Review Film Civil War

Film perang, bukan tentang jagoan berkelahi

Civil War yang dirilis tahun ini bukanlah film tentang dua kubu jagoan yang berselisih paham dan saling tegang. Dilihat dari judulnya, filmnya memang berlatarkan suasana perang. Film yang disutradarai oleh Alex Garland (juga menulis naskahnya sendiri) ini mengambil sudut pandang yang unik, yakni dari jurnalis yang hendak mendapatkan berita terkini tentang sang presiden. Jadi, penonton yang berekspektasi untuk melihat dua belah pihak yang beradu senjata mungkin perlu menarik kembali ekspektasi tersebut.

Kita dibawa berkenalan dengan sekelompok jurnalis yang hendak mewawancarai presiden ketika perang sipil tengah terjadi di Amerika. Ada Lee (Kirsten Dunst) sang fotografer medan perang, rekannya Joel (Wagner Moura), dan Sammy (Stephen McKinley Henderson) sang jurnalis senior. Ketika hendak memulai perjalanan ke ibu kota, Joel mengizinkan Jessie (Cailee Spaeny) – fotografer muda yang memimpikan pekerjaan seperti Lee – untuk mengikuti mereka. Jessie sendiri pernah bertemu Lee di hari sebelumnya, ketika sebuah bom bunuh diri terjadi.

Latar belakang dari perang yang terjadi memang kurang digali. Di awal film, Garland hanya menunjukkan sosok presiden yang sudah memimpin selama tiga periode dan segera menyatakan kemenangan pihaknya terhadap oposisi. Berbagai faksi yang pecah pun tidak ditunjukkan secara detil walaupun setiap pihaknya akan masing-masing ditemui dalam perjalanan sang protagonis. Naskahnya kelak akan berfokus kepada bagaimana perang mengubah wajah Amerika. Yang lebih ingin ditunjukkan pada penontonnya adalah rasa was-was bahwa pertikaian antar faksi dapat pecah kapan pun. Sikap waspada pun harus tetap diambil para jurnalis karena keselamatan mereka tidak terjamin walau sejatinya dilindungi kode etik.

Selama 109 menit durasinya, film ini dapat dinikmati sebagai film perjalanan dari para karakternya. Di sepanjang perjalanan, para karakternya dibuat saling dekat, saling mempelajari satu sama lain, dan perlahan akan timbul rasa kepedulian yang kuat. Rasa tersebut dialami juga oleh Jessie yang menjadi orang baru di antara mereka. Karakter protagonisnya terbentuk lewat suasana tegang yang dilewati. Kelak, akan ada hasrat untuk saling melindungi di kondisi sulit. Rasa kehilangan yang meyakinkan pun tampak ketika sebuah tragedi terjadi di pertengahan film.

Dari sudut pandang jurnalis, film ini menunjukkan bahwa mereka berada di pihak yang netral ketika perang terjadi. Sebagai sebuah film perang, sang sutradara beberapa kali memperlihatkan suasana baku tembak antar warga dan konflik yang penuh darah, yang jika dibayangkan akan benar-benar mengerikan. Namun, treatment berbeda diberikan terhadap film ini. Adegan-adegan sadis terkadang dipotong dengan sudut pandang dari kamera yang menangkap momen persengketaan dari jarak dekat. Suasana menegangkan seperti baku tembak yang sengaja dilewati karakternya pun tak jarang disajikan dengan scoring yang lebih pop. Tujuannya dapat dipahami bahwa medan mengerikan tersebut adalah hal biasa bagi Lee dan kawan-kawannya. Momen terkini yang harus diabadikan lebih penting dibanding menunjukkan naluri sebagai manusia.

Sekuens “mengikuti presiden” di babak ketiganya merupakan momen paling mendebarkan dari film ini. Bahaya yang dihadapi protagonisnya lebih intens demi mencapai misi mereka. Suasana peperangan yang dihadirkan tampak lebih besar dibandingkan pada babak sebelumnya. Aksi kejar-kejaran dan penyusupan pun meningkatkan ketegangan dari pengalaman tokoh utamanya. Konklusinya ringkas dalam menunjukkan keberpihakan naskahnya.

Produksi terbaru dari A24 ini memang sebuah fiksi. Berbeda dari film perang kebanyakan yang materinya terinspirasi dari peristiwa historis sungguhan. Namun, bukan berarti suasana seperti film ini tidak mungkin terjadi di dunia nyata. Di sini lah sikap dari para pembuatnya terlihat, sebagai sebuah kritik untuk pemimpin yang meremehkan rakyatnya, untuk sebuah negara yang masyarakatnya mudah terpolarisasi.

7.5/10

Leave a comment