Review Film Scream

Horor meta yang kali ini menyinggung rekuel

Film-film Scream sejak tahun 1996 dikenal sebagai meta horror karena cerita yang diusungnya sukses mengeksplorasi (baik dalam makna yang positif atau negatif) ekosistem film horor pada masanya. Scream 4 (2011), satu-satunya sekuel yang saya tonton pun menyindir tentang remake film horor. Pada film kelimanya ini, Scream (yang juga disebut sebagai Scream 5) ternyata mengangkat isu tentang tren rekuel (gabungan dari reboot dan sequel) dimana Scream pun memang tampil sebagai rekuel dari film pertamanya yang tayang 25 tahun lalu.

Sewajarnya, Scream dibuka dengan opening khasnya dimana seorang remaja yang tinggal di Woodsboro mendapatkan telepon misterius. Korbannya adalah Tara (Jenna Ortega) yang semula diberikan pertanyaan tentang film pertama dari Stab, film horor slasher khas di film ini. Jelas kita akan melihat teror dari sosok Ghostface lagi dalam menerobos masuk rumah Tara, yang turut menyesuaikan dengan perkembangan teknologi. Tara selamat, membuat sang kakak, Sam (Melissa Barrera) yang lama meninggalkannya kembali ke hidup Tara.

Scream yang mengupas tren rekuel dari film horor memang hadir sebagai sajian rekuel dari film pertamanya. Maksudnya, rekuel adalah sekuel yang memiliki referensi langsung dari film pertamanya dan mengabaikan perkembangan cerita pada film-film berikutnya. Terbukti dengan kemunculan nama Billy Loomis (sosok pembunuh pada film pertama) di awal film. Meski demikian, film ini tetap mengambil sedikit referensi dari film sebelumnya, Scream 4, dimana salah satu tokoh menyebutkan pembunuhan terakhir oleh Ghostface di Woodsboro sudah terjadi 11 tahun yang lalu. Hasil akhirnya, secara umum film ini dapat membayar tuntas kerinduan para penggemar franchise Scream sekaligus memuaskan para penonton baru. Selain rekuel, film ini pun turut membahas tren “elevated horor” seperti Hereditary dan Get Out yang lebih dianggap berkelas karena turut membungkus isu sosial. Film horor yang demikian lebih menarik di mata para penonton baru dibandingkan film-film horor seperti Scream (atau Stab pada cerita film ini) yang menyajikan definisi horor yang sebenarnya.

Melalui beberapa adegan, film ini sukses menyindir kegagalan dari produk rekuel. Film pun membahas tentang sebab dibuatnya sebuah rekuel dari dua sisi, dari modus industri dan tuntutan toxic fandom. Poin yang kedua bahkan menjadi motif sang antagonis dalam melakukan aksinya. Bagi penonton yang juga mengeluhkan rekuel, film ini sudah menyiapkan konklusi yang sangat memuaskan. Sebuah closure yang ampuh menunjukkan sikap untuk langsung mengubur rekuel yang gagal.

Upaya untuk menyenangkan semua generasi penonton ditunjukkan film dengan menampilkan kembali para tokoh utama pada film pertamanya. Kita akan bertemu kembali dengan Dewey (David Arquette), Gale (Courteney Cox), dan tentunya Sidney (Neve Campbell). Mereka diperkenalkan melalui sebuah plot dimana Sam dan kekasihnya, Richie (Jack Quaid) mencari tahu pola pembunuhan di Woodsboro yang akhirnya dijadikan referensi untuk film Stab. Melalui mereka pula film memperkenalkan plot whodunit ala film-film Scream kepada penonton baru. Kemunculan mereka pun turut menambah lapisan drama tatkala berita tentang pembunuhan terbaru sampai di telinga Dewey. Tentu kita akan melihat beberapa sekuens reuni singkat yang sayangnya agak mengusik ketegangan dari cerita utamanya. Suara telepon “Hello Sidney” yang khas pun akan kita dengar kembali, yang akan membuka memori para penggemar setia Scream.

Rumah tempat pembunuhan pada film pertama pun akan kita datangi kembali

Konsekuensi dari kehadiran Sidney cs beserta momen nostalgia mereka adalah kurangnya naskah mengeksplorasi para cast baru. Konflik antara Tara dan Sam di masa lalu yang melatari babak pertama film relatif lemah. Untung saja film segera mengungkap penyebab renggangnya hubungan mereka di masa lalu. Eksplorasi konflik ala whodunit pun baru benar-benar terasa di babak ketiga. Di titik yang sama, penonton baru akan teringat lagi untuk menebak sosok di balik topeng Ghostface di antara para karakter baru. Fakta yang cukup menarik dari para karakter baru – atau para calon korban kekejaman Ghostface – adalah ternyata sebagian di antara mereka memiliki hubungan langsung dengan tokoh antagonis pada film pertama.

Sajian thriller pada babak ketiganya saya akui dapat diceritakan dengan lebih baik lagi, misalnya mempertajam aksi antisipasi dari sang protagonis. Karena sejak awal film kita sudah mendapatkan berbagai adegan “melawan Ghostface” yang menegangkan. Ditambah lagi para protagonis kita senantiasa menunjukkan usaha yang cerdas untuk menghindar, bahkan melawan Ghostface yang lebih tricky. Sang sutradara pun tahu cara mempermainkan ketegangan penonton tatkala ada calon korban yang sedang sendirian. Penonton pun akan mendapatkan penutup dari adegan baku hantam dan baku tembak yang memuaskan karena para protagonis dibuat tidak memiliki belas kasihan kepada sang pelaku pembunuhan berantai. Bahkan pada versi film yang ditayangkan di bioskop Indonesia, ada beberapa adegan pembunuhan yang dipotong karena terlalu gory.

Sebagai sebuah sekuel segar setelah 11 tahun, Scream turut memberikan sebuah tribute untuk sang sutradara dari empat film sebelumnya, Wes Craven. Nama Wes sendiri digunakan oleh salah satu tokoh yang menjadi korban kesadisan Ghostface. Adegan pesta terakhir pada film ini pun ditujukan untuk mengenang Wes. Tribute tersebut pun diperkuat dengan tulisan “For Wes” yang mengakhiri film.

7/10

3 thoughts on “Review Film Scream

  1. Pingback: Multireview Edisi 9: 4 Film Mancanegara dari Layanan Streaming | Notes of Hobbies

  2. Pingback: Review Film Scream VI | Notes of Hobbies

  3. Pingback: Review Film Abigail | Notes of Hobbies

Leave a comment