Review Film Hanum dan Rangga (2018)

Film tahun lalu terakhir yang akan saya ulas pada kesempatan kali ini adalah Hanum & Rangga. Sebenarnya judul lengkap untuk film ini adalah Hanum & Rangga: Faith & the City, namun masyarakat lebih mudah menyebut film ini sebagai Hanum & Rangga saja. Kabarnya pula pada libur Lebaran kali ini, film ini akan ditayangkan di salah satu TV swasta.

Film korban para buzzer politik Indonesia di tahun 2018

Pada bulan November lalu, film ini termasuk film Indonesia yang menuai kontroversi. Pasalnya, film ini dibuat berdasarkan pengalaman dari Hanum Rais, putra dari Amien Rais dan dokter yang sangat berkaitan dengan kasus hoax Ratna Sarumpaet. Pada masa tayangnya pun film ini memasuki layar lebar bersamaan dengan A Man Called Ahok dan semakin memicu cyber war kedua kubu politik Indonesia. Alhasil film ini menjadi korban dari para buzzer yang langsung memberikan rating sangat rendah untuk film ini. Padahal cerita pada film ini tidak berhubungan sama sekali dengan perpolitikan di Indonesia dan justru memiliki niat baik dalam membagikan pengalaman Hanum dan suami saat tinggal di New York. Sialnya, ketika segala perbincangan di Indonesia sedang marak-maraknya dikaitkan dengan politik, dan pemilik cerita pada film ini berada di kubu yang sedang diserang, film ini tidak banyak diulas murni berdasarkan ceritanya. Ulasan kali ini pun akan murni membahas film ini dari segi ide cerita tanpa menyinggung hal-hal berbau politik.

Semula saya mengira film ini adalah kelanjutan langsung dari Bulan Terbelah di Langit Amerika karena trailer film ini menyinggung pertanyaan yang pernah dibahas pada kedua film tersebut, “Apakah dunia akan menjadi tempat yang lebih baik tanpa Islam?” Jika benar demikian, maka film ini merupakan film yang tidak perlu ada karena pertanyaan tersebut sudah cukup terjawab dalam film dan novel yang bersangkutan. Namun perkiraan saya salah, film ini diadaptasi dari novel Hanum yang lain, yakni Faith and the City. Penyematan “Hanum & Rangga” pada judul film ini seolah menegaskan bahwa film ini adalah bagian dari “Hanum Universe”, yang bagi saya tidak perlu dan membuat film ini makin disinggung ke masalah politik.

Film ini menceritakan Hanum (Acha Septriasa) yang sudah memiliki reputasi positif di New York berkat artikel yang ia tulis di Bulan Terbelah di Langit Amerika dan mendapatkan tawaran magang bersama Andy Cooper (Arifin Putra), idolanya pada saat itu. Rangga (Rio Dewanto) pun harus mengalah dengan menunda kepulangan mereka dan tetap tinggal di New York. Pekerjaan baru Hanum mengubahnya menjadi wanita karir yang jarang mmeberikan waktunya untuk suami. Andy yang menjadi bos Hanum pun diketahui sangat menuhankan rating dan menganggap pemberitaan dan acara tentang Islam adalah sumber rating yang sangat seksi. Secara bergantian, kedua premis inilah yang dihadapi Hanum secara bergantian.

Film ini tampak berhasil dalam memberikan kritik atas media masa kini di mana rating adalah sesuatu yang harus dicapai ibarat nilai A saat di bangku kuliah. Kritik tersebut sukses dideskripsikan melalui Andy yang diperankan Arifin Putra yang juga sudah terbiasa mendapatkan peran bad boy. Baginya rating tinggi adalah kunci kesuksesan, dan sentimen mengenai Islam adalah alat untuk mencapai Tuhan baginya itu. Maka ekspektasi dirinya, yang tergambar pada film adalah kesedihan keluarga dari korban perang di Timur Tengah dan trauma warga New York pasca 9/11, yang harus dicapai dengan menghalalkan segala cara. Namun karakter dan prinsip Andy ini dapat diimbangi kreativitas Hanum dalam membuat acara bereksperimen sosial tentang warga Muslim di New York, yang tidak harus dibawakan termehek-mehek.

