Review Film Perburuan

Satu film adaptasi novel Pram lagi dalam rangka menyambut ulang tahun Republik Indonesia

Adalah suatu fenomena langka ketika suatu rumah produksi merilis dua film bertema sama dalam waktu yang bersamaan. Hal itulah yang dilakukan Falcon Pictures dalam momen ulang tahun Republik Indonesia kali ini. Falcon merilis Bumi Manusia dan Perburuan pada tanggal yang sama, dua film berlatarkan perjuangan sebelum kemerdekaan tetapi memiliki banyak perbedaan. Secara presentasi, Bumi Manusia memiliki poster yang cerah menunjukkan ketiga pemerannya yang rupawan, sementara poster Perburuan tampak gelap dan hanya diisi Adipati Dolken yang berpenampilan lusuh. Bumi Manusia menceritakan perjuangan melawan sistem pada masa kolonial Belanda, sementara Perburuan menceritakan prajurit yang bersembunyi dari tentara Jepang. Perbedaan signifikan keduanya membuat kita berpikir seolah Falcon memang sedang “mengadu” kedua film garapannya.

Perburuan menceritakan Indonesia pada masa penjajahan Jepang. Tentara Jepang kala itu sudah mengusir Belanda dari tanah air, pemerintahannya pun telah menerapkan Romusha, sistem kerja paksa yang dinilai lebih menyengsarakan dibanding rodi yang diterapkan kolonial Belanda. Secara organisasi, Jepang mendirikan PETA (Pembela Tanah Air) yang mempersiapkan tentara Indonesia juga menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia. Hardo (Adipati Dolken), prajurit PETA yang tidak puas dengan perlakuan tentara Jepang pun merencanakan suatu pemberontakan pada Februari 1945, yang dalam buku Sejarah kita dikenal sebagai Pemberontakan PETA Blitar. Namun rencananya dibocorkan salah satu temannya yang berkhianat sehingga pemberontakan ini dapat diketahui Jepang terlebih dahulu. baku tembak pun terjadi, menyisakan sebagian pasukannya yang bersembunyi di hutan. Ketika pasukannya ada yang menyerahkan diri ke tentara Jepang dan kembali ke markas PETA, dan juga ada yang berpencar menuju persembunyian yang lebih aman, tersisa Hardo yang masih berusaha idealis dalam persembunyiannya. Dalam persembunyiannya juga, Hardo tentu terpisah jauh dengan tunangannya, Ningsih (Ayushita).

Berbeda dengan Bumi Manusia yang menceritakan banyak peristiwa, Perburuan lebih berfokus pada masa buronnya Hardo pasca gagalnya pemberontakan yang ia rencanakan. Menjaga keaslian sejarah yang ingin diceritakan, film juga menampilkan Shodancho Supriyadi, pemimpin pemberontakan Blitar versi buku sejarah yang kita baca sejak SD. Pada film ini, Supriyadi dikisahkan menghilang karena tidak percaya dengan pemerintahan Jepang dan meninggalkan seragam Shodanchonya. Praktis, film ini pun sekaligus mengenang jasa Supriyadi yang kabarnya tidak diketahui secara pasti hingga kini. Cerita yang diangkat dari sudut pandang Hardo ini juga turut menampilkan flashback dialog dirinya dan Ningsih tentang cita-cita kemerdekaan dan makna ibu pertiwi bagi Hardo.

Film ini memiliki cakupan waktu yang cukup pendek karena hanya bercerita tentang momen sebelum pemberontakan hingga tibanya hari kemerdekaan Indonesia. Setelah konklusi pemberontakan tersebut, film langsung melompat jauh ke masa enam bulan setelahnya, dan pada saat itu kita tahu bahwa tentara Jepang sudah kalah dari Sekutu dalam PD II. Hardo yang tidak tahu akan hal itu dan masih bersembunyi tentu akan terus berpindah dari goa ke goa, hutan ke hutan, hingga ladang ke laut. Ia yang hanya ingin kembali ketika Jepang sudah kalah tetap menyamar menjadi pengemis dengan penampilan barunya. Walaupun berpenampilan baru, bekas luka 5cm pada tangannya tetap membuat ia mudah dikenali. Bagi saya, cerita tentang bersembunyinya Hardo tidak begitu menarik karena tidak lagi memberikan dialog-dialog filosofis seperti prinsip berdikarinya. Film kembali menarik dan agak menegangkan setelah menceritakan twist pengkhianatan dari sahabatnya, Karmin, dan ayah tunangannya yang membongkar penyamaran dan pelarian Hardo. Namun lagi, plot tersebut tidak dibarengi dengan penceritaan motif pengkhianatan yang mereka lakukan. Momen deklarasi kemerdekaan Indonesia yang menjadi garis finish film ini pun dieksekusi dengan kurang memuaskan. Pada momen tersebut, terdapat scene di mana akhirnya Hardo kembali bertemu dengan Ningsih dan ayahnya yang membocorkan pelariannya. Sayangnya chemistry kedua tokoh lelaki tersebut membuat saya tidak merasa bahwa Ningsih adalah sosok yang penting bagi mereka berdua.

Menurut kalian, apa makna adegan korek api dalam goa tersebut?

Sebelum menulis artikel ini, saya sempat membaca ulasan film ini pada artikel Tirto berikut. Selesai membaca, saya yang juga belum membaca versi novel dari Perburuan semakin tidak puas dengan film ini. Karena saya jadi semakin tahu bahwa film ini minim eksplorasi karakter. Konflik Hardo dengan keluarganya tidak disinggung, begitu juga dengan motif pengkhianatan dari temannya Hardo. Dari artikel tersebut, saya hanya merasakan keberhasilan film ini dalam menggambarkan sikap Pram yang sangat membenci Jepang dan tidak berbelas kasih bahkan setelah Jepang kalah dari Sekutu.

Berhenti membicarakan karakter antar tokoh dan jalan cerita, kita beranjak mengulas latar suasana yang digambarkan Richard Oh pada film ini. Dialog antar tokoh tidak tampak natural, tidak konsisten kapan harus berbahasa Indonesia, Jepang, atau berbahasa Indonesia dengan logat Jepang. Jauh berbeda dengan Bumi Manusia yang tahu betul kapan para pemerannya harus berdialog dengan bahasa apa. Bentuk kebengisan Jepang terhadap pribumi yang melatarbelakangi kebencian Hardo akan Jepang pun hanya diilustrasikan sebatas lewat saja di depan pemandangan Hardo dan Ningsih. Lalu juga bendera PETA yang sesungguhnya tidak muncul sama sekali instead of bendera Jepang yang berkibar di markas PETA.

Berbeda dengan Bumi Manusia, setelah menonton film ini saya malah tidak tertarik untuk membaca bukunya. Keluar bioskop, saya pun mutlak hanya memberikan nilai 5 dari 10 untuk film ini, dan tidak bisa lebih lagi.

Leave a comment