Daily Archives: August 18, 2019

Review Film Bumi Manusia

Usaha Dilan, eh, Iqbaal Ramadhan di film ini patut diapresiasi.

Sebelum memulai ulasan, saya ingin memberikan disclaimer bahwa ketika hari Kamis lalu saya menonton Bumi Manusia dalam keadaan belum pernah membaca novel karya Pramoedya Ananta Toer tersebut. Saya pun belum pernah menonton versi teater dari Bumi Manusia yang dimainkan oleh Reza Rahadian dan Chelsea Islan. Jadi, apa yang akan saya ulas pada paragraf-paragraf berikutnya murni dari sudut pandang seseorang yang baru mengenal Bumi Manusia ketika menonton film adaptasinya yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo.

Sebelum membahas sinopsis Bumi Manusia beserta hal-hal yang saya suka dan tak suka dari filmnya, saya akan memulai artikel ini dengan sedikit membahas seorang Iqbaal Ramadhan. Dipilihnya Iqbaal untuk memerankan Minke dalam film ini beberapa bulan yang lalu sukses menuai penolakan dari para penggemar novelnya. Bagi mereka, Iqbaal yang sudah tercitrakan sebagai Dilan sangat tidak cocok memerankan Minke. Bahkan sosok Iqbaal sampai dibandingkan dengan Reza Rahadian yang sudah pernah memerankan Minke versi teater. Namun jika kita melihat ke belakang, Iqbaal pun pernah diremehkan dengan pernyataan serupa sebelum memerankan Dilan dalam Dilan 1990. Lalu yang berikutnya terjadi adalah Dilan 1990 mendapatkan lebih dari 6 juta penonton dan image Dilan masih sangat melekat dalam diri Iqbaal, termasuk saat ia tampil dalam acara minggu siang dari Ruang Guru di TV swasta. Yang menjadi pertanyaan kini, berhasilkah Iqbaal menjadi Minke?

Sebelum film dimulai, lagu Indonesia Raya dikumandangkan dan semua penonton di studio berdiri khidmat. Film lalu dimulai dengan memperkenalkan Minke (Iqbaal Ramadhan), pemuda pribumi yang beruntung dapat merasakan pendidikan di sekolah Belanda. Melalui temannya yang berdarah campuran, Minke bertemu Annelies Mellema (Mawar De Jongh), gadis keturunan Belanda – Jawa, anak dari keluarga Mellema yang merupakan pengusaha sukses. Annelies dan ibunya, Nyai Ontosoroh (Sha Ine Febriyanti) menyambut baik kedatangan Minke, tidak seperti kakaknya, Robert (Giorgino Abraham) yang bersikap seolah ia keturunan Belanda asli. Minke dan Annelies saling mencintai, Ontosoroh pun merestui hubungan mereka berdua hingga keduanya menikah. Ketika Minke diterima keluarga Mellema, kehidupan mereka dihadapi berbagai masalah, dari diracuninya Herman Mellema (Peter Sterk), suami Ontosoroh, hingga istri sah Herman yang hendak mengambil seluruh harta Herman dan hak asuh Annelies yang menurut pengadilan Eropa masih di bawah umur.

Di sepanjang film, saya tidak sepenuhnya mengatakan Iqbaal Ramadhan sukses memerankan Minke, bukan karena sosok Dilan masih terlihat dalam diri Iqbaal. Ya, pada dialog Minke yang merayu Annelies, saya sepakat untuk menanyakan “Apakah ini Dilan 1900?” Logat Jawa yang kadang memudar dan ekspresi darinya yang terkadang tipis membuat sosok Minke kurang tergambarkan dengan tegas. Namun kecerdasan dan kebaikan Minke bagi saya sudah berhasil diperankannya. Tanpa melihat hasil akhir seorang Minke yang diperankan Iqbaal juga mengeksplor karakter Minke dalam bukunya, saya dapat melihat betul usaha Iqbaal menguasai perannya, dan benar usaha tidak pernah mengkhianati. Mawar De Jongh yang belum banyak bermain film pun berhasil ekspresif dan membuat kita mengerti mengapa Minke mencintai Annelies. Dari segi tokoh, bagi saya pemeran yang paling berhasil adalah Sha Ine yang memerankan Nyai Ontosoroh, paling memberikan nyawa untuk perannya dibandingkan Iqbaal dan Mawar. Sha Ine tidak hanya tampil prima sebagai sesosok ibu dan istri simpanan yang tekun (Ya, dalam Bumi Manusia, Ontosoroh tidak pernah dinikahi secara sah oleh Herman Mellema), tetapi juga berhasil ekspresif di kala membawakan dialog-dialog emosional baginya.