Berdasarkan ceritanya lagi, jika diperhatikan secara detil film ini memiliki tiga kekurangan utama. Pertama, adanya bumbu drama rumah tangga yang merusak. Jika niat film ini adalah menceritakan kehidupan Hanum sebagai istri dan reporter sekaligus, maka porsi cerita untuk permasalahan rumah tangganya sudah terlalu banyak. Bagi Hanum yang digambarkan sebagai wanita yang taat dan cerdas, beberapa konflik pada film sejatinya tidak perlu terjadi, contohnya kecemburuannya akan Azima (Titi Kamal). Kedua, beberapa bagian film yang dibuat kurang realistis. Saya paham jika film (dan novel) ini diangkat dari kisah nyata dan memiliki bumbu fiksi untuk dramatisasi seperti Laskar Pelangi. Namun, ketika menonton film ini saya langsung bertanya “Apakah Hanum pada saat di kantornya benar-benar berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia?”, “Benarkah Hanum bertemu Andy Cooper, pimpinan Global New York TV (GNTV) keturunan Indonesia?”, atau “Apakah stasiun TV seperti GNTV benar-benar ada, walaupun jika GNTV merupakan nama samaran untuk stasiun TV yang sebenarnya?” Dan yang lebih menggelitik adalah, apakah acara Hanum pada saat itu benar-benar ditonton 20 juta orang dalam 2 jam? Sangat hiperbola mengingat pada saat itu Youtube belum se-common sekarang. Hal ini berkaitan dengan kekurangan terakhir pada film, yakni konsistensi latar waktu. Dikisahkan kejadian di film ini adalah 2 tahun setelah tragedi 9/11, tahun 2003, tetapi teknologi yang digunakan Hanum seperti ponsel dan Youtube terlalu mutakhir di masa itu.

Secara penokohan pula, walaupun film ini bukan film utama dalam “Hanum Universe”, film tetap tampak membangun ulang chemistry Hanum dan Rangga misal, dan branding secara keseluruhan. Itulah risiko dari adanya pergantian pemeran untuk tokoh Rangga dan Azima. Bagi saya hal ini sangat disayangkan mengingat jajaran pemain Bulan Terbelah di Langit Amerika tidak dapat bereuni di film yang dapat dibilang kelanjutannya ini.

Singkatnya, film ini merupakan film yang berhasil mengkritik para penggiat media modern dan akan jauh lebih baik jika setiap detil pada film dibuat lebih realistis. Nilai saya untuk film ini adalah 5 dari 10. Nilai ini murni berdasarkan cerita yang ingin disampaikan oleh film, tanpa sentimen politik apapun. Penilaian saya pun akan berubah andaikan saya sudah membaca novel aslinya karena akan melibatkan banyak perbandingan apakah novel dan film sudah cukup sesuai?

Melalui ulasan untuk film ini pula, saya berharap semoga tidak ada lagi film Indonesia yang tidak mendapatkan apresiasi yang sesuai dengan kualitas dari film itu sendiri, apalagi dikaitkan dengan preferensi politik penontonnya. Karena saya yakin setiap orang yang mengerjakan film ini tidak pernah memikirkan urusan politik saat sedang melaksanakan passion-nya. Apabila ingin mengkritisi suatu film, ungkapkanlah berdasarkan cerita, efek audio visual, atau kualitas para bintangnya dalam beradu peran. Jika ingin menilai suatu film di luar aspek-aspek tersebut, apalagi tidak ikut menontonnya, sebaiknya tidak usah ikut memberi rating di situs-situs kumpulan ulasan film.

1 thought on “Review Film Hanum dan Rangga (2018)

  1. Pingback: Review Film Pretty Boys | Notes of Hobbies

Leave a comment