Daily Archives: September 3, 2019

Review Film Twivortiare

Satu lagi cerita tentang permasalahan pernikahan orang kaya.

Sebelumnya saya ingin menyampaikan bahwa ulasan yang saya tulis untuk film ini berdasarkan sudut pandang dari saya yang belum pernah membaca Divortiare dan Twivortiare, karya Ika Natassa yang diadaptasi oleh film ini. Maka itu, saya akan mengulas film ini sebagai satu film yang utuh, tanpa membandingkan ceritanya dengan cerita di dalam novelnya.

Twivortiare sejak awal menceritakan hubungan pernikahan Beno (Reza Rahadian) dan Alexandra (Raihannun) yang berakhir dengan perceraian. Dua tahun setelah perceraian mereka, ternyata Beno dan Alex masih memendam rasa cinta, walaupun Alex masih menyesali pernikahan mereka yang lalu. Alex yang sudah tampak move on bersama Deni (Denny Sumargo) pun tidak sebahagia ketika ia berpacaran dengan Beno. Akhirnya Alex mengakui bahwa ia masih mencintai Beno dan menerima ajakannya untuk rujuk. Pada pernikahan kedua mereka, Alex dan Beno berjanji untuk belajar saling memahami. Namun permasalahan rumah tangga mereka yang terdahulu muncul kembali ketika Beno makin disibukkan dengan pekerjaannya di rumah sakit. Sementara itu, Alex harus berhadapan dengan klien besar sebelum mendapatkan cuti panjang untuk menemani perjalanan dinas Beno ke Amerika.

Tayang bersamaan dengan Gundala, pembuka jagat perfilman paling ambisius di Indonesia, film ini tampak tidak kalah ambisius. Benni Setiawan membuat Twivortiare tidak kalah bertabur bintang berkat kehadiran nama-nama seperti Denny Sumargo, Arifin Putra, dan Ferry Salim. Namun tentu saja Raihannun lah yang paling memberi nyawa pada film ini. Saya tidak tahu bagaimana deskripsi tokoh Alex pada novelnya, tetapi Raihannun tampak natural dan menunjukkan emosi yang akurat ketika memerankan Alex. Sementara itu Reza Rahadian yang memerankan Beno memang cocok memerankan Beno, lelaki pekerja keras yang sukses, selain karena penampilannya yang “berbulu”. Lagi, saya pun tidak tahu apakah Beno benar-benar diilustrasikan sebagai “pria berbulu” pada novelnya? Chemistry Reza dan Raihannun pada film ini tampak seolah mereka berdua sudah sering beradu peran dalam film lain. Hanya saja, penampilan Reza tidak lebih baik dibandingkan perannya dalam Critical Eleven, dimana ia menunjukkan range emosi yang lebih luas. Selain menceritakan drama rujuknya Alex dan Beno, film ini pun cukup menghibur penontonnya dengan kehadiran Anggika Bolsterli dan Boris Bokir yang dialognya kerap mengundang tawa.

Semula saya mengira Twivortiare akan bercerita benar-benar mulai dari awal seperti Critical Eleven. Mula-mula menceritakan perkenalan Alex dan Beno, masa berpacaran mereka, lalu pernikahan pertama mereka. Berbagai masalah yang ditunjukkan pada trailer, saya kira akan menjadi penyebab perceraian pertama mereka. Dengan demikian film ini akan menceritakan upaya Beno untuk dapat menikah kembali dengan Alex. Ternyata saya salah besar. Awal film justru menunjukkan Alex dan Beno yang telah menikah dan tiba-tiba sudah ingin bercerai saja. Film tidak menggambarkan terlebih dahulu bagaimana tidak bahagianya Alex dengan pernikahannya. Masa-masa perkenalan mereka digambarkan melalui beberapa flashback yang tampil membingungkan. Maksudnya, saya kebingungan membedakan adegan mana yang merupakan flashback, adegan mana yang terjadi pada masa kini dan mengikuti alur maju cerita. Babak pertama film ini dihadirkan untuk menceritakan proses rujuk kedua tokoh utama kita, yang tampak ingin segera berakhir. Ketika babak pertama ini berakhir, Alex dan Beno tiba-tiba dikisahkan sudah menikah lagi, padahal sedang menikmati bagaimana upaya Alex untuk move on dari mantan suaminya. “Pertama, gue cinta banget sama dia. Kedua, dia selalu ngertiin gue. Tiga, dia selalu take care gue. Dan keempat, dia semakin hot dong,” begitulah alasan Beno ingin menikah lagi dengan Alex. Hingga pertengahan film, alasan yang paling terasa tentu saja alasan keempat.

Masuk titik pertengahan film, film akan membuat kita bertanya apakah konflik Alex dan Beno akan kembali kepada kata cerai? Kedua tokoh utama digambarkan sebagai sosok yang sudah berada sejak awal film, digambarkan melalui gaya hidup mereka. Kemudian permasalahan pasangan kaya raya yang saling sibuk bekerja ini mulai ditunjukkan, yang ternyata sama dengan penyebab kegagalan pernikahan mereka sebelumnya. Namun permasalahan keduanya yang ditunjukkan film cenderung repetitif. Pertengahan film kembali menarik berkat kemunculan Adrian (Arifin Putra). Hanya saja karakter darinya tampak tidak konsisten hingga kemunculan terakhirnya. Konflik antara ia dan Alex pun diselesaikan secara mudah saja. Akan menjadi sesuatu yang lebih menarik andaikan film ini menempatkan Adrian dan Beno dalam scene yang sama. Terhadap hubungan Alex dan Beno, film memberikan aspek penyakit yang diderita Beno, yang menjadi katalis bagi mereka untuk saling merasakan cinta lagi. Plot tersebut sekilas mengingatkan saya pada Wedding Agreement yang juga memiliki plot sakitnya si suami. Jawaban atas pertanyaan penonton di pertengahan film disampaikan melalui ending plot yang seolah menjadi hikmah bagi Alex dan Beno, walaupun solusi permasalahan mereka membuat saya bertanya “Kenapa tidak dari pertengahan film saja dibuat seperti itu?” atau “Kenapa tidak saat pernikahan pertama saja mereka seperti itu?”

Jika ada hal baik lain dari film ini, maka itu adalah soundtrack dari film ini, Kembali Ke Awal, yang dibawakan dengan sangat menyentuh oleh Glenn Fredly. Dalam mengapresiasi sebuah film, saya sudah lupa kapan terakhir kali saya menyukai suatu film karena soundtrack-nya. Apalagi artikel ulasan film di blog saya ini seringkali fokus membahas aspek cerita, melupakan aspek-aspek audio visual yang membangun setiap film. Dengan demikian, dapat saya katakan bahwa lagu ini adalah soundtrack film Indonesia terfavorit saya untuk tahun ini. Lagu dari Glenn tersebut sangat merepresentasikan suara hati kedua tokoh utama yang ingin mengulang hubungan mereka, memperkuat emosi yang dibangun oleh film ini. Selain voice note dari Beno di akhir film, Kembali Ke Awal adalah komponen yang mempertegas konflik dari film ini.

Akhirnya, nilai saya untuk Twivortiare adalah 6.5 dari 10. Tanpa soundtrack-nya yang manis, mungkin nilai tersebut akan lebih rendah lagi karena pada dasarnya film memberikan akhir yang kurang berkesan dan membuat saya bertanya dalam hati “Lha, hanya begitu?”