Latar dari film pun digarap dengan sangat niat. Para pemeran film ini berdialog dalam tiga bahasa, Indonesia, Jawa, dan Belanda secara tepat guna dan membuat dialog antar tokoh tampak natural. Penggunaan banyak bahasa secara proporsional ini mirip dialog para jagoan dalam Triple Threat. Ilustrasi situasi abad 19, mulai dari pemandangan hingga pemerintahan yang diisi oleh tokoh Pribumi dan Kolonial pun cukup akurat dan enak untuk diikuti, membuat saya ikut mengira “Oh seperti ini ya tanah Jawa pada saat itu”. Beberapa pemandangan cukup memanjakan mata selama 181 menit durasi film. Ilustrasi tersebut berhasil walaupun sebelumnya ada yang mengkritisi penampilan Annelies yang “kurang mewah” dan kumis Minke yang kurang tampak. Selain aspek-aspek visual, interaksi antara kaum Pribumi dan Belanda pun ditunjukkan dengan efektif, seperti sebutan “monyet” dari yang berdarah Belanda kepada orang Pribumi. Walaupun bisa berbahasa Belanda, kaum berkulit cokelat tetap diremehkan sebagai monyet yang hanya berhak berbahasa Indonesia atau Jawa. Bahkan pada film, Minke pun dijelaskan sebagai nama panggilan dari anak-anak Belanda kepada seorang anak Pribumi yang tak bisa berbahasa Inggris. Minke di sini adalah plesetan dari monkey.

Ilustrasi visual Jawa pada tahun 1900an yang niat dieksekusi. Effort semua tim dari film ini sangat jelas tampak.

Secara garis besar, film ini bercerita di sekitar ketiga tokoh utama kita, Minke, Annelies, dan Nyai Ontosoroh. Untuk menjaga akurasi cerita novel yang cukup tebal, tentu durasi tiga jam pun tidaklah cukup untuk bercerita secara detil sekaligus menjelaskan unsur-unsur intrinsik dari novelnya. Alhasil kita akan melihat Minke dalam berbagai situasi, Minke sebagai kekasih Annelies, Minke sebagai siswa kritis dari HBS, hingga Minke bersama ayah dan ibu kandungnya. Selama tiga jam pula banyak tokoh pendukung yang mencuri perhatian seperti Darsam si pelayan keluarga Mellema dan Jean Marais, teman curhat Minke yang gemar melukis. Di masa dimana ilmu pengetahuan dari Eropa sedang sangat berkembang, Minke digambarkan sebagai siswa kritis yang merasakan ketidak adilan atas diperlakukannya rakyat Pribumi di tanahnya sendiri. Minke yang memperjuangkan kesamaan derajat dan hak kerap kali menulis editorial menggunakan nama Belanda samarannya. Perjuangan dengan pemikirannya sekilas mengobati kegundahannya dan membuat kagum keluarga keturunan Belanda yang berkawan dengan ayahnya. Sementara itu, film pun mengangkat bagaimana gagasan dan tulisan Minke menjadi kunci atas permasalahan yang menguras hati Ontosoroh dan Annelies. Secara umum, akan ada saatnya di mana film menunjukkan power of writing terhadap masyarakat di tanah Jawa yang terdiri dari berbagai suku. Pada saat itulah film berhasil menunjukkan kuatnya rasa persatuan kaum Pribumi dalam memperjuangkan haknya. Sebagai trivia, Minke adalah representasi dari tokoh pers asli Indonesia, Tirto Adhi Soerjo.

Konsekuensi dari banyaknya peristiwa yang diceritakan pada film dengan durasi terbatas adalah beberapa karakter yang menarik muncul dan menghilang secara tak tentu. Peristiwa yang ingin disampaikan pun tidak mendetil, hanya sebatas intisarinya. Contohnya tokoh Robert yang menghilang di pertengahan cerita, serta keluarga asli Minke yang hanya ditunjukkan dalam satu plot. Penceritaan kasus terbunuhnya Herman pun tidak tampak selesai, hanya sebatas menceritakan siapa yang menang dan kalah tanpa menjabarkan motif peristiwa tersebut. Bagi saya yang pertama kali mengenal Bumi Manusia, perpindahan cerita antar kejadian yang diceritakan terbilang cepat. Oleh sebab itu saya langsung ingin membaca novel Bumi Manusia beserta tetraloginya sekeluarnya dari studio. Bahkan durasi tiga jam pun tak terasa ketika film menginjak konklusi akan takdir untuk hubungan Minke dan Annelies yang menguras perasaan ketiga tokoh utama kita. Banyaknya adegan yang diceritakan pada film ini, walaupun berdurasi lama, membuat saya ingin film ini dijadikan dua bagian saja. Part 1 untuk saat ini, lalu beberapa bulan kedepan atau tahun depan dirilis bagian keduanya. Namun lagi, sang produser tampaknya tidak akan menilai ide tersebut baik mengingat film ini memang dirilis pada momentum ulang tahun Republik Indonesia.

Terakhir, singkat saja. Kesimpulan dari tulisan di atas yang ternyata cukup panjang dari biasanya, adalah nilai 7 dari 10 dari saya untuk film ini. Andaikan saya sudah membaca novelnya, mungkin nilai dari saya akan berubah entah lebih baik atau buruk. Jika saya sudah membacanya pula, mungkin artikel ini akan lebih panjang lagi 😀