Review Film Scream VI

Tema tentang film apa lagi yang akan diangkat?

Di Indonesia, Scream VI mengalami nasib yang sama dengan Lightyear (2022), batal tayang di bioskop karena scene berunsur LGBT yang ditunjukkan hanya selama 2 detik. Untungnya, film terbaru dari franchise Scream ini kini dapat ditonton di Catchplay dan HBO GO. Walaupun tayang di platform berbeda, kemunculan Scream VI sangat patut ditunggu karena menjanjikan sebuah fan service bagi para penonton yang menggemarinya sejak film pertamanya. Cuplikan trailer-nya yang menampilkan berbagai easter egg dari film-film sebelumnya dalam satu scene sukses menjadi daya tarik yang efektif.

Kita akan kembali bertemu dengan dua saudari Sam (Melissa Barrera) dan Tara (Jenna Ortega), survivor dari teror Ghostface pada film sebelumnya, Scream (2022). Keduanya kini tinggal di New York dan menjalani kehidupan barunya dengan cara berbeda. Sam masih mengunjungi psikolog untuk move on dari peristiwa pembunuhan setahun sebelumnya sementara Tara menginginkan pergaulan yang lebih bebas, termasuk dari pengawasan sang kakak. Baik Sam maupun Tara masih berhubungan dengan Chad (Mason Gooding) dan Mindy (Jasmin Savoy Brown) yang juga selamat dari drama pembunuhan yang sama. Walaupun sudah menjalani hidup baru dan berpindah kota, Sam dan Tara masih dikejar sosok Ghostface baru, yang bahkan berani beraksi di ruang terbuka. Dalam aksinya mengincar Sam dan Tara, sang antagonis meninggalkan jejak berupa topeng yang digunakan pelaku pembunuhan pada film-film sebelumnya.

Scream dikenal sebagai franchise horor yang membahas tren tentang industri film horor. Komentar yang disajikan lewat dialog-dialog yang membahas tentang pembunuhan yang terjadi seolah mengajak penontonnya untuk ikut me-roasting film-film lainnya. Seperti Scream (2022) yang membahas rekuel sambil menjadi rekuel dari Scream (1996). Film keenamnya ini pun demikian. Bahasan tentang film yang diangkat adalah tentang franchise, sesuatu yang lebih besar dibanding sekuel atau remake. Stereotip tentang franchise sendiri cukup dideskripsikan oleh dialog hipotesis dari Mindy, yang langsung mengajak kita kembali memikirkan menit-menit awal dari film ini. Ternyata benar bahwa film ini tengah mengukuhkan arah baru bahwa Scream kini adalah sebuah franchise.

Selain mengeksplor ciri-ciri franchise, film ini tak luput untuk bercerita dan menampilkan pengembangan karakter pada tokoh utamanya. Sebutlah konflik antara Sam dan Tara yang akhirnya mendapatkan sebuah konklusi yang proper dimana keinginan dari keduanya mendapatkan titik temu. Sam pun tidak hanya dibuat harus menghindari sang Ghostface, tetapi juga menghadapi konflik sampingan yang terjadi setelah ia membunuh kekasihnya setahun silam. Dikisahkan ada rumor dan teori baru yang beredar bahwa Sam adalah otak dari pembunuhan kekasihnya. Rumor tersebut diperkuat dengan fakta bahwa dirinya adalah anak kandung dari Billy Loomis, sang pembunuh pada film pertamanya. Detil dari film sebelumnya bahwa Sam terkadang mendapat bisikan dari Billy pun kembali ditunjukkan di sini.

Franchise menuntut film terbarunya untuk tampil lebih besar. Pada film ini, kesan “lebih besar” didapat dari kehadiran tokoh-tokoh pada film sebelumnya yang sekalian bertujuan untuk memberikan fan service. Kirby (Hayden Panettiere) yang selamat pada film keempat hadir dengan posisi baru, tidak hanya beridentitas survivor dari Ghostface pada zamannya. Gale (Courteney Cox) sebagai karakter yang berkali-kali selamat dari Ghostface muncul tidak hanya sebagai karakter paling senior, yang paling paham tentang cara menaklukan Ghostface. Sementara itu, Sidney yang absen karena keputusan pemerannya untuk tidak terlibat dalam film ini diberikan konklusi pintas. Dalam sebuah franchise, karakter utama dari film-film sebelumnya bisa saja dimatikan untuk digantikan generasi baru demi melebarkan jalan dari franchise-nya sendiri. Pola tersebut membuat penontonnya peduli dengan karakter seperti Gale, akankah dirinya selamat pada film ini? Apalagi naskahnya sudah mendeklarasikan sebuah regenerasi dengan terang-terangan menyebut Sam, Tara, Chad, dan Mindy sebagai Core Four karena kesamaan nasib pada film sebelumnya. Upaya lain dari filmnya untuk tampil besar dilihat dari jajaran cast yang terlibat adalah dengan menggaet nama seperti Samara Weaving meski hanya mendapatkan sedikit screen time.

Film ini sudah berniat tampil besar sejak adegan pembukanya yang masih mempertahankan formula ala Scream. Bedanya, adegan “seorang perempuan cantik ditikam pembunuh bertopeng setelah menjawab telepon darinya” tidak hanya berakhir dengan kematian sang korban. Ada kejutan yang sudah ditawarkan setelahnya. Selain korban pembunuhannya lebih banyak, skenario kematian karakternya pun bisa dibilang lebih variatif. Sang antagonis tampil lebih brutal dibandingkan para pembunuh pada beberapa film sebelumnya. Upaya para protagonis untuk saling melindungi tetap generik. Begitu juga dengan twist di babak ketiganya yang mana bukan sesuatu yang baru, tetapi tetap mengejutkan.

Bagi penggemar Scream, film ini akan menjadi salah satu edisi terfavorit karena naskahnya memberikan callback untuk semua sosok Ghostface yang pernah ada. Mulai dari Billy Loomis hingga Amber dari Scream (2022). Namun, babak ketiga dari film ini akan tampak kurang Scream dilihat dari motivasi sang antagonis. Bahasan dan identitas tentang franchise tidak turut serta menjadi motifnya. Rombakan formula yang tampak aneh karena menjadikan konklusinya sebagai konklusi dari slasher dan whodunit biasa.

7/10

Leave a comment