Review Film Abigail

Abigail adalah wujud sebenarnya dari bocah kematian

Sebelum menonton Abigail, saya sudah berbekal ekspektasi untuk bertemu sosok anak mematikan seperti Esther dari Orphan (2009). Sekilas, pasti akan seru melihat aksi orang-orang dewasa melawan seorang anak perempuan yang sebenarnya juga sudah berpikiran dewasa. Ditambah lagi, dua sutradaranya pernah bekerja sama dalam mengarahkan film horor yang penuh cipratan darah, Ready or Not (2019) dan Scream (2022). Maka, rasa penasaran saya semakin spesifik: Akan sebrutal apa film terbaru tentang vampir cilik ini?

Bagi penonton yang belum mendapatkan informasi apapun tentang film ini, adegan pembukanya saja sudah dibuat menipu. Diperkenalkan seorang anak perempuan bernama Abigail (Alisha Weir) yang baru pulang dari latihan baletnya. Ketika sedang beristirahat, Abigail diculik oleh sekelompok profesional yang diutus oleh pemimpin mereka, Lambert (Giancarlo Esposito). Sesampainya di markas, Lambert meminta keenam penculik untuk menjaga Abigail dalam 24 jam jika ingin mendapat bagian uang tebusan dari ayahnya. Yang mereka tidak ketahui, Abigail ternyata adalah sosok vampire tua yang segera memangsa balik kelompok penculik tersebut.

Kisah tentang sekelompok manusia yang harus melawan makhluk mengerikan bukanlah ide yang baru. Namun, naskah dari Stephen Shields dan Guy Busick terbilang segar karena modifikasi akan premis utamanya. Kawanan penculik yang diperkenalkan ternyata baru saling kenal dan tidak menunjukkan identitas asli masing-masing. Karena mereka direkrut secara terpisah berdasarkan kemampuan masing-masing. Untuk kepentingan komunikasi pun, mereka menggunakan nama panggilan yang diberikan Lambert secara dadakan. Seiring majunya film, anggota komplotan tersebut akan dikenal sebagai Joey (Melissa Barrera), Frank (Dan Stevens), Rickles (Will Catlett), Sammy (Kathryn Newton), Peter (Kevin Durand), dan Dean (Angus Cloud). Dengan screen time terbanyak akan dimiliki oleh Joey yang mengambil pekerjaan ini demi bisa bersatu kembali dengan anaknya dan Frank yang ternyata sudah mengetahui rahasia keluarga Abigail. Gagasan bahwa protagonis kita terperangkap di rumah berhantu pun agak dibalikkan karena mereka nantinya balik diserang oleh anak kecil yang mereka culik.

Sebagaimana Ready or Not (2019), film ini memiliki sisipan komedi yang muncul dari keluguan karakternya. Kini, unsur humornya ditunjukkan lewat aksi Abigail yang berpura-pura lugu seperti anak kecil sungguhan dan upaya para penculik untuk menaklukan Abigail. Stereotip umum akan vampir yang berasal dari referensi kekinian turut disinggung, memperkuat kesan konyol dari beberapa karakternya. Sayangnya eksplorasi tentang kemampuan dan kekuatan Abigail masih relatif kurang. Apalagi ketika ada plot pengkhianatan menjelang akhir film yang berpotensi menggali latar belakang sang vampir lebih dalam.

Elemen horornya bisa dibilang tereksekusi secara total. Adegan mutilasi, kejar-kejaran melawan sang vampir cilik, hingga derasnya semprotan darah yang dialami sang protagonis tersaji tanpa segan, tanpa kompromi. Melihat riwayat dari kedua sutradaranya, film ini benar-benar dijadikan medium bagi mereka untuk bersenang-senang lewat darah yang lebih deras dan skenario kematian yang memuaskan. Kegemaran Abigail akan balet pun tidak akan mudah dilupakan walaupun karakternya sudah beralih jauh sejak awal film. Bahkan, kesan penuh darahnya bisa dipertahankan hingga durasi akhir.

Sisipan drama dari Joey yang merindukan anaknya diungkap dengan cukup proporsional terhadap cerita utamanya. Sejak awal pula, Joey lah yang paling terikat dengan Abigail, yang sejak awal hendak mempermainkan mangsanya karena kekurangan perhatian dari ayahnya. Melihat dinamika hubungannya dengan yang lain beserta kesungguhannya untuk sang anak, konklusi yang ia dapatkan akhirnya terasa cukup layak. Ketegangan yang ia alami sebagai final girl pun tersampaikan apik berkat memukaunya penampilan Barrera.

7/10

Leave a comment