Multireview Edisi 9: 4 Film Mancanegara dari Layanan Streaming

Tulisan ini adalah penutup berbagai artikel ulasan film yang saya buat di triwulan pertama tahun 2022 ini (yang akhirnya terlambat diselesaikan karena berbagai alasan). Semenjak awal pandemi dua tahun lalu, pilihan film baru populer yang dapat ditonton memang tidak hanya tidak berasal dari penayangan di bioskop saja. Ketika kini bioskop sudah lumayan ramai kembali pun, opsi merilis film baru di layanan streaming masih banyak diambil. Oleh karenanya, kini saya akan menambahkan empat ulasan film yang ditayangkan di layanan streaming, yang mungkin terlewat untuk saya bahas di hari kemarin.

Love and Leashes (7/10)

Mengusung tema dewasa, mungkin kita akan berpikir bahwa film yang disutradarai Park Hyun-jin ini akan menyajikan cerita yang sangat mirip dengan Fifty Shades of Grey (2015). Ternyata yang kita dapatkan adalah sebuah tontonan komedi romantis antara Jung Ji-woo (Seohyun) dan kolega barunya Jung Ji-hoo (Lee Jun-young). Ji-woo yang menyukai Ji-hoo karena pandangannya akan perempuan mengetahui rahasia besar Ji-hoo yang memiliki hasrat akan hubungan BDSM. Sebabnya adalah paket “mainan” milik Ji-hoo yang malah diterima Ji-woo karena nama keduanya mirip. Rahasianya terungkap, Ji-hoo pun meminta Ji-woo untuk menjadi “majikan” darinya yang menyukai gaya submissive dan terbilang masokis. Demi dapat berhubungan dengan Ji-hoo, Ji-woo pun menerima tawarannya dan dengan cepat mempelajari hal tentang BDSM itu sendiri.

Bagi yang berharap bahwa film ini akan menebar berbagai adegan erotis seperti trilogi Fifty Shades of Grey, siap-siaplah kecewa. Kita tetap akan melihat kedua pemeran utama melakukan adegan BDSM meski tidak dalam keadaan terlalu vulgar. Konsep tentang BDSM sendiri memang lebih dibahas di sini mulai dari pembagian peran hingga perjanjian antara Ji-hoo dan Ji-woo yang baru mempelajari BDSM lewat internet. Bahkan adegan berciuman antara keduanya pun baru diberikan oleh film menjelang akhir. Topik mengenai BDSM sendiri turut digunakan untuk membungkus isu maskulinitas dan keterbukaan dalam hubungan. Bahkan di babak ketiganya naskah tampak sukses mengutuk seksisme di lingkungan kerja.

Sebagai sebuah komedi romantis, konflik yang diberikan kepada hubungan Ji-hoo dan Ji-woo lumayan straightforward. Mulai dari kemunculan staf junior yang mematik kecemburuan Ji-hoo hingga kemunculan kembali mantan kekasih Ji-hoo yang menolak “keanehan” dari Ji-hoo. Bagi saya, konflik antara Ji-hoo dan mantan kekasihnya dapat lebih digali lagi. Masih dibungkus tema BDSM, ada konflik tambahan yang bagi saya antara perlu atau tidak untuk ditambahkan, yakni tentang praktik BDSM palsu yang dijadikan modus untuk bercinta penuh nafsu. Ada pula konflik yang akhirnya mengungkap rahasia Ji-hoo dan Ji-woo di hadapan kolega mereka, yang semula saya anggap sebagai sebuah plot “out of nowhere“. Namun, jika diteliti lagi, sebab dari plot tersebut cukuplah jelas, bukan adegan pengungkapan yang jatuh dari langit.

Kimi (6.5/10)

Dalam episode pertama space Tontonan Seminggu Terakhir dari akun Twitter @HabisNontonFilm, saya turut menyumbang suara dengan mengulas film yang dibintangi Zoe Kravitz dan dapat ditonton di HBO GO ini. Pada kesempatan tersebut, saya merangkum kesan menonton film ini sebagai sebuah action yang efektif dan layak ditonton sebelum melihat Kravitz bertransformasi menjadi Cat Woman dalam The Batman. Saya sebut film ini sebagai tontonan yang efektif karena durasinya pun hanya 89 menit dan masih berlatarkan pandemi sehingga latar tempat dari ceritanya pun relatif terbatas.

KIMI di sini adalah produk AI semacam Siri dan Alexa dari Amygdala yang belum dirilis ke publik. KIMI dianggap kontroversial karena penggunanya dapat langsung meng-improve akurasi sistem dengan memperbaiki konteks perintah mereka lewat rekaman suara yang disimpan dalam KIMI. Protagonis kita adalah Angela (Zoe Kravitz), karyawati Amygdala yang sedang bekerja dari rumah dan tengah mengevaluasi kinerja dari KIMI dengan mengecek kumpulan audio yang tertangkap. Di tengah rutinitasnya, Angela menemukan rekaman suara yang ternyata adalah bukti telah terjadinya sebuah tindak kekerasan di lingkungan apartemennya. Ketika melaporkan temuannya kepada atasannya, Angela diminta untuk memberikannya langsung ke kantor, membuat ia harus keluar apartemennya. Kendalanya, Angela adalah seorang agoraphobia yang trauma karena pernah diserang di jalan, yang kondisinya diperparah pandemi COVID yang tengah terjadi. Ketika Angela beranjak dari kediamannya, ternyata ada orang lain yang turut mendengar bukti kekerasan tersebut, yang langsung mengincarnya dari Angela.

