Review Film Black Box

Sebuah tontonan whodunit yang melibatkan telinga tajam sang protagonis

Black Box (Boîte noire) adalah film berbahasa Perancis yang pertama saya tonton sejak merintis blog ini. Sesuai judulnya, karya Yann Gozlan ini bercerita tentang investigasi kecelakaan pesawat yang dilakukan seorang analis di biro keselamatan transportasi – dalam film disingkat BEA. Alur cerita pada Black Box secara keseluruhan dapat dirangkum berdasarkan slogan pada posternya, “Écouter, enquêter, révéler,” yang berarti “Dengar, temukan, ungkap”. Itulah yang di sepanjang film akan dilakukan sang protagonis.

Mathieu (Pierre Niney) adalah seorang analis di BEA yang sangat jeli mendengarkan suara dari rekaman kecelakaan yang diteliti oleh timnya. Dirinya dapat menangkap gelombang suara yang dirasa janggal dan berdeduksi murni tentang semua suara yang ia dengar. Kejeliannya membuat dirinya dipandang sebagai analis yang terlalu idealis, tidak bisa diajak kompromi. Sikapnya membuat dirinya tidak diikut sertakan dalam tim penyelidikan kecelakaan pesawat Atrian-800 yang dipimpin Victor (Olivier Rabourdin), atasannya. Pesawat tersebut adalah model pesawat baru yang terbang dari Dubai menuju Paris dan mengalami crash landing di daerah pegunungan dimana tidak ada korban yang selamat. Namun, Mathieu turut diminta untuk menyelidiki kemungkinan penyebab kecelakaan tersebut setelah Victor dan timnya menghilang.

Melalui Mathieu yang senantiasa berkata jujur sesuai yang ia dengar, sejak babak pertama film, kita sukses ikut dibuat penasaran akan penyebab kecelakaan pesawat yang sedang diinvestigasi. Hampir di setengah durasi film juga kita akan melihat Mathieu berhadapan dengan software rekaman yang sedang ia dengar secara teliti. Maka, kehadiran efek suara yang ditunjukkan akan sangat berperan penting. Melalui pendengaran Mathieu akan suasana di pesawat, kita pun dibawa turut menebak segala kemungkinan dari penyebab kecelakaan tersebut. Mulai dari kemungkinan keterlibatan teroris radikal hingga kesalahan mekanis turut digali. Reaksi media dan orang-orang di sekitar Mathieu pun turut ditunjukkan sejalan dengan perkembangan kasus. Contohnya, para mechanical engineer yang merasa disalahkan atas kecelakaan tersebut.

Mencari kebenaran lewat layar komputer, tetapi memanfaatkan indera pendengaran

Elemen whodunit pada film ini tentu mengingatkan saya dengan suasana ketika menonton Searching (2018) dan Penyalin Cahaya (2022). Melalui file rekaman yang diputar berulang oleh Mathieu, film perlahan mengungkap kebenaran sejatinya untuk penonton. Ketelitian Mathieu diperlihatkan dengan upayanya mengenali suara demi suara yang ia dengar berkali-kali, termasuk setelah menghilangkan faktor suara yang ia anggap tak penting. Dari sudut pandang Mathieu, film pun menampilkan adegan dirinya yang sedang membayangkan kondisi terkini di dalam pesawat ketika kecelakaan akan terjadi. Transisi adegan Mathieu di dalam pesawat tentu digambarkan berdasarkan apa yang sudah ia ungkap, bukan kebenaran versi penonton. Penyelidikan Mathieu pun tambah menegangkan tatkala bukan hanya suara yang dicermati dirinya. Naskah film ini turut mengembangkan plot penyelidikan, dari yang semula hanya di sekitar rekaman suara yang diputar berulang menjadi meluas ke pencarian petunjuk lewat dokumentasi milik keluarga korban. Selain mencari tentang penyebab kecelakaan, penonton pun turut diajak untuk mencari jawaban dari kemana kah Victor, atasan Mathieu menghilang?

Sisi drama yang menambah lapisan cerita dari film berfokus pada kondisi psikis dari Mathieu. Investigasi yang dilakukannya adalah sebuah kasus yang sulit diungkap. Sejak film memperkenalkan karakter Mathieu, dampak dari perkembangan kasus kecelakaan pesawat ini sudah dapat ditebak. Tentu naskah akan turut menggali dampak dari obsesi Mathieu terhadap kebenaran kasus ini. Salah satunya terhadap hubungannya dengan istrinya, Noemie (Lou de Laâge) yang sama-sama bekerja di bidang aeronautika. Ketika tidak sedang bercerita di depan pemutar rekaman suara, film ini memang agak membingungkan sedang menceritakan Mathieu dari sisi mana. Alhasil, pertengahan film akan terasa agak menjemukan. Namun, plot kembalinya Mathieu ke kehidupan normalnya akan memberikan jalan kepada petunjuk besar akan penyebab kecelakaan yang belum pernah ia pikirkan.

Setidaknya, ada dua alasan mengapa saya menempatkan film ini sebagai sajian thriller yang istimewa. Pertama, karena film ini benar-benar memanfaatkan unsur audio dalam meningkatkan ketegangan. Kejelian telinga Mathieu benar-benar dijadikan kunci untuk membuka kebenaran sejati pada film. Ketika film memasuki adegan yang mengungkap segala kebenaran yang terkubur, tidak ada adegan baku hantam yang terjadi. Alih-alih membuat sang protagonis berhadapan dengan orang jahat, kita akan melihatnya berupaya menyelamatkan diri dengan bantuan elemen audio pula. Bahkan, di momen yang biasanya oleh film lain diisi dengan konfrontasi antara protagonis dan antagonis utama, kedua tokoh dalam posisi tersebut kini tidak saling berhadapan langsung.

Kedua, karena momen pengungkapan di babak ketiganya secara padat berhasil menjabarkan segala misteri yang disajikan di awal film. Selain penyebab sejati kecelakaan pesawat yang menggegerkan, kita pun akan mudah memahami kemana kah perginya Victor dan mengapa ia tidak dilibatkan dalam tim penyelidikan sejak awal. Adegan pengungkapan kebenaran terakhir pun dibungkus sebuah drama yang mengharukan, yang menegaskan cinta antara Mathieu dan istrinya, meski sebelumnya mereka sudah dibuat hidup terpisah.

8/10

2 thoughts on “Review Film Black Box

  1. Pingback: 10 Film Mancanegara 2022 Pilihan | Notes of Hobbies

  2. Pingback: Multireview Europe on Screen 2023 | Notes of Hobbies

Leave a comment