Review Film Belle

Kira-kira begini lho Metaverse itu

Pada Belle, karya dari Mamoru Hosoda, kita akan menemui sebuah dunia virtual tempat setiap orang yang mendaftar dapat menjadi diri mereka yang baru. Meskipun begitu, persona baru yang diciptakan tetap mempertahankan kemampuan terpendam dan sebagian karakteristik mereka. Melihat banyaknya pengguna media sosial yang “next level” ini, ditambah cara sistemnya memetakan karakteristik pengguna di dunia nyata dan virtual, membuat saya berpikir “Apakah metaverse nanti akan seperti ini?” meski latar dunia yang diciptakan jauh dari kesan realistis.

Kita akan bertemu dengan Suzu, gadis SMA yang pemalu dan tingal bersama sang ayah. Suzu kini masih trauma dengan kepergian sang ibu yang tewas karena menyelamatkan seorang anak yang hampir tenggelam di sungai, saat dirinya masih kecil. Dukanya pun mengubur kegemarannya dalam bernyanyi, hobinya yang dulu didukung sang ibu. Di sekolah, Suzu pun merasa asing dan insecure karena tidak menjadi siswi yang istimewa. Hanya Hiroka, seorang jenius komputer, yang ingin berteman dengannya. Meski demikian, ia tetap kenal baik dengan Shinobu (teman masa kecil yang ia sukai), Kamishin (perintis klub berkano di sekolahnya), dan Ruka (gadis gemar musik yang menjadi idola di sekolahnya).

Suzu yang tengah bersedih mendapat undangan untuk sign up di sebuah dunia virtual bernama “U“. Ketika memasuki U, Suzu menggunakan nama Bell (yang kelak akan dipanggil “Belle” yang artinya cantik dalam bahasa Perancis) dan mendapatkan avatar seorang gadis cantik – yang lebih mirip dengan temannya, Ruka – tetapi masih memiliki bintik wajah khasnya. U merefleksikan kemampuan terpendam Suzu pada avatarnya, Belle. Yang berarti, melalui Belle, Suzu dapat bernyanyi seperti saat sang ibu masih hidup. Nyanyian Belle langsung menuai beragam komentar dari pengguna U yang lain. Setelahnya, cerita agak melompat tatkala menggambarkan Belle yang karyanya sudah mendapatkan penggemar, pun jutaan follower dalam sekejap.

Yang dialami Suzu sering ditemukan dalam kehidupan nyata bukan? Seorang remaja yang di dunia nyata merasa putus asa, menjadikan dunia maya sebagai tempat pelarian untuk mengaktualisasikan diri. Ditambah lagi, di dunia maya kita dapat menunjukkan persona palsu atau menjadi instance anonim seutuhnya. Ketika memegang identitas palsu, kita pun bebas melakukan apapun baik hal positif maupun negatif. Kolom komentar dengan berbagai opini pun kerap kita temukan. Efek sampingnya, hanyalah kecemasan apabila identitas kita di dunia maya terungkap dan pengguna lain tahu siapa kita di dunia nyata. Dalam dunia U, para penggunanya pun percaya bahwa apabila identitas mereka di U terungkap, maka persona mereka di U pun akan lenyap. Inilah yang kelak turut menjadi salah satu hal yang dicemaskan oleh Suzu.

Cerita di dunia nyata berputar-putar pada Suzu yang masih belum berani untuk bernyanyi lagi dan hubungannya dengan Shinobu yang memiliki banyak penggemar di sekolah. Sementara itu, di U, sebuah avatar yang disebut The Dragon mengacaukan konser Belle. Dragon yang destruktif membuat kita bertemu pula dengan kelompok vigilante yang dipimpin Justin, yang bertujuan menjaga kedamaian di U. Mereka bertujuan untuk mengungkap identitas asli Dragon dengan senjata yang mereka miliki. Menghindari kerumitan cerita, mekanisme senjata tersebut untuk mengungkap sosok pengguna U tidak dielaborasi. Aksi Dragon tentu menggegerkan dunia U, yang turut menjadi buah bibir sampai dunia nyata. Seperti yang dialami Belle, kemunculan Dragon pun menuai mixed reactions dari para pengguna U yang lain, ada yang merasa dirinya adalah pahlawan bagi anak-anak, ada pula yang merasa dirinya pengecut di dunia nyata. Yang pasti, interaksi antara Dragon dan Belle di U dikembangkan selayaknya cerita pada Beauty and the Beast.

Plot pencarian identitas asli Dragon disajikan cukup menarik pada film ini. Kita akan melihat Suzu dan Hiroka berulang kali melakukan penyelidikan terhadap berbagai pengguna U di dunia nyata, bermodalkan berbagai informasi kecil yang didapat lewat gosip yang beredar ataupun berita populer. Melihatnya, saya sedikit teringat akan upaya pencarian anak dalam Searching (2018). Penonton pun akan dibuat ikut menebak siapakan sosok dibalik avatar Dragon tersebut dan apa motifnya. Dalam mengungkap identitas Dragon, film pun ternyata memiliki twist yang nyaris tak terduga, yang hanya memiliki petunjuk kecil pada pertengahan film. Sebuah petunjuk yang kembali melirik fenomena kepalsuan di depan kamera.

Seperti pada Sing 2, film ini pun sempat memberikan pengalaman menonton konser virtual melalui semesta U. Selain karena lagunya yang kaya rasa, kita pun akan cukup senang melihat berbagai live reactions dari para penonton di U dalam berbagai bahasa (termasuk beberapa cuplikan komentar Bahasa Indonesia). Film pun menyuguhkan aksi selingan yang cukup menegangkan kala menunjukkan konfrontasi antara Dragon, Belle, dan para vigilante. Kelak akan diungkap juga motivasi Justin dan kawan-kawannya mendamaikan U, yang alasannya cukup common bagi para karakter antagonis berwujud pahlawan dari cerita lain.

Sama seperti pada Backstage (2021), film ini merangkum berbagai konklusi untuk setiap konflik baik di dunia maya atau nyata, melalui suguhan konser terakhirnya. Selain konklusi untuk karakter utama, aksi puncak tersebut mengumpulkan segala rasa haru yang sempat terpendam. Tidak lupa, berbagai pesan subtil film tentang motivasinya menciptakan dunia virtual bernama U juga turut diakumulasi. Sajian terakhirnya mengajak kita turut bercermin apabila kita turut mempersalahkan mereka yang menunjukkan kepalsuan di dunia maya.

Setelah adegan pertunjukan terakhir dari Belle dan terungkapnya sosok The Dragon, saya sebenarnya sudah mempersiapkan angka yang lumayan tinggi sebagai nilai untuk film ini. Namun, niat tersebut saya urungkan karena resolusi terhadap konflik sampingan pada film yang tampak tidak setimpal atas apa yang telah dilakukan sang antagonis di dunia nyata. Memang hal tersebut bukanlah prioritas utama dalam penceritaan, tetapi isu yang coba disisipkan pada film ini cukuplah penting, kerap terjadi pula di realita kini. Saya pun agak menyayangkan naskah yang membuat Suzu harus sendirian menyelesaikan konflik sampingan tersebut, di saat ia bersama orang lain yang dapat melindunginya kala itu. Jika tujuannya untuk menyembuhkan rasa kehilangan Suzu, saya kira konklusi dari konser terakhir dirinya sudah cukup memberikan itu.

6.5/10

Leave a comment