Review Film Iqro: My Universe

Sebuah sekuel yang tidak lebih baik dibandingkan film pertamanya.

Isra Miraj. Itulah yang terlintas dalam pikiran saja sejak menyaksikan trailer film ini yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah astronot pertama di dunia. Klaim tersebut memang cukup mengganggu beberapa penonton di Indonesia. Namun yang saya yakini, pernyataan tersebut diutarakan dalam konteks berbicara tentang ilmu agama, dalam dialog sesama muslim, yang mengimani Isra Miraj sebagaimana mengimani larangan untuk memakan daging babi. Namun lagi, Isra Miraj bukanlah perjalanan untuk meneliti luar angkasa, melainkan perjalanan ke ujung langit untuk menerima perintah salat, yang terjadi berkat kebesaran Allah. Dengan demikian penggunaan kata “astronot” pada dialog film tersebut hanya kurang tepat saja.

Film yang merupakan sekuel dari Iqro: Petualangan Meraih Bintang ini kembali bercerita tentang Aqila (Aisha Nurra Datau) yang bercita-cita menjadi seorang astronot. Suatu hari Aqila ingin mengikuti kompetisi vlog yang mengulas tokoh astronom. Namun Opa Wibowo (Cok Simbara), kakek Aqila yang merupakan peneliti luar angkasa tidak dapat membantu karena ada penelitian yang membutuhkannya di Inggris. Kecewa dengan kepergian sang opa, Aqila lalu mencari tokoh lain untuk diulas dalam vlog-nya, hingga bertemu Tsurayya (Maudy Koesnaedi), yang sedang meneliti tanaman untuk dikirim ke luar angkasa. Kesungguhan Aqila untuk menjadi seorang astronot membuat Tsurayya bersedia tampil dalam vlog yang akan ia buat.

Aqila adalah tokoh yang sangat menarik perhatian, siswi yang pandai termasuk dalam mengaji, tetapi juga keras kepala jika keinginannya tidak tercapai. Tokoh Aqila yang berjiwa kompetitif ini mengingatkan saya pada Cristiano Ronaldo, dalam hal membenci kekalahan. Pada awal film pun digambarkan Aqila yang murung setelah kalah dalam science fair, lalu malas berbicara termasuk dengan opa kesayangannya. Aqila pun digambarkan sebagai anak yang benar-benar ingin menjadi astronot, hingga lupa diri akan kewajibannya mengerjakan PR dari sekolah. Dalam rangka mencari narasumber untuk vlog-nya pun, Aqila meminta Tsurayya dengan nada memaksa bagaikan anak sekolah yang meminta izin orang tuanya untuk ikut study tour ke luar negeri. Melalui tokoh-tokoh yang berinteraksi dengan Aqila, film seolah ingin mengajarkan kepada anak-anak seusia Aqila untuk bersungguh-sungguh dalam mengejar cita-cita dan menikmati proses belajar, bukan hanya mengincar menang lomba.

Dari segi cerita, film ini memiliki plot yang terbilang datar dan tidak pernah menemui konflik yang cukup serius. Saya paham film produksi YPM Salman ITB ini berupaya menjadi film yang mendidik dan menginspirasi anak-anak supaya rajin belajar, sehingga tidak ada konflik yang didramatisasi dari setiap konflik yang ditemui para tokohnya. Bahkan masalah yang ditemui Aqila pada film termasuk diakibatkan sesuatu yang sepele tetapi fatal, handphone-nya ketinggalan misal. Solusi untuk permasalahnnya pun cukup sepele dan disampaikan dengan mudah saja. Termasuk quest yang diberikan Tsurayya kepada Aqila, tidak terasa sulit sehingga kita tidak dapat merasakan perjuangan Aqila dalam membuat vlog-nya. Ditambah lagi, film tidak begitu memperhatikan detil yang kecil tetapi mengundang respon “Hah?” dari para penonton. Misalnya saja ketika Opa Wibowo mengatakan bahwa di Inggris berbuka puasa jam 7 malam, salah satu penonton di sebelah saya langsung merespon “Jam 9, bukan jam 7!”

Inti cerita pada film ini pun bercabang menjadi dua premis, tentang Aqila dengan urusan lomba vlog-nya, juga tentang Fauzi (Raihan Khan) yang hendak mendaftar beasiswa penghapal Al-Quran. Tokoh Fauzi diceritakan kembali seolah karena pernah muncul juga pada film sebelumnya, dengan konflik yang pada dasarnya tidak ada benang merahnya dengan cerita tentang Aqila, namun sengaja dihubung-hubungkan ketika mereka bertemu dalam scene yang sama. Walaupun cerita tentang Fauzi ini memiliki tujuan mulia, untuk memotivasi anak-anak dalam mengaji, tetapi membuat cerita film ini menjadi tidak fokus. Padahal film pertamanya berhasil mempertemukan premis cerita dari Aqila dan Fauzi dalam konflik yang dapat ditemukan pada akar konflik yang cukup serius, tentang proyek pembangunan hotel di lahan observasi langit.

Film pertamanya bahkan bagi saya lebih berhasil dalam memotivasi anak-anak untuk rajin belajar dan memiliki rangkaian konflik yang mengundang simpati.

Pada film ini, cerita tentang Bang Codet (Mike Lucock), mantan preman sekaligus ayahnya Fauzi sempat menjadi show stealer. Kehadirannya sempat mengundang tawa ketika berinteraksi dengan temannya yang pikun, juga membuat terharu ketika menjadi sosok ayah bagi Fauzi. Berbeda sekali dengan peran Rony Dozer yang malah memaksa tertawa. Konflik yang dialami Bang Codet pun tampak diselesaikan dengan mudah saja, menegaskan bahwa konfliknya pada film pertama berkembang dengan jauh lebih baik.

Memiliki latar waktu di bulan Ramadhan, film ini tampak cocok sebagai film Lebaran tahun ini. Konon film ini terpaksa menunda waktu tayang karena slot film Lebaran yang sudah terlalu penuh pada tahun ini, 5 film yang masih harus bersaing dengan film barat yang masih laku peminat seperti Godzilla dan Aladdin. Konsekuensinya, film ini menjadi kurang relevan, kehilangan momen untuk menjadi film Lebaran sejati yang dapat dinikmati bersama keluarga.

Kehilangan momentum “hari kemenangan” dan pengembangan cerita yang agak dangkal menjadikan film ini sebagai sekuel yang tidak lebih baik. Dalam memadukan agama dan sains, film yang sebenarnya bermuatan positif ini malah memiliki cerita yang kurang cocok sebagai satu film yang utuh. Mungkin apa-apa dan siapa yang ingin diceritakan oleh film ini lebih cocok disajikan sebagai series yang terdiri dari beberapa episode, sebagai lanjutan film pertamanya yang sudah cukup baik. Sebagai sebuah film, nilai saya pun hanya 5.5 dari 10, itupun setelah mempertimbangkan pesan positif dari film ini.

Leave a comment