan lebih bersimpati terhadap Keyla dan keluarganya.

Dalam menceritakan teman-teman Diaz, film kurang menggali karakter mereka. Kita tidak merasa bahwa keenam teman ini adalah teman akrab karena interaksi mereka di awal film. Termasuk ketika ada di antara mereka yang mati di pertengahan film pun, mereka semakin tak terlihat kompak. Di antara para tokoh remaja ini, Bastian Steel lah yang paling menarik perhatian, terutama ketika ia mendadak “nyebut”.

Sebagai sebuah film horor, film ini tampil meyakinkan dalam menunjukkan misteri yang ingin diangkatnya. Mulai dari sosok misterius yang ditemui di dalam hutan sebelum Diaz kerasukan hingga adegan kesurupan masal di sekolah yang walaupun konklusinya agak menggelitik penonton. Yang dieksekusi paling khas adalah transformasi rumah yang tiba-tiba menjadi hutan horor. Sayang sekali, kelemahan utama film ini adalah kurang menggali latar belakang tempat yang dikatakan tabu pada film. Masa lalu para tokoh dan situs seram tersebut hanya disampaikan sekilas, terutama dari sudut pandang nenek Diaz. Bahkan, dalam menjelaskan apa yang terjadi di akhir cerita, film ini malah mengikuti cara Sajen (2018) yakni menerangkan lewat tulisan berita yang tertera pada end credit scene.

Mengambil premis yang relatif buruk, siapa sangka film ini berhasil dieksekusi tidak terlalu buruk berkat sisipan drama bersatunya kembali keluarga yang retak. Namun, aspek horor yang tidak well closed membuat penonton masih terus bertanya-tanya seselesainya film. Termasuk saya, yang akhirnya hanya memberikan nilai 4 dari 10 karena merasa tidak terpuaskan dengan akhir ceritanya.

Leave a comment