Review Film Haunted Tales

Omnibus horor yang sama-sama bercerita tentang kehidupan setelah mati

Haunted Tales yang baru ditayangkan di bioskop Indonesia tahun ini membawa tiga cerita berpremis klasik tetapi tetap tampil menegangkan. Mudah untuk disadari bahwa ketiga cerita pada film omnibus ini sama-sama menceritakan tentang kehidupan setelah mati meski dari sudut pandang yang berbeda. Pada ketiga cerita pun, kita akan melihat sang tokoh utama menaiki taksi menuju takdir mereka (yang seringkali dipertegas dengan ungkapan “tidak ada yang kebetulan”). Meski terbatas durasi dan berfokus pada satu karakter utama, ketiga film pendek yang disajikan akan lumayan sering membuat para penonton baru sesekali ingin memejamkan mata.

Segmen pertama, sekaligus yang terpendek adalah Taksi (Haunted Car). Taksi mengisahkan Pete (Pae Arak Amornsupasiri), seorang pengusaha muda yang terbangun di taksi pulang dari bandara. Sang supir taksi mengambil jalan memutar karena ada perbaikan jalan. Sepanjang perjalanan, masa lalu Pete terungkap melalui memori yang ia dapatkan di dalam taksi tersebut. Selain masa lalu, karma pun tengah menanti dirinya.

Pada Taksi, kita akan mendapatkan beberapa penampakan makhluk gaib yang muncul tanpa scoring yang berisik, datang dari sisi mobil yang berlainan pula. Untung saja penampakan tersebut kurang seram sehingga penonton tidak akan terlalu kaget. Selagi kita bertanya mengapa Pete tampak kebingungan, kita akan mudah menebak kebenaran tentang Pete melalui cuplikan flashback di bandara. Naskah cepat memberi petunjuk bahwa Pete sebenarnya sudah tewas. Namun, segmen ini masih menyiapkan kejutan lain perihal sebab dari penampakan yang menghantui Pete dan kemana taksi gaib tersebut akan membawa Pete. Adegan penampakan terakhir pun cukup berhasil melahirkan jumpscare yang membuat penonton terpaku.

Penulis naskah dapat mengungkap trauma dan perjalanan karir Pete, tetapi tidak untuk motif dari kejahatan yang ia lakukan. Mungkin faktor durasi membuat bagian penting tersebut lalai diungkap. Karena kemunculan elemen kejahatan itu pula lah momen mengharukan yang sudah disiapkan di akhir cerita menjadi kurang mengena. Meski memiliki plot yang mudah ditebak dan motif yang kurang digali, Taksi akan tetap berkesan berkat mid-credit scene dari film ini. Sebagai bonus, segmen ini pun turut meninggalkan pesan bahwa harta yang kita kumpulkan di dunia tidak akan dibawa mati.

Segmen kedua, Terjebak (Stuck) memperkenalkan Tiwa (Prang Kannarun Wongkajornklai), gadis indigo yang menerima pekerjaan untuk berkomunikasi dengan arwah di sebuah kamar hotel. Selain berkomunikasi dengan makhluk gaib, Tiwa pun dapat melakukan exorcism dan melihat kembali tragedi mengerikan yang terjadi di kamar tersebut pada 30 tahun yang lalu. Melalui penglihatannya, Tiwa dapat mempelajari bahwa para arwah yang ia lihat selalu mengulang peristiwa yang sama setiap malam dan tidak dapat melanjutkan perjalanan mereka ke alam setelah mati.

Terjebak menyajikan cerita yang cukup lengkap. Kita akan mengetahui sedikit cerita Tiwa ketika mendapatkan kelebihannya. Misi Tiwa untuk menemui para arwah gentayangan lalu berusaha menyelamatkan mereka pun dipaparkan hingga selesai. Segmen ini pun menyisipkan sedikit komedi tatkala Tiwa menyapa arwah gentayangan yang merasa masih hidup di dunia. Hanya saja, motivasi Tiwa untuk lebih menggali kebenaran di hotel yang ia kunjungi kurang kuat. Memori yang bangkit ketika Tiwa bertemu anak kecil di hotel tersebut pun merupakan backstory yang lemah.

Konflik pada segmen ini tak berhenti saat mengungkap pelaku tragedi di hotel tersebut beserta cerita para korban yang sebenarnya. Menit-menit terakhirnya diisi ketegangan yang membuat Tiwa cukup kesulitan bahkan hampir kehilangan nyawa. Segmen ini pun ternyata sudah menyiapkan kengerian ekstra dari elemen ilmu hitam dan kemunculan arwah yang cukup berbahaya. Sebagai konklusi, Terjebak memilih untuk menutup ketegangannya dengan adegan exorcism yang mulus tanpa kejutan tambahan ketika hendak menutup cerita.

Segmen penutup adalah Kitab Kebenaran (The Book of Truth) yang kembali mengingatkan saya akan unsur horor dalam Till We Meet Again. Dikisahkan Jess (Mark Prin Suparat) adalah penulis cerita horor yang menginap di sebuah resort terpencil untuk mencari inspirasi. Tempat yang didatangi Jess, menurut sang penjaga resort selalu didatangi arwah dan penghuninya harus rajin berdoa. Selama menulis ceritanya, Jess mengalami fenomena aneh. Jess mendapatkan pelepah palem beserta alat mengukir yang dapat digunakan untuk menulis. Ketika Jess mendapatkan sugesti untuk menulis di pelepah tersebut, Jess belum sadar bahwa cerita yang ia tulis akan menjadi kenyataan.

Secara keseluruhan, pelan-pelan segmen ini cukup berhasil menggambarkan benang merah antara misteri resort yang ditempati Jess dan adegan horor di awal cerita. Penonton pun cukup berhasil dibuat penasaran akan keanehan sang pemilik resort dan pria misterius yang juga tinggal di sana. Secara bertahap, kutukan yang menanti Jess pun ditampakkan beriringan dengan motivasi pemilik resort untuk menyewakan tempatnya kepada Jess.

Pada akhirnya segmen ini pun bercerita tentang kehidupan setelah mati. Kali ini perspektif tema tersebut berasal dari arwah yang menaruh dendam. Tak terduga, kunci dari misteri pada segmen ini berhubungan dengan reinkarnasi. Maka itu, Kitab Kebenaran menjadi segmen yang paling sulit untuk saya pahami karena tidak terlalu mengerti dengan konsep reinkarnasi. Elemen reinkarnasi yang dihadirkan pun dijelaskan agak dangkal sebab akibatnya. Akhirnya, hanya cerita tentang balas dendam lintas generasi yang dapat saya nikmati. Itu pun karena sebelum ini saya sudah menonton cerita arwah Gui Tou Cheng dalam Till We Meet Again.

5.5/10

Leave a comment