Daily Archives: September 30, 2019

Review Film Pretty Boys

Judul film ini sudah cukup menjadi petunjuk akan menjadi apa Vincent dan Desta nantinya

Beberapa saat yang lalu ada acara talkshow di TV yang ditegur karena mengeksploitasi pertengkaran kedua bintang tamunya yang tengah berseteru. Tahun lalu, saya pun ingat ada acara musik pagi yang sudah tayang bertahun-tahun, berkali-kali ditegur KPI, dan akhirnya berhenti tayang setelah dinilai melecehkan TNI pada salah satu episodenya. Beberapa tahun lalu juga ada tayangan kontes dangdut yang ditegur karena pertengkaran salah dua dewan jurinya secara on air. Jika dilanjutkan, maka saya akan banyak membahas acara-acara TV lainnya yang kurang mendidik tetapi disukai penontonnya dan tetap menjamur hingga kini. Keresahan akan kualitas acara-acara TV inilah yang coba diutarakan Tompi melalui film yang ia sutradarai, Pretty Boys. “Kita yang menodai TV atau TV yang menodai kita?” Itulah pertanyaan yang membuka curhatan Tompi, Deddy Mahendra Desta (produser), dan Imam Darto (penulis naskah) bersama dengan trailer film mereka.

Curahan hati Tompi dkk mengenai industri hiburan Indonesia, pada film ini dikemas melalui drama persahabatan dua lelaki yang sama-sama merantau ke Ibukota. Anugerah (Vincent Rompies) dan Rahmat (Deddy Mahendra Desta), sahabat sejak kecil sangat ingin masuk TV. Alasannya sama dengan para generasi 90-an yang mengagumi para publik figur yang terkenal dengan acara-acara mereka seperti Nico Siahaan dan Sonny Tulung. Ingin jauh dari ayahnya yang mantan tentara, Anugerah mengajak Rahmat yang tinggal sendiri untuk kabur bersama, merantau ke Jakarta. Mengejar impiannya untuk masuk TV, mereka rela bekerja serabutan di siang hari dan bekerja di kafe malamnya. Peran penonton bayaran sebuah acara talkshow kemudian menjadi batu loncatan mereka untuk benar-benar masuk TV, meninggalkan pekerjaan di kafe, tetapi mendapatkan peran “banci-bancian”. Mulai tenar, Anugerah setengah hati dalam menjalani perannya sementara Rahmat menikmati ketenarannya dan bertingkah sebagaimana orang kaya baru. Perbedaan sikap inilah yang menguji persahabatan mereka, yang kemudian menentukan karir mereka di layar kaca.

Jika film ini dikatakan sebagai proyek curahan hati seorang entertainer, maka saya sangat setuju. Plot-nya saja jelas menceritakan cita-cita Anugerah dan Rahmat untuk tampil di TV, yang terealisasikan dengan penuh konflik. Melalui masa kecil mereka yang sudah terbiasa tampil bersama dan terobsesi dengan presenter kuis di TV, film ini mampu menunjukkan perbedaan tayangan TV beberapa tahun yang lalu dengan masa kini. Seperti pada Hanum dan Rangga, film ini pun membawa isu kehidupan dibalik layar kru sebuah acara yang ratingnya sedang tinggi. Isu tampil atas tuntutan produser tersebut didukung dengan realita lain yang diangkat seperti manager yang tidak transparan dengan hal keuangan seperti gaji yang diberikan pada aktornya. Tentang realita dunia pertelevisian sendiri, film ini juga memberikan konten dan jokes meta melalui “bintang tamu” seperti Najwa Shihab dan Natasha Rizky (istri asli Desta).

Frasa “hancurnya pertelevisian” yang digambarkan dengan TV yang literally hancur sukses membuat saya tertawa.

Selain duet maut Vincent dan Desta yang sukses menghibur, penampilan Onadio Leonardo (Onad) sebagai manajer Anugerah dan Rahmat pun cukup mengundang tawa. Tak lupa saya sebutkan penampilan Danilla Riyadi sebagai Asty yang mencuri perhaitan, dan karenanya lah film ini tambah menarik perhatian sejak trailer-nya dirilis. Melengkapi kedua pemeran utama, tokoh Asty muncul dalam plot “suka siapa dibalas siapa” yang mudah ditebak, sayang kesannya mudah dilupakan pada akhir cerita. Selain tokoh-tokoh yang menghibur, penampilan Roy Marten sebagai ayahnya Anugerah pun cukup membuat jantung berdebar dan terharu secara bersamaan. Tokohnya dapat dikatakan sebagai perintis konflik pada film ini, yang membuat Anugerah bimbang tampil feminim di layar kaca. Kita akan diperlihatkan, bagaimana ia yang merupakan mantan tentara semasa Orde Baru, memainkan ekspresi dengan sangat baik, marah dan kecewa ia tunjukkan tanpa gerutu atau umpatan tak terkontrol.

Perbedaan sikap Anugerah dan Rahmat dalam menikmati ketenarannya tentu menguji persahabatan keduanya. Ujian tersebut mempengaruhi profesionalisme mereka, mengacaukan acara yang mereka bawa. Drama pada film ini sebagian besar diceritakan dari sudut pandang Anugerah yang karakternya lebih serius dibanding Rahmat. Tentu ia lah, yang pada akhir film diberikan kesempatan untuk menyelesaikan segala permasalahan hidupnya, berinteraksi dengan lebih banyak tokoh lain. Terhadap persahabatan mereka, film seolah memberikan pesan bahwa sahabat sejati pasti menemukan jalan pulangnya. Sementara terhadap karir mereka di TV, film ini memberikan alternative happy ending seperti film-film karya Ernest Prakasa, membuat saya kembali bertanya “Mengapa tidak dari awal seperti itu?” Akhir film pun seolah merefleksikan sikap Tompi terhadap acara-acara TV yang telanjur rusak dan lebih mementingkan rating, sebuah sikap yang logis dan serealistis pilihan sinematografinya.

Akhirnya melalui Pretty Boys, Tompi berhasil menjadi seorang sutradara yang karya-karya lainnya patut ditunggu. Pada tahun ini, Tompi sukses menambahkan dirinya sendiri ke dalam daftar sutradara yang menjalankan debutnya secara impresif, setelah nama-nama seperti Gina S. Noer (Dua Garis Biru), Archie Hekagery (Wedding Agreement), dan Bene Dion (Ghost Writer). Nilai subjektif saya untuk film ini tentulah cukup tinggi, 7.5 dari 10.