Review Harry Potter 20th Anniversary: Return to Hogwarts

Selamat ulang tahun film Harry Potter

Jika diibaratkan pemain sepak bola, di kalangan novel populer lainnya, mungkin Harry Potter adalah sebuah legenda, namanya tak lekang oleh waktu. Orang-orang akan menyoraki karya J.K. Rowling tersebut sebagai G.O.A.T. Novel yang mulai dirilis sejak tahun 1997 ini disukai pembacanya karena ilustrasi dunia magis yang memukau, membangkitkan imajinasi anak-anak yang tumbuh pada saat itu. Termasuk ketika ketujuh novelnya diadaptasi kedalam delapan film, bintang-bintang baru terlahir.

Tengoklah judul dari ulasan ini, tidak ada kata “Film” seperti biasanya bukan? Karena bagi saya tayangan khusus ulang tahun ke-20 ini bukanlah film, melainkan sebuah show yang mengajak kita bernostalgia akan kebesaran serial film Harry Potter. Ketika teaser dari tayangan ini pertama kali muncul, kita pun sempat berspekulasi bahwa ketiga tokoh utama dalam Harry Potter akan kembali dipertemukan dalam satu cerita terbaru. Bahkan ada pikiran liar (tetapi valid) bahwa Harry Potter akan kembali ke Hogwarts untuk “mengospek” para penyihir muda. Namun, semua itu salah. Tidak ada plot baru dari cerita seorang Harry Potter pada tayangan ini. Meski demikian, selama kurang lebih 100 menit durasinya, memori kita akan sejumlah scene dari film-filmnya sejak 20 tahun yang lalu akan tetap terbangkitkan lagi.

Saya bukanlah fans dari novel atau film Harry Potter. Tidak ada satupun film Harry Potter yang dulu saya tonton di bioskop. Namun, beberapa tahun lalu saya sempat menonton kedelapan filmnya secara maraton. Saya pun sebelumnya berkata bahwa Harry Potter 20th Anniversary ini bukanlah sebuah film. Meski demikian, saya akan tetap mencoba menumpahkan berbagai reaksi saya ketika menonton show ini, dari sudut pandang non-fans yang belum pernah membaca novelnya satu halaman pun.

Baru memasukin menit-menit awal, sembari meraba tayangan macam apa yang akan kita tonton, kita akan langsung dibuat terkesima berkat kemunculan kembali objek-objek ikonik pada dunia ciptaan Rowling, salah satunya adalah platform kereta 9 3/4. Kemudian, bermunculan lah para pemeran utama mulai dari Emma Watson, Rupert Grint, Tom Felton, hingga yang paling ditunggu, Daniel (Dan) Radcliffe. Kemunculan mereka satu persatu membawa kita ke sajian berformat dokumenter campur talkshow. Kerap kali, kita seperti sedang menonton talkshow yang dibawakan oleh Dan yang narasumbernya adalah para pemeran yang lebih senior seperti Robbie Coltrain dan Helena Carter. Melalui mereka, tentu kita akan diajak untuk mengenang proses syuting semua film Harry Potter yang terbagi dalam empat babak.

Salah satu bagian yang menyenangkan untuk disimak adalah bagaimana mereka memilih cast untuk para pemeran penyihir cilik yang pada saat itu melalui audisi. Tentu akhirnya kita akan melihat kecocokan karakter para pemerannya seperti, Emma adalah Hermione dan Rupert sangatlah Ron, atau yang paling terakhir ditemukan adalah Dan yang pada saat itu sangatlah Harry. Perspektif lain muncul dari para cast yang mendapatkan peran villain. Kita pun akan melihat bagaimana mereka akhirnya menerima peran tersebut dan reaksi orang-orang terdekat kala mereka mendapatkan peran masing-masing. Contohnya, Ralph Fiennes yang memerankan Voldemort, yang sangat didukung keluarganya untuk mengambil peran besar itu.

Selain terhadap proses akting dari para pemeran utama, pujian pun tak luput disematkan pada J.K. Rowling sang pemilik cerita. Ungkapan “the power of writing” terbukti hadir lewat tulisannya yang senantiasa menginspirasi, pun berhasil menggambarkan dunia magisnya dalam tujuh buku. Ketika Hogwarts terimplementasi dalam filmnya secara megah, kita pun akan memuji setiap kru artistik yang terlibat di dalamnya. Salah satunya credit akan pemasangan banyak lilin di langit-langit aula sekolah, yang menurut Daniel aspek tersebut di masa kini dapat digantikan dengan CGI.

Tayangan utama pada show ini akan mempertemukan Dan, Emma, dan Rupert dalam satu frame, saling memuji satu sama lain, saling membahas adegan paling memorable di mata mereka. Menyelesaikan delapan film bersama-sama berarti membuat serial film Harry Potter menjadi patokan waktu dan proses pendewasaan bagi mereka. Selain adegan manis seperti berkumpulnya Harry, Ron, dan Hermione untuk pertama kalinya, nostalgia akan adegan kematian pun turut mendatangkan rasa haru kembali. Uniknya, perspektif dari pemeran tokoh yang dibunuh dan membunuh pun ikut diangkat.

Kenangan akan serial film Harry Potter semakin terkupas tatkala show ini pun menampilkan pemeran lain seperti Bonnie Wright (Ginny) dan Evanna Lynch (Luna Lovegood). Tidak lupa, kita pun akan melihat sedikit tribute terhadap para cast yang telah tiada, yang mulai memupuk rasa haru penonton. Cukup disayangkan, pemeran dari tokoh-tokoh yang muncul hanya dalam satu atau dua judul seperti Robert Pattinson (Cedric Diggory), Katie Leung (Cho Chang), atau yang mungkin menjadi antagonis nomor satu bagi para fans Harry Potter, Imelda Staunton yang memerankan Dolores Umbridge. Meski demikian, kemunculan kembali para tokoh yang hadir sudah cukup berhasil membuat penonton tersenyum dan terharu secara bergantian.

Karena show ini bukanlah film, saya pun tak menyiapkan nilai yang akan saya berikan dalam skala 10. Namun, seandainya ini adalah sebuah film yang ditayangkan di bioskop, tujuan kemunculannya tentu sangat berhasil. Karena penonton akan heboh dan beberapa kali tepuk tangan. Oleh karena itu, saya akan tetap memberikan nilai untuk show ini, yakni…

8/10

Leave a comment