Berdurasi relatif pendek, tentu film ini tidak terlalu menunjukkan ketakutan Angela akan dunia luar. Adegan menegangkan yang dihadirkan tidak terlalu ramai karena berupa adegan kejar-kejaran secara senyap dan aksi Angela bersembunyi di dunia luar. Aksi membela diri dari Angela di babak ketiga pun disajikan dalam aksi yang terbilang efektif di lingkungan apartemennya, cepat selesai tetapi akan memuaskan penonton. Ketika menginjak konklusi, kita pun akan mudah paham mengapa judul dari film ini adalah KIMI.

Texas Chainsaw Massacre (4/10)

Installment teranyar dari franchise Texas Chainsaw Massacre (TCM) ini merupakan rekuel dari film pertamanya yang dirilis tahun 1974 lalu. Film yang akhirnya dirilis di Netflix ini menarik opini yang berlawanan, tidak sedikit yang menyebutnya sebagai sajian horor yang menuntaskan kerinduan akan slasher murni, tetapi lebih banyak pula yang menganggap film ini tidak diperlukan karena kelemahan pengembangan karakternya. Sebelum TCM, rekuel terakhir yang saya tonton adalah Scream yang tayang Januari lalu. Jika membandingkannya dengan Scream, tentu saya akan tergabung pada golongan yang memberikan ulasan cenderung negatif pada film ini.

Tokoh yang kelak akan bertemu dengan sosok Leatherface adalah Melody (Sarah Yarkin) dan Dante (Jacob Latimore) yang hendak pergi ke Harlow untuk mengadakan acara lelang properti dan melakukan gentrifikasi. Mereka turut mengajak Lila (Elsie Fisher) – adik Melody yang memiliki trauma dari aksi penembakan di sekolahnya – dan Ruth (Nell Hudson), kekasih Dante. Melody dan Dante berkonflik dengan seorang wanita tua perihal izin kepemilikan tempat tinggalnya, yang kemudian mengundang perhatian pria misterius yang mengasuhnya. Pria tersebut ternyata adalah sosok di balik topeng Leatherface 48 tahun yang lalu, yang kembali mendapatkan insting membunuhnya setelah kematian wanita tua yang diasuhnya. Sebuah motif yang cukup untuk membuatnya mengambil kembali mesin gergaji andalannya yang sudah lama terkubur. Maka, yang akan kita lihat berikutnya adalah aksi Leatherface untuk menghabisi para pemuda yang hendak meremajakan kotanya dan mengikuti acara lelang yang diadakan Melody.

Ketika menontonnya, entah berapa kali saya berucap sumpah serapah menyaksikan kebodohan para remaja saat menghindari Leatherface. Meski menyajikan momen slasher yang begitu memuaskan, orang-orang yang dihadapi Leatherface tampak tidak pernah memberikan perlawanan yang serius kecuali di adegan konfrontasi terakhir. Mungkin adegan pembantaian masal di dalam bis menjadi adegan pembunuhan terfavorit bagi mayoritas penonton karena sekalian “membunuh” cancel culture. Namun, bagi saya adegan tersebut tetap merupakan sebuah “so what slasher“. Naskah pun kembali memunculkan karakter dari film pertamanya, Sally (Olwen Fouere), tetapi tidak memberikan pengembangan karakter untuknya. Jika dibandingkan dengan para survivor dari film-film Scream, tokoh-tokoh yang berhadapan terakhir dengan Leatherface pun tampak jauh lebih bodoh, sangat jelas.

The Ice Age Adventures of Buck Wild (4/10)

Spin-off dari franchise Ice Age ini memang cukup menghibur bagi para penonton yang pernah menonton minimal satu judul dari film-film Ice Age. Film yang semula direncanakan untuk menjadi sebuah series ini berfokus pada petualangan tupai kembar, Crash dan Eddie, yang ingin hidup mandiri dan terlepas dari kelompok para protagonis di semesta Ice Age. Keinginan tersebut didukung fakta bahwa keduanya kerap menyusahkan pengasuh mereka, pasangan mammoth Manny dan Ellie, Sid si sloth yang menjadi protagonis utama dalam franchise-nya, dan Diego sang macan.

Petualangan keduanya diwarnai oleh kemunculan Buck yang menyelamatkan mereka di Lost World dan tengah berseteru dengan Orson, dinosaurus yang ingin menjadi penguasa Lost World. Orson mendapatkan motif klise dalam melawan Buck yang menghalanginya, yakni keyakinan bahwa spesies terkuatlah yang layak memimpin. Crash dan Eddie pun sama-sama mendapatkan kesempatan untuk menjadi spesies yang berguna ketika sedang beraksi bersama Buck. Sayangnya, beberapa momen perseteruan yang cukup intense antara mereka dan pasukan Orson dibatalkan aksi konyol keduanya. Ketika semua karakter dipertemukan kembali di babak ketiga, saya merasa banyak potensi yang diabaikan untuk menyajikan aksi klimaks yang lebih epik.

Akhirnya film ini hanya berakhir sebagai tontonan ringan yang tidak meninggalkan kesan kuat, sebagai hiburan yang hanya lewat saja. Emosi ketika Ellie kembali bertemu dengan Crash dan Eddie kurang berkesan, begitu juga dengan momen rekonsiliasi Buck dan partnernya di masa lalu. Mudahnya, yang kita tonton kali ini menghantarkan emosi yang kurang, humor yang lama kelamaan tak lagi lucu, aksi yang pas-pasan, dan hiburan yang hanya cukup.

Leave a comment