Review Film Denting Kematian

Misteri apa yang ingin diungkap oleh film ini?

Setelah menyutradarai 13: The Haunted (2018) dan sekuelnya, Kembalinya Anak Iblis (2019), Rudy Soedjarwo kembali dengan film horor/thriller terbarunya yang lagi-lagi diproduksi oleh RA Pictures. Melihat kualitas kedua film horor terakhir mereka, wajar jika kita pesimis bahwa Denting Kematian akan menuai review positif. Ternyata benar, film yang dapat ditonton melalui Disney+ Hotstar sejak 30 Oktober 2020 lalu ini masih jauh dari taraf cukup baik.

Denting Kematian dibuka dengan menceritakan sebuah kejadian di masa lalu, dimana seorang perempuan terpaksa mengugurkan hasil hubungan terlarangnya demi kehormatan keluarga. Proses aborsinya melibatkan denting dari sebuah kotak musik untuk menenangkan sang ibu dan janin. Kemudian film berpindah pada adegan melahirkan lain yang melibatkan perempuan yang sama, bedanya sang perempuan meninggal setelah melahirkan anak kembar. Lantas sang anak yang lahir terakhir dianggap pembawa sial hingga bunuh diri setelah membunuh saudara dan ayahnya.

Beberapa tahun kemudian, kotak musik kuno yang kita lihat pada rangkaian peristiwa tersebut dijadikan kado ulang tahun untuk Tyas (Brisia Jodie) dari sang ayah, Jiwo (Mathias Muchus). Tyas sendiri memiliki sahabat yang baru masuk magang di sebuah kantor berita, Bagus (Rangga Azof). Bagus adalah sahabat Tyas yang diam-diam mencintainya dan cemburu saat melihat Tyas berpacaran dengan Oscar (Evan Marvino). Ketika Tyas menyalakan kotak musiknya, terdapat sosok arwah penari yang ingin mengganggunya. Setelahnya, denting dari kotak musiknya selalu terdengar oleh orang-orang kesayangannya, yang kemudian menewaskan mereka. Berkat kematian orang-orang di sekitar Tyas, Tyas pun dianggap pembawa sial. Meski dekat dengan Tyas, Bagus tidak takut. Ia kemudian mencari tahu tentang misteri dibalik kematian orang-orang terdekat Tyas.

Film ini menjadi debut akting Brisia Jodie yang sebelumnya adalah seorang penyanyi. Ekspresinya yang konsisten datar jelas menunjukkan Jodie kekurangan jam terbang dalam berakting. Namun, hal tersebut bukanlah kekurangan utama karakternya pada film. Karakter Tyas yang ia perankan dibuat kurang digali latar belakang interest-nya, misalkan mengapa ia menyukai tarian daerah dan senang dengan kotak musik kuno dari sang ayah. Film pun memiliki sejumlah aspek kurang logis lainnya, contohnya Tyas yang tetap ingin latihan menari walaupun sedang berkabung. Melihat ke belakang, kita pun akan bertanya-tanya mengapa ada anak kembar yang disalahkan atas kematian sang ibu yang melahirkannya? Demi menciptakan suasana yang mencekam pun film menjadikan sejumlah latar tempat menjadi sepi, misalnya rumah sakit yang kita tidak pernah menemukan perawat di dalamnya atau sanggar tari yang Tyas kunjungi pada malam hari.

Unsur drama pada film ini memiliki sejumlah plot yang tidak diperlukan. Misalnya saja tugas sampingan Bagus untuk meliput Oscar demi mendapatkan penghasilan tambahan. Mengapa premis tugas sampingan Bagus ini tidak diisi dengan proses investigasi terhadap kematian orang-orang di sekitar Tyas? Toh lebih banyak materi yang bisa didapatkan untuk berita mereka. Terdapat pula konflik minor dimana orang tua Tyas tidak menyetujui hubungannya dengan Oscar meski Oscar adalah anak ilmuwan yang terhormat. Plot tersebut segera dapat dilupakan karena Oscar pun tewas di pertengahan film.

Sebagai sebuah sajian horor, film ini menyajikan misteri yang mirip dengan unsur mistis pada film 4 Mantan (2020) dan KKN di Desa Penari yang penayangannya ditunda. Film menunjukkan sesosok penari yang menghantui Tyas, tetapi film tak begitu terang menjelaskan mengapa wujudnya harus berupa seorang penari. Film juga tidak mengeksplorasi denting kotak musik Tyas yang dahulu digunakan oleh dukun aborsi. Sebagai minor spoiler, resolusi film ini pun mirip akhir dari 4 Mantan. Dengan demikian, film ini mencoba menjadi sebuah sajian horor supranatural dan psychological thriller sekaligus. Sayangnya hantu pada film ini hanya menjadi guide bagi sang protagonis dan menampakkan dirinya demi mengungkap siapa antagonis yang sebenarnya. Parahnya lagi, film ini akhirnya hanya menjadi sajian thriller yang mencari korban sebanyak-banyaknya tanpa motif yang jelas dari sang antagonis.

Kita memang perlu teliti dalam melihat petunjuk demi petunjuk yang film ini berikan untuk mencari tahu keterkaitan antara para tokoh di masa kini dengan kejadian lampau pada film. Kita tidak bisa berharap film akan menjelaskan seterang-terangnya tentang masa lalu Tyas dan keluarganya karena dalam adegan pengungkapan, film lebih banyak mengulang adegan yang sudah kita saksikan di awal film. Film pun tak jelas menunjukkan apa yang dilakukan Bagus dengan pekerjaannya sehingga ia diapresiasi teman-temannya. Film ini tampak kehilangan beberapa scene yang menghubungkan peristiwa di masa lalu dan kini.

Akhir kata, saya hanya memberikan nilai 2 dari 10 untuk Denting Kematian. Andai alur pada film lebih rapi dalam bercerita, terutama tentang latar belakang keluarga Tyas dan interest dari Tyas sendiri, mungkin nilai saya akan lebih tinggi, walau dalam skala 10 terbilang rendah juga.

Leave a comment