Monthly Archives: November 2019

Review Film Ford v Ferrari

Selesai menonton film ini, saya langsung berkata “Biopik tentang seorang atlet memang harus seperti itu”

Kembali saya akan mengulas Ford v Ferrari dalam bahasa Indonesia karena dalam ulasan kali ini saya akan sedikit membandingkan biopik seorang pembalap ini dengan film Indonesia serupa yang beberapa saat lalu sudah ditayangkan. Selain itu, ada hal teknis juga terkait pengalaman menonton saya di bioskop di Indonesia. Apakah itu? Simak saja ulasan saya berikut ini.

Ford v Ferrari, yang di beberapa negara mendapatkan judul alternatif Le Mans 66 diangkat dari kisah nyata Carroll Shelby dan Ken Miles yang direkrut Ford untuk menciptakan mobil balap yang mampu mengalahkan mobil keluaran Ferrari. Shelby (Matt Damon) adalah seorang pembalap yang pensiun karena kondisi jantungnya, sementara Miles (Christian Bale) adalah pekerja otomotif sekaligus pembalap yang temperamental.

Selain memperkenalkan Shelby dan Miles awal film ini juga mengulas perusahaan Ford yang terancam bangkrut. Seorang petinggi mengajukan usul pada direktur saat itu, Henry Ford II supaya Ford ikut serta dalam 24 Hours of Le Mans, ajang balap mobil tahunan yang terlaksana selama 24 jam penuh. Alih-alih membuat mobil balap mereka sendiri, Ford malah mencoba membeli perusahaan Ferrari dan bertemu langsung dengan direkturnya, Enzo Ferrari. Perbedaan kepentingan antara Ford dan Ferrari membuat Ferrari menolak mentah tawaran itu. Ferrari merendahkan Ford melalui utusan Ford dan malah bekerja sama dengan Fiat. Tersinggung, Ford pun merekrut Shelby, yang kemudian mengajak Miles.

Saya tidak begitu mengharapkan keistimewaan dari penampilan Matt Damon dan Christian Bale karena saya kurang memperhatikan akting mereka di film-film sebelumnya. Namun saya dapat merasakan eratnya persahabatan karakter mereka pada film ini. Kedekatan mereka tidak hanya ketika di bengkel atau sirkuit. Dalam beberapa interaksi mereka, kita dapat menganggap Shelby sebagai kakak yang memotivasi dan Miles ibarat adik yang emosional.

Mengusung cerita biografi dari dua orang pembalap, film ini berhasil menggunakan mobil dan hal lain yang berhubungan dengan balapan sebagai cara untuk menyampaikan ceritanya. Ketika menceritakan drama keluarga Miles, kita akan dibuat tegang sekaligus takjub melihat pertengkaran Miles dan istrinya. Di film drama mana lagi kita akan melihat sepasang suami istri bertengkar di mobil yang dikendarai sang istri dengan kencang? Anak dari Miles, Peter pun cukup mencuri perhatian mengingat ia punya wawasan yang cukup tentang balap mobil karena sering ikut dengan ayahnya. Ia juga kerap menunjukkan kecemasan akan keselamatan ayahnya ketika mobil ayahnya sedang melaju kencang. Drama keluarga Miles cukup mengantarkan motivasi baginya untuk kembali ikut balapan.

Saya bukan penggemar balap mobil, juga tidak tahu siapa Shelby dan Miles di masa lampau. Namun saya dapat menikmati proses Shelby dan Miles dalam menciptakan mobil balap mereka di film ini. Ilustrasi balapan yang diikuti oleh kedua tokoh kita memiliki hasilnya meyakinkan, membuat kita tegang hingga balapan berakhir. Selain bagian balapannya, film juga cukup akurat dalam menarasikan strategi balapan Shelby dan Miles, mulai dari manajemen kecepatan hingga menanggapi peraturan tertulis di setiap perlombaan. Bagian favorit saya tentu ketika perlombaan Le Mans 66 terjadi. Film tidak hanya detil menggambarkan peristiwa di sirkuit balap, tetapi juga suasana yang terjadi di luar sirkuit. Kesibukan para teknisi mobil di tepi sirkuit, psychological attack terhadap kubu lawan, reaksi media ketika rekor lintasan baru tercapai, semua lengkap dideskripsikan dalam balapan 24 jam tersebut. Alhasil, kita tidak hanya dibuat tegang melalui Miles yang tancap gas untuk menyusul rivalnya, tetapi juga sikap taktis Shelby di luar sirkuit.

Konflik utama pada film ini merupakan konflik kepentingan antara Ford dan para pembalap kita. Motivasi Ford mengikuti ajang Le Mans sejak awal adalah untuk berjualan mobil, berbeda dengan Ferrari yang fokus pada ajang balapan tahunan itu. Perbedaan tersebut digambarkan juga dengan perbedaan sikap Henry Ford II dan Enzo Ferrari ketika para pembalapnya berjuang selama 24 jam. Menguatkan konflik tersebut terhadap para pembalap, film menghadirkan karakter Leo Beebe, pengurus utama divisi balapan Ford yang tersinggung dengan kritikan Miles akan mobil terbarunya di pasaran. Praktis, Beebe ingin menjauhkan Miles dari tim balapnya meski Miles adalah pembalap yang paling cocok bagi mobil ciptaan Shelby. Sikap dan muslihat Beebe di sepanjang film sukses membuat penonton ingin melihat ia dipukuli hingga babak belur. Akhir dari balapan yang diceritakan pun adalah akhir yang menegaskan perbedaan tujuan para direksi Ford dan Miles sebagai pembalap andalan mereka. Ketika para direksi ingin brand mereka populer dan laris di pasaran, sang pembalap hanya ingin memecahkan rekornya sendiri dan menjadi team player yang handal secara bersamaan. Untuk bisa kembali ke sirkuit pun sudah memuaskan bagi Miles.

Bahkan kompromi antara teknisi dan direktur pun harus melalui kebut-kebutan.

Kekurangan teknis yang saya rasakan saat menonton film ini di Indonesia hanya satu. Film ini berdialog dalam dua bahasa, Inggris sebagai bahasa utama, dan Italia ketika film menyorot orang-orang dari Ferrari. Walau beberapa adegan berbahasa Italia diterjemahkan dalam dialog tokoh penerjemah dalam film ini, tetapi tetap ada beberapa dialog berbahasa Italia yang butuh subtitle tambahan. Alhasil saya yang tidak mengerti bahasa Italia tidak dapat menangkap beberapa dialog para tokoh yang berbahasa Italia. Mungkin beberapa dialog tersebut tidak cukup penting, yang lebih penting adalah emosi mereka ketika menyampaikannya.

Memiliki akhir yang mengharukan, sebenarnya lingkup film ini dapat diperluas dengan menunjukkan legacy Shelby dan Miles setelah Le Mans 66. Namun cerita kembali berfokus pada drama keluarga Miles dan Shelby setelah sebuah kejadian tragis pasca berlomba. Prestasi mobil mereka setelah tahun 1966 pun hanya disampaikan lewat narasi singkat. Namun film ini sudah memberikan pengalaman yang seru dan memuaskan hingga saat Miles mencapai finish pada Le Mans 66.

Ford v Ferrari adalah contoh yang sangat baik bagi biopik seorang atlet. Beberapa pekan lalu di Indonesia pun tayang 6.9 Detik (yang tidak sempat saya tonton, tetapi pernah membaca ulasannya) dan Susi Susanti: Love All. Ketika menonton film ini, saya langsung teringat dengan kekurangan dari kedua film tersebut, yang kurang memberikan pengalaman menonton yang konsisten, terutama saat menggambarkan kompetisi yang diikuti oleh atlet yang diceritakan. Yang satu melah cocok menjadi film dokumenter saja, yang satu membuat saya heran “Kok udah dapet medali aja?” di beberapa adegannya. Film ini pun saya berikan nilai 8.5 dari 10 dan tampaknya akan masuk dalam daftar film mancanegara favorit saya sepanjang 2019.

Review Film Bike Boyz

Bike Boyz merupakan film yang mengupas isu kriminalitas di kota Bandung

Kita sudah mengenal nama Aris Nugraha tahun ini sebagai sutradara Preman Pensiun, film awal tahun yang cukup menghibur. Dalam film terbarunya, Bike Boyz, Aris kembali mengambil latar di kota Bandung dan mengangkat cerita tentang solidaritas geng vespa di kota tersebut. Yang menarik pada film ini adalah Aris membawa nama-nama baru dalam jajaran pemerannya, yang membuat saya juga mudah lupa dengan nama-nama karakternya kecuali Agus si pemeran utama. Namun mereka tetap dapat membawakan cerita dengan cukup menghibur.

Bike Boyz dimulai dengan pengenalan Agus dan temannya yang membantu mengejar komplotan pencuri sepeda. Mereka berhasil menangkap salah satu pencuri dan menyerankannya ke polisi, tetapi mereka terancam bahaya dari komplotan pencuri tersebut. Agus dan temannya itu diketahui anggota geng vespa yang senantiasa berkumpul bersama. Suatu hari Agus bertemu teman lamanya dari Garut, Lilis, yang datang ke Bandung untuk mencari suaminya yang entah bekerja sebagai apa. Sayang ketika berniat membantu Lilis mencari suaminya keliling Bandung, vespa Agus benar diambil paksa oleh komplotan pencuri sepeda lainnya. Lantas teman-temannya Agus membantu mencarikan vespa miliknya yang telah dicuri. Film ini juga diwarnai drama pendekatan salah satu anggota geng vespa dan Pinky, perempuan cantik yang juga suka mengendarai vespa yang ia temui di dekat minimarket.

Masalah yang diangkat dalam film ini tak jauh dari kasus-kasus kriminalitas yang terjadi di kota Bandung mulai dari curanmor hingga perekrutan teroris. Selain komplotan pencuri sepeda yang berurusan dengan Agus, kita pun akan ditunjukkan sekumpulan begal yang beraksi di jalanan sepi beserta sindikat kriminal lain yang awalnya belum diketahui akan melakukan apa. Fenomena banyaknya aksi kriminalitas yang ditunjukkan disisipi sedikit pencitraan polisi setempat selain dialog yang mengungkap fakta bahwa jumlah polisi yang bertugas tak cukup banyak untuk menyelesaikan semua kasus kriminal di kota Bandung. Beberapa kali, sebelum melihat para polisi beraksi pada film ini, kita juga ditunjukkan tokoh misterius lain yang ternyata seorang intel kepolisian, yang tiba-tiba ada di tempat berkumpulnya Agus dan teman-temannya. Agus sendiri menjadi benang merah atas penyelesaian masalah-masalah yang diangkat pada film ini.

Seperti pada Preman Pensiun, Aris mengandalkan teknik match-cut dalam banyak dialognya sebagai hiburan utama. Teknik ini selain menghibur membuat kita dapat mengikuti dua hingga tiga percakapan dalam satu waktu. Mengenai dialog, terdapat satu dialog yang senantiasa diulang-ulang ketika Lilis ingin mencari suaminya, “Dedi di Cimindi, Heru di Cibiru”. Penyampaiannya yang berulang memang membuat penonton hampir tertawa saking seringnya dilontarkan, tetapi di satu sisi membuat saya berpikir sang penulis naskah sedang kehabisan ide untuk mengisi durasi.

Naskah dasar dari film ini memang mengangkat keseharian para anggota geng vespa yang solidaritasnya tinggi. Sebuah premis yang sederhana, ditunjukkan melalui Agus yang dibantu teman-temannya dalam mencarikan vespa miliknya. Solidaritas para penggemar vespa pun akan ditunjukkan lewat aksi terakhir pada film ini. Agus pun digambarkan setia kawan, termasuk kepada Lilis yang hendak mencari suaminya. Ia tetap membantu Lilis untuk tinggal sementara di rumah bibinya, juga turut mencari suami Lilis. Kebaikan Agus ini dikarenakan juga perasaan sukanya pada Lilis sejak lama. Sayang di akhir film Lilis dibuat pergi begitu saja setelah kita tahu di manakah keberadaan suaminya. Perhatian Agus pada Lilis setelahnya pun hanya terlintas lewat ucapan, tanpa diikuti aksi berikutnya.

Selain menceritakan hubungan Agus dan Lilis, film juga mengagkat cerita salah satu temannya Agus yang mencoba mendekati Pinky. Melalui Pinky, film juga menambahkan plot lain yang juga berkaitan dengan komplotan pencuri sepeda yang menjadi antagonis utama pada film ini. Namun cerita yang diagkat lebih berupa drama keluarga yang tiba-tiba ada, kekurangan pembahasan mengenai motivasi para pencuri sepeda. Plot tersebut sekadar menambahkan adegan kucing-kucingan antara para pencuri yang buron dan polisi. Cerita tentang “mendekati Pinky” sendiri berakhir tanpa konklusi, teman Agus yang menyukainya hanya sekadar berangan-angan ingin melakukan apa untuk dapat serius dengan Pinky. Memang pada dasarnya film ini lebih peduli dengan kasus-kasus kriminal yang diceritakannya dibandingkan para anggota geng vespa.

Saya setuju jika film ini sudah cukup menghibur walaupun masih merasa ceritanya belum lengkap. Selain adanya drama yang berlalu begitu saja, kisah sindikat misterius yang ditunjukkan awal film pun diberikan penyelesaian yang mudah saja tanpa aksi yang menegangkan. Dengan demikian, saya tidak yakin apakah film ini layak untuk berada di bioskop atau cukup ditayangkan saja sebagai FTV di sore hari. Untuk film ini pun saya hanya memberikan nilai 4 dari 10.

Review Film 99 Nama Cinta

Satu lagi film yang menyinggung acara TV yang kekinian.

99 Nama Cinta dibuka dengan memperkenalkan Talia (Acha Septriasa), produser sekaligus presenter Bibir Talia, sebuah acara gosip ber-rating tinggi. Talia menghalalkan segala cara untuk mendapatkan gosip yang menarik untuknya, memaksakan kehendaknya terhadap para krunya, juga tak memikirkan perasaan narasumbernya. Selepas siaran, seorang lelaki bernama Kiblat (Deva Mahenra) mendatangi Talia, mengaku dirinya diminta ibunya untuk mengajari Talia mengaji. Talia tentu terheran tetapi kedatangan Kiblat memang dibenarkan ibunya. Ternyata Kiblat adalah teman Talia saat kecil, anak pengurus pesantren sekaligus sahabat kedua orang tua Talia. Kiblat didatangkan untuk mengajarkan agama sebagai bentuk balas budi akan donasi ayah Talia pada pihak pesantren di masa silam.

Premis film ini tak jauh dari cerita jatuh cintanya seseorang yang taat beragama kepada seorang yang tak relijius, atau sebaliknya. Sebagai sebuah film drama reliji, uniknya film tak pernah tampak menggurui dengan menyodorkan ayat Al-Quran maupun hadits. Hal ini ditunjukkan melalui karakter Kiblat yang sesungguhnya berpenampilan tidak kaku, berdakwah sesuai kapasitasnya. Ia tidak pernah mengkritisi pekerjaan Talia dengan acara gosipnya, tetapi jelas menilai bergosip sebagai kegiatan buruk ketika sedang mengajar di kelas. Ketika materi ajar Kiblat tersebut tak sengaja didengar oleh Talia, Talia jelas sakit hati. Sepanjang film kita akan melihat interaksi antara Talia dan Kiblat dalam berbagai peristiwa, mulai sejak Talia mendatangi pesantren tempat Kiblat mengajar di Kediri.

Hubungan antara Talia dan Kiblat yang saling suka tapi malu dibuat makin menarik melalui penceritaan karir Talia. Episode kontroversialnya di awal film membuat acara miliknya dituntut, terpaksa diganti oleh acara gosip milik Chandra (Susan Sameh), rekannya di acaranya yang terdahulu. Talia pun dipindahkan untuk menaikkan rating acara kuliah subuh di stasiun TV yang sama. Bersama dengan partner sekaligus sahabatnya, Mlenuk (Adinda Thomas), Talia kesulitan mengemas acaranya kini menjadi lebih menarik. Mlenuk yang lebih kreatif pun melempar ide untuk merekrut Kiblat menjadi pemateri agama di acaranya. Pada plot ini naskah juga menampilkan karakter Husna (Chiki Fawzi), teman dari Kiblat, tetapi ia adalah perempuan yang pernah belajar di Korea. Untuk menambahkan bumbu drama, Husna diposisikan seolah ia sedang dijodohkan dengan Kiblat, sesama anak kyai.

Saya kira film ini akan seperti Pretty Boys yang mengangkat kejadian di belakang layar sebuah acara yang rating-nya sedang tinggi. Namun peristiwa tersebut hanya ditunjukkan pada awal film. Talia dan teman-teman seprofesinya lebih sering berinteraksi di kantornya dibandingkan di studio langsung. Tekanan dari bosnya Talia pun tidak terlalu digambarkan secara meyakinkan karena konflik karir Talia memang difokuskan pada cerita tentang Talia sendiri. Popularitas acara milik Talia pun dibuktikan lewat terkenalnya Talia di lingkungan pesantren yang jauh dari kota besar. Film ini lebih menyindir secara halus akan realita dunia pertelevisian terkini, dimana acara gosip atau “buka aib orang” jauh lebih terkenal dibandingkan acara bermuatan agama. Acara kuliah subuh yang ditugaskan pada Talia semula dianggap acara buangan ber-rating rendah, dengan narasumber yang kaku dan penonton yang mengantuk. Bahkan ustadz narasumber kuliah subuh sebelumnya memang mengakui bahwa agama memang pembahasan yang berat. Melalui Kiblat dan Husna, film seolah ingin mematahkan argumen itu. Bahkan film juga menunjukkan dampak positif acara kuliah subuh yang diunggah ke Youtube, juga membawa aspek mancanegara tanpa perlu syuting di luar negeri.

Di saat kita mengira film akan segera berakhir, ternyata film tetap menambahkan konflik yang melibatkan Talia, Kiblat, dan Husna. Namun konflik tersebut bertujuan untuk mengubah pandangan Talia akan pekerjaannya yang lalu. Pada konflik tersebut disisipkan juga sub-konflik minor yang penyelesaiannya mudah ditebak. Yang tak terduga lagi adalah bagaimana babak ketiga film ini disajikan. Akhir dari film ini lumayan mengejutkan dan sebelumnya saya anggap tak penting. Suka atau tidak, akhir tersebut dibutuhkan untuk menegaskan perubahan dalam diri Talia sekaligus menutup manis hubungan “malu tapi mau”nya dengan Kiblat.

Unsur hiburan yang disisipkan di film ini pun cukup dapat diterima. Setidaknya kita akan terhibur satu atau dua kali dengan jokes bapak-bapak ala pesantren yang dilontarkan Pak Bambu (Dzawin). Selain Dzawin, penampilan Adinda Thomas sebagai Mlenuk, rekan sekaligus sahabat Talia yang lugu tetapi kreatif juga cukup menarik perhatian. Kita terkadang akan terhibur dengan dialog darinya. Menjelang akhir, penampilan Susan Sameh sebagai Chandra pun cukup sukses membuat kita geram akan karakter Chandra sendiri.

Naskah film ini masih jauh dari kata istimewa. Kita sempat dibuat bingung mengapa Talia sangat lupa masa kecilnya, terutama ketika ia berteman dengan Kiblat. Melihat masa lalu Talia, kita hanya ditunjukkan masa-masa ketika ia bermain dengan Kiblat kecil dan hanya sekali ketika ia berinteraksi dengan ayahnya. Selain masih adanya adegan dramatis rasa FTV, saya pun turut dibuat terheran dengan latar film ini yang mudah berganti dari Jakarta ke sebuah pondok pesantren di Kediri. Jarak keduanya terasa dekat pada film ini, upaya yang ditempuh Talia menuju Kediri berkali-kali tak konsisten. Adegan yang disajikan pun kadang masih terasa melompat-lompat, membuat saya berkomentar “Eh sudah begini lagi”.

Akhirnya 99 Nama Cinta tampil sebagai film drama religi yang cukup berhasil. Film ini berhasil menyampaikan pesan damainya walaupun melalui naskah yang lemah. Saya pun cukup memberikan nilai 6.5 dari 10 untuk film ini.

Charlie’s Angels Movie Review

Let’s see, will this movie has any impressive actions?

Charlie’s Angels is opened with a quite convincing but amusing action of our two angels, Jane and Sabina, in an operation to capture an international smuggler. They are led by a senior Bosley, John, who’s going to retire soon. A year later, the well expanded Townsend Agency got a new client, a clever programmer, Elena Houghlin, who suspects her boss for covering up potential dangerous flaw of Callisto, an energy conserver device she developed. When Elena handed her evidence to the agency, the involved Bosley was killed, left the angels and Elena damaged, but later were helped by another Bosley, Rebekah. They all planned an operation to secure the Callisto from Elena’s company, later to find out that most of the devices have been taken to be sold to somebody. Hence, they have to prevent the thief to sell the Callisto to the wrong hand.

The movie quite clear in introducing Charlie’s Angels to the new audience like me. We can understand that their operations are executed by a group of skilful woman and do each mission based from their client’s request. Each operation is led by an operative called Bosley, who planned the mission the most. They are everywhere now, works for the expanding Townsend Agency.

The interesting character in the movie is Elena itself, the client who dare to join the mission, here can be considered as a rookie Angel. She doesn’t good enough at fighting, but could help well in every operation. Her excitement to take part in the Angels’ operations is quite entertaining, especially when she is equipped by the Angels’ gadgets. Character exploration of Jane and Sabina is narrated well but isn’t deep enough. We would know what forms Sabina a fighter and Jane a serious operative. Beside our main characters, the backstory of some supporting characters are less elaborated. For example, what problem did Jane and her former Turkish friend have, not well detailed. However, their interactions outside the done operation are quite entertaining for the new audience like me.

The mystery about who’s behind the Callisto transaction is concealed well. The movie let us to think that there’s a conspiracy inside the Townsend Agency itself, but then let us to change our mind again. However, when the truth is revealed, the conclusion isn’t that simple, but the mastermind still has a reason to commit the crime. However again, the collected evidences that leads to the conclusion aren’t described enough. The script writer seemed too lazy to complete the plot although the duration of the movie is long enough. In the end, we somehow will meet the unexpected character twists.

As an action movie, the actions delivered in this movie mostly can’t be enjoyed. The encounter between the Angels and the villains are less tactical, doesn’t have any surprising moment. The climax where the Angels are in a dangerous condition gave negative surprise, suddenly involved the character we supposed to ignore previously. The most remembered moment for me is one of its comedy part. It’s on the mid credit scene, concludes what happened to Elena next.

Firstly I’d like to give 6.5 score to this movie, but later I got no impressive action from this movie. Hence I just give 6 of 10 score, same with what I gave to Gemini Man before.

Doctor Sleep Movie Review

A story about utilizing our own fear

First thing to note before watching Doctor Sleep is that you should watch The Shining first because Doctor Sleep is basically its sequel. At least you have to find out what’s The Shining about. Unfortunately I haven’t watched nor conducted research about The Shining before I watched this movie. Hence I kinda didn’t get any idea what’s this movie about. Thus I would review this movie without discuss more about its prequel.

We would be shown the little Danny Torrance a.k.a Dan lived with his mother in Florida. He able to manage his fear by locking the haunting demon with his imaginary box on his head. The ability somehow he obtained in The Shining. Later we’ll also learn that the kid in Dan’s age with superior ability are supposed to have an ability like what Dan has, which he called as “the shining”. That’s an enough introduction to those who haven’t watched The Shining, like me. Before introduced the young Dan, we’re introduced first with a cult of quasi-immortal vampires led by Rose, known as True Knot. They kill people with the shining ability and consume their steam of fear to heal and survive. 40 years later Dan still get traumatized by his fear, tries to ease it by drinking alcohol. Then he moved to a small city, befriend Billy Freeman and rehabilitate from his alcoholic nature. Soon he got a job at a hospital, and at the time he found a dying patient, he comforted the patient’s death with his shining ability, made the patient called him Doctor Sleep.

The narration of present Dan almost made me fall asleep. The story develop Dan’s character in the slow pace. However the movie becomes more interesting after it introduced Abra. She is a girl with stronger shining ability, communicate with Dan using their telepathy. Her shining ability is introduced interestingly from the perspective of a little girl. Abra’s parents deny her shining ability, make her more comfortable to telepath with Dan. A quite thrilling incident done by True Knot attracted Abra’s attention, fear her, make her unite with Dan, meet him face by face. Knowing that the two are in danger, the story gives a simple but meaningful reason for Dan to help Abra. With great power comes great responsibility. Starting from this point, the movie begins to have strong storytelling, focus on the premise about how the two will encounter True Knot.

Due to its trailer, I almost think that this movie is titled “Murder”

Doctor Sleep explores the other possible ability which can be owned by “the shining”, like what Abra or each member of True Knot has. The interaction among them is limitless in terms of space, that’s how the supernatural ability supposed to be shown. It doesn’t offer new jumpscare but thrilling actions, especially when Abra and Rose know each other for the first time. It has strategy shootout actions followed by thrilling battle between the protagonists and antagonists. During their encounter, Abra is overall show stealer. From the antagonists, another most remembered character is Snakebite Andi, a shining teenager who is very good at controlling people.

Third act of the movie contains a decent closure for both Dan and Abra’s problem. It has strong reference to the events from the first movie. We would revisit Dan’s fear for a reason, to let Dan reveal his ace card to beat Rose. For Abra, she would also face Dan’s fear but would do less in the final action. However the story would give her a plot to reconcile with her parents.

First half of the movie would seem boring for those who haven’t watched The Shining. That’s why you should have any knowledge regarding the previous movie. After that, we would see sort of interesting actions until the end. From the perspective of the new audience like me, the overall score for this movie is 7.5 of 10. If I’ve watched The Shining before, my score might’ve been increased too.

Review Film Ratu Ilmu Hitam

Akankah Ratu Ilmu Hitam menjadi film horor terbaik tahun ini?

Setelah menyutradarai DreadOut yang gagal menjadi film horor yang berkesan di awal tahun lalu, Kimo Stamboel kembali membuat versi reborn dari Ratu Ilmu Hitam. Berbekal naskah dari Joko Anwar, seharusnya film ini menjadi film horor yang paling dinanti. Sebelum mulai mengulas film horor terbaru ini, perlu saya katakan bahwa saya belum pernah menonton versi original dari Ratu Ilmu Hitam yang dirilis pada tahun 1981. Karenanya, saya tidak akan membandingkan kedua film tersebut dalam ulasan saya.

Cerita dimulai dengan memperkenalkan Hanif (Ario Bayu), Nadia (Hannah Al Rashid), dan ketiga anak mereka, Sandi (Ari Irham), Dina (Adhisty Zara, yang kembali menjadi daya tarik tersendiri pada film ini), dan Haqi (Muzakki Ramdhan) yang pergi jauh mengunjungi panti yang dulu mengasuh Hanif. Hanif dan keluarganya datang untuk menjenguk pengurus panti yang sedang sakit keras, Pak Bandi (Yayu Unru). Selain Hanif, datang juga dua temannya beserta istrinya masing-masing dengan tujuan yang sama, Anton (Tanta Ginting) dan Jefri (Miller Khan). Saling bertemu, mereka berniat untuk bermalam di panti dilayani Maman (Ade Firman Hakim) dan Siti (Sheila Dara), suami istri yang dulunya anak panti juga dan masih menetap di panti hingga sekarang. Sementara anak-anak Hanif ditemani dua anak panti sebaya, Hasbi (Giulio Parengkuan) dan Rani (Shenina Cinnamon). Hal mengerikan mulai ditampakkan film ketika Hanif dan Jefri menemukan bis berisi anak panti yang semuanya sudah tewas. Setelahnya kejadian-kejadian aneh mulai terjadi di panti tempat mereka bermalam.

Sejak baru dimulai film sudah memberikan peristiwa menegangkan tatkala mobil Hanif menabrak sesuatu di perjalanan. Film langsung membuka misterinya dengan menunjukkan bahwa yang mereka tabrak tak seperti yang mereka pikirkan sebelumnya. Ketika para tokoh baru sampai di panti tempat mereka berkumpul, film konsisten menunjukkan jumpscare yang tak berlebihan, beberapa shot juga dilakukan seolah akan diikuti momen menyeramkan. Memasuki babak kedua, ketika kita terus disuguhi adegan-adegan menyeramkan tanpa henti, kita tidak mendapatkan para pemeran yang melakukan hal-hal bodoh ketika sedang ketakutan. Ketika sesuatu yang mengerikan terjadi, respon para tokohnya logis dan straightforward, mereka sigap saling menyelamatkan satu sama lain tanpa melontarkan dialog bodoh. Para pemerannya pun baik yang dewasa maupun yang belum menunjukkan rasa takut mereka secara cukup meyakinkan.

Film ini tidak memberikan karakter yang dalam kepada para karakter dewasanya. Hanif dan Nadia tak lebih dari orang tua biasa. Kedua teman Hanif yang juga mengunjungi panti akan mudah dilupakan dan kita akan lebih mengingat istri mereka masing-masing, yang satu tomboy dan sangat menjaga postur tubuhnya, satu lagi tak bisa lepas dari gadget dan sangat higienis. Begitulah karakter mereka yang jelas ditampakkan di sepanjang film. Yang akan terkenang oleh kita tentu karakter anak-anak/remaja pada film ini. Muzakki sebagai Haqi kembali menjadi show stealer pada beberapa adegan, cerminan anak kecil dengan rasa ingin tahu yang tinggi dan sok berani. Bahkan Zara yang mengulang karakternya sebagai remaja supel pada Dua Garis Biru pun kalah tersorot.

Dilihat dari judulnya, jelas peristiwa horor yang muncul pada film ini berasal dari kekuatan ilmu hitam. Film ini tak sungkan menunjukkan berbagai macam adegan santet yang berdasar pada fobia masing-masing tokohnya. Kita akan melihat bagaimana setiap tokoh berada dalam nerakanya masing-masing, baik anak-anak maupun dewasa sama-sama tak mendapat belas kasih. Dibandingkan langsung membunuh tiap-tiap tokohnya, sang ratu lebih memilih untuk menyiksa mereka yang dianggap bersalah dari kejauhan. Namun memang begitulah horor dari sang empunya ilmu hitam ditunjukkan, tidak mengenal kasihan, tidak juga terbatas ruang.

Memberikan neraka bagi semua pemeran tanpa terkecuali, di situlah nilai positif dari film ini.

Tentang misteri yang melatar belakangi teror yang terjadi, kita sudah diberikan petunjuk yang faktual dari dialog Hanif dan kawan-kawannya. Film pun berhasil membuat kita ikut menebak-nebak perihal identitas sang ratu ilmu hitam beserta motif dari aksi yang dilakukannya. Misteri pada film ini diungkap secara berangsur-angsur sambil mengeksplor masa lalu yang terjadi di panti tersebut. Ketika akhir dari misteri terungkap, barulah film menunjukkan identitas sang ratu ilmu hitam beserta motivasinya. Ya, sang ratu baru ditunjukkan pada babak ketiga film. Perihal motifnya, tak jauh-jauh dari urusan balas dendam atas perbuatan keji dan fitnah yang terjadi di masa lalu. Perbuatan keji apa yang dilakukan pun cukup tak terduga sejak awal film.

Kelemahan lain dari film ini adalah resolusi teror yang relatif mudah, kedatangannya bagai keajaiban dari langit. Walaupun masih menjayikan adegan yang mengerikan, kita tetap tidak puas dengan dua momen heroik yang tiba-tiba terjadi, menutup teror para tokoh dengan mudahnya. Seperti film horor kebanyakan, film ini juga masih meninggalkan plot hole yang kemungkinan konklusinya diserahkan pada tafsiran setiap penontonnya. Ibarat akan dijadikan premis untuk film keduanya apabila film pertama ini mendapat penerimaan yang positif. Namun akhir film ini tetap memuaskan para penggemar film horor ketika Kimo sekedar menunjukkan bahwa pemilik ilmu hitam sejati adalah sosok yang immortal.

Film ini akhirnya berhasil menunjukkan kualitas dan standar film horor Indonesia. Dapat saya katakan, Ratu Ilmu Hitam lebih baik dibandingkan Perempuan Tanah Jahanam yang kini masih tayang di bioskop dan lebih layak mendapatkan tepuk tangan ketika pemutaran film selesai. Melihat masih memiliki beberapa kekurangan, nilai 7.5 dari 10 saya kira sudah cukup untuk film ini.

Satu lagi, bersamaan dengan credits film, sang produser menunjukkan tribute-nya terhadap versi original dari Ratu Ilmu Hitam. Bagi yang pernah menontonnya, akan terobati rasa rindunya akan aksi horor seorang Suzzanna. Bagi yang pernah menontonnya juga, ternyata akan mudah menebak siapa sang ratu di film versi remake-nya ini.

Review Film Love For Sale 2

Setujukah kalian film ini adalah film romansa paling horor?

Love For Sale yang dirilis tahun lalu adalah salah satu film yang saya sesali karena tidak sempat menontonnya di bioskop. Andaikan saya menotonnya langsung, maka film tersebut akan masuk daftar film Indonesia favorit saya per tahun 2018. Love For Sale, yang ketika menontonnya, langsung saya buatkan fatwa “wajib tonton bagi para jomblo” adalah perwujudan dari cerita “ditinggal waktu lagi sayang-sayangnya.” Sekuelnya, Love For Sale 2 kembali mengisahkan kisah cinta serupa dengan berpusat pada Arini yang kembali disewa sebagai pacar palsu oleh kliennya. Uniknya, efek kehadiran Arini pada film kedua ini tidak hanya dirasakan oleh klien, tetapi juga keluarganya, terutama ibunya.

“Korban” Arini (Della Dartyan) berikutnya adalah Indra Tauhid alias Ican (Adipati Dolken). Ican adalah anak kedua dari tiga bersaudara, satu-satunya yang belum menikah padahal usianya sudah 32 tahun. Ican mendapatkan karakter yang berbeda dengan Richard pada film pertama. Jika Richard dikisahkan sebatang kara, Ican tinggal bersama ibunya, Rosmaida atau Ros (Ratna Riantiarno), yang sering memintanya untuk segera menikah. Tidak seperti Richard, Ican lebih mudah dekat dengan perempuan, tetapi enggan menjalin hubungan serius. Tekanan untuk segera menikah pun diterima Ican dari paman dan sahabat ayahnya. Ican baru menanggapi serius permintaan Ros untuk menikah ketika salah satu tetangganya meninggal, karena Ros ingin melihat semua anaknya menikah sebelum ajal menjemputnya. Ketika itu juga ia menemukan aplikasi Love Inc. dan memesan pacar palsu yang memenuhi kriteria menantu idaman versi Ros. Datanglah Arini yang berpura-pura sebagai teman dekat Ican semasa kuliah, diminta Ican supaya para orang tua di sekitarnya berhenti mengurusi kehidupan asmaranya.

Saya sangat suka bagaimana Andibachtiar Yusuf menggambarkan setiap latar tempat dan suasana secara natural. Sejak awal film kita diperlihatkan adegan long shot pernikahan adat Minang yang menunjukkan setiap anggota keluarga Ican beserta premis yang ingin disampaikan film ini. Setiap adegan yang dimulai di rumah Ican pun diisi dengan berbagai peristiwa yang mungkin kita lalui sehari-hari di tempat tinggal kita, seperti bertegur sapa dengan tetangga yang sedang nongkrong, kedatangan tetangga yang membagikan oleh-oleh, dan anak-anak yang lewat untuk pergi sekolah. Saya pun kagum film ini mempertahankan warna khasnya, pink dan biru, seperti pada neon Sikumbang Tailor dan lampu akuarium di rumah Ican. Pilihan kedua warna tersebut sudah cukup menunjukkan konsistensi sinematografi film ini terhadap film pertamanya.

Cerita pada film ini bisa sangat relevan dengan kaum milenial yang memilih pekerjaan di bidang kreatif dan sering ditekan oleh keluarganya untuk segera menikah. Film ini juga dapat menjadi kritik bagi para orang tua yang hobi menyegerakan anak-anaknya untuk menikah. Sejak awal kita sudah ditunjukkan “kulit” dari setiap anggota keluarga Ican, dimana hubungan antar mereka akan terus digali di sepanjang film melalui dialog-dialog ringan yang diucapkan ketika mereka saling berinteraksi. Oleh karenanya kita akan mengerti latar belakang setiap anak tanpa film perlu membuat narasi khusus tentang mereka.

Dengan mudah kita akan tahu bahwa ayah Ican yang telah meninggal menyayangi ketiga anaknya. Kita juga akan mudah memahami bahwa kakak Ican, Anandoyo “Ndoy” Tauhid (Ariyo Wahab) menuruti harapan orang tuanya untuk menjadi PNS dan menikahi Maya (Putri Ayudya), yang semula janda satu anak dan selalu diperlakukan tidak enak oleh Ros, walaupun Maya sedang hamil. Dengan cermat, kita juga anak mengetahui bahwa adik Ican, Yunus “Buncun” Tauhid (Bastian Steel) menikah muda dengan istrinya, Endah (Taskya Namya) karena Endah hamil di luar nikah. Buncun juga adalah seorang pecandu narkoba yang membuat hubungan pernikahannya retak. Sementara Ican, lebih memilih bekerja di sebuah rumah produksi dan tidak segera mencari cinta sejatinya.

Pada film ini karakter Ros lah yang paling kuat dan paling dilirik. Ia benar-benar perwujudan ibu yang taat agama, penyayang, dan ingin anak-anaknya menjadi yang terbaik relatif terhadap definisi baiknya. Keinginannya sebagai ibu hampir tidak mungkin dipenuhi oleh anak-anaknya. Ia tidak menyukai Maya tetapi tidak ingin Ndoy dan Maya bercerai. Ia juga ingin Ican segera menikah, mencoba menjodohkannya, tetapi enggan melihat Ican dekat dengan sembarang perempuan. Bahkan ia pernah berdoa supaya saat kuliah Ican dijauhkan dari perempuan. Namun dalam beberapa kesempatan kita akan terharu melihat ia tetap menerima ketiga anaknya dalam kondisi apapun.

Beralih ke Arini, sejak awal ia memang dipesan Ican sebagai calon istri palsu yang memenuhi semua kriteria yang diinginkan Ros, dan lebih untuk menemani Ros. Berbeda dengan Richard, Ican lebih paham dengan profesi Arini, sempat menanyakan identitas aslinya pula ketika sedang bersama. Bahkan ia aware bahwa Arini terikat kontrak berbatas waktu dan berniat untuk memperpanjang kontraknya setelah melihat kedekatannya dengan ibunya. Ya, kali ini kehadiran Arini lebih berdampak pada Ros. Kita akan merasakan bentuk kasih sayang Ros pada Arini yang sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Bahkan di akhir film ketika Arini telah pergi, Ros tetap menunjukkan kasih sayang seorang ibu yang tiada batas, termasuk kepada seseorang yang batal menjadi menantunya. Tidak hanya pada Arini, sentimen Ros pada Maya pun berubah, ia lebih menerima menantunya yang tengah hamil tua itu. Secara umum, Ros lebih menerima pernikahan Ndoy dan Maya. Mudahnya, kehadiran Arini selalu berhasil mengubah mood Ros ketika ia sedang sedih atau marah.

Ketika karakter Ros lebih digali dan dibuat lebih terdampak atas kehadiran Arini, hubungan Arini dan Ican sebagai penyewanya kurang tergali. Ican mendatangkan Arini demi membahagiakan Ros, juga menyayangi Arini karena melihat rasa sayang Ros padanya. Film hanya sedikit menunjukkan perubahan dalam diri Ican pasca kepergian Arini. Namun keputusan penulis naskah untuk tidak memfokuskan cerita pada hubungan Ican dan Arini saya rasa tepat karena sejatinya film ini adalah film keluarga, ceritanya berfokus pada keluarga. Dengan demikian apa yang film ini bawa akan jauh berbeda dari film pertamanya yang bermula dari Richard yang sebatang kara.

Kejutan lain pada film kedua ini adalah mulai diangkatnya latar belakang Arini ke permukaan sejak ia hanyut dalam kehangatan keluarga Ros. Kita sudah dapat menerka tentang keluarga Arini yang sebenarnya setelah menonton film ini. Berbeda dengan film pertamanya, di sini perpisahan Arini dinarasikan lebih manusiawi untuk menunjukkan bahwa ia juga manusia yang memiliki hati. Sekuel selanjutnya dari film ini sudah berhak menceritakan tentang Arini sendiri dengan premis tersebut.

Meski tidak terlalu menunjukkan romantisme Arini dan Ican, tetapi film ini berhasil menggambarkan kehangatan keluarga Ros dan kasih sayang seorang ibu yang tak terhingga. Cara Love Inc. yang datang dan menghilang terhadap Ican secara tidak konsisten seolah hanya merupakan kesalahan minor yang tertutup penggambaran kehidupan keluarga Ros yang sangat baik. Saya pun percaya diri memberikan nilai 8 dari 10 untuk Love For Sale 2, atau Cinto Untuak Dijua 2.

Review Film Lampor: Keranda Terbang

Satu lagi film horor lokal yang diangkat dari kepercayaan lokal juga

Sebelum memberikan ulasan ala kadarnya, saya ingin memuji Lampor: Keranda Terbang yang menjanjikan teror mencekam dari sosok hantu yang sangat khas Indonesia melalui trailer-nya. Tidak hanya itu, film ini juga menyajikan drama keluarga yang kuat didukung oleh penampilan Adinia Wirasti dan Dion Wiyoko yang chemistry-nya sudah teruji sejak dipertemukan dalam Cek Toko Sebelah. Namun sebuah trailer umumnya hanya menunjukkan adegan-adegan terbaiknya untuk menarik hati penonton. Lalu, apakah film ini berhasil menjadi film horor yang baik secara keseluruhan?

Netta (Adinia Wirasti) dan Edwin (Dion Wiyoko) adalah suami istri sederhana yang tinggal di Medan bersama kedua anak mereka, Adam (Bimasena) dan Sekar (Angelia Livie). Netta tengah berduka karena ibunya (Unique Priscilla) baru meninggal. Berniat menemui ayah Netta, mereka berempat pergi ke kampung halaman Netta di Temanggung. Malangnya, ketika Netta sekeluarga tiba, ayahnya dikabarkan telah meninggal. Ketika tiba di rumah ayahnya, Netta malah dituduh warga kampung bahwa dirinyalah penyebab kedatangan Lampor di kampungnya. Lