Daily Archives: December 3, 2019

Review Film Nightmare Side: Delusional

Ternyata ada akhiran “Delusional” pada judul film ini yang ada atau tidak pun akan sama saja

Saat di bangku kuliah setidaknya ada satu semester penuh dimana saya tidak pernah absen mendengarkan Nightmare Side dari radio Ardan. Kala itu saya baru pertama kali memiliki handphone yang cukup bagus dan punya waktu untuk standby tiap malam Jumat. Pada masa yang sama pula sebenarnya program radio ini sudah dibuatkan versi filmnya, hanya saja saya belum menjadi pemerhati film horor lokal pada saat itu. Ketika tahun ini saya tahu bahwa Nightmare Side kembali dibuatkan filmnya, maka saya cukup penasaran dengan film yang ternyata memiliki akhiran judul “Delusional” ini.

Nightmare Side: Delusional langsung menunjukkan fan service-nya ketika pada awal film sudah mengilustrasikan salah satu cuplikan cerita seram yang pernah dibawakan. Meski tidak relevan dengan cerita keseluruhan dari film, cuplikan tersebut dibawakan dengan cukup mengerikan. Setelahnya, film beralih menuju suasana seram di sebuah sekolah di malam hari. Pada scene tersebut film kembali menunjukkan jumpscare-nya melalui hantu perempuan yang menghantui satpam yang sedang bertugas.

Memasuki cerita utama, kita kembali dibawa ke sekolah yang sama, yang di sana terdapat seorang siswi indigo yang dikucilkan oleh temannya karena bakat yang ia miliki. Ia adalah Shelly (Gege Elisa) yang bahkan di rumahnya pun selalu dianggap mengada-ada oleh ibunya ketika melihat penampakan hantu yang menyeramkan. Di sekolah ia hanya dekat dengan seorang teman lelakinya (diperankan Ajil Ditto, saya lupa nama tokohnya), satu-satunya teman yang menerima ia dan bakatnya. Shelly juga kerap di-bully oleh geng cheerleader di sekolahnya. Di sekolah yang sama juga terdapat siswi baru yang juga seorang indigo, Naya (Fay Nabila). Pada hari pertamanya di sekolah, Naya menemui Shelly yang ia ketahui juga seorang indigo tetapi belum berkenalan langsung. Naya pun berteman dengan teman lelaki dari Shelly dan sangat penasaran dengan cerita mistis yang beredar di sekolah barunya.

Karakter Shelly dan Naya pada film ini digambarkan cukup bertolak belakang. Bakat Shelly bahkan tidak dapat diterima oleh ibu dan adiknya di rumah. Kondisi keluarga Shelly pun sedang dalam kesulitan yang tidak dijelaskan mengapa sejak awal, walaupun mereka tinggal di rumah yang bagus. Menghadapi ketakutannya, Shelly juga digambarkan sering menunduk karena takut apabila tiba-tiba melihat penampakan hantu di depannya. Sementara Naya lebih diterima ibunya sebagai anak indigo, ditunjukkan melalui sebuah dialog ketika Naya menceritakan hari pertamanya di sekolah. Naya sangat tertarik dengan hal-hal supranatural walaupun juga penakut seperti Shelly.

Sebagai film horor, film ini memilih menjadi film yang banyak menunjukkan pemampakan dan jumpscare selain menebar teror pada karakter antagonisnya. Memasuki cerita utama, kita sudah diperlihatkan sosok seram yang menghantui Shelly di rumahnya di pagi hari. Formula jumpscare yang sama sering diulang untuk menakuti kedua tokoh indigo kita. Jumpscare unik yang saya temukan di sepanjang film mungkin hanya ketika si hantu menampakkan fotonya di chat group milik trio antagonis. Selebihnya, film memilih cara yang rutin pada adegan-adegan seram lainnya, seperti tiba-tiba memunculkan mainan jam pasir entah dari mana. Saya sudah lupa seberisik apa film ini ketika mengeluarkan jumpscare-nya. Namun, yang saya ingat penampakan hantu utama di film ini cukup konsisten karena diiringi dengan bisikan-bisikan yang semakin diperjelas seiring bergulirnya film.

Film pun sempat menambahkan beberapa dialog humor, tetapi akhirnya tidak dapat membuat tertawa.

Film ini tentu memiliki plot twist seperti film horor kebanyakan. Uniknya plot twist dari film ini disampaikan di pertengahan film, melalui permainan struktur timeline dari film sendiri. Selain mengungkapkan latar waktu sesungguhnya dari setiap kejadian yang diceritakan, film juga mengungkapkan sosok misterius dari pengirim cerita seram yang gemar didengar Naya dan bagaimana cerita tersebut sampai di program Nightmare Side. Program Nightmare Side dari Ardan sendiri di sini menjadi semacam benang merah bagi Naya untuk mengetahui kebenaran tentang Shelly.

Dimulai dengan tindakan agak bodoh dari para tokoh antagonis, teror arwah pada film ini diselesaikan dengan cara yang relatif baik hati. Film memilih untuk melibatkan doa dari sang penjaga makam untuk mengakhiri teror dengan mudahnya alih-alih mengeksplorasi sisi indigo Naya. Konsep arwah yang menghantui pun dibuat lebih realistis (bagi yang percaya hal gaib) melalui penjelasan si penjaga makam. Konsekuensi konklusi yang baik hati ini tentu membuat pesan anti bullying yang coba disampaikan sejak awal film menjadi pudar. Pada akhir film pula lah kita baru dibuat mengerti tentang kesulitan apa yang dialami keluarga Shelly, yang terlambat untuk membuat kita bersimpati kepada karakter Shelly di rumahnya.

Ketika memikirkan nilai yang akan saya berikan kepada film ini, saya teringat akan dua judul film horor yang juga menceritakan seorang indigo, Mereka yang Tak Terlihat dan Sunyi. Kedua film tersebut tampak berhasil memanfaatkan karakter sang indigo, juga berhasil menyampaikan pesan moralnya. Film ini memiliki kekurangan di dua aspek tersebut. Dengan demikian nilai dari saya untuk film ini yakni setengah dari nilai kedua film tersebut ditambah sedikit pembulatan ke atas, 4 dari 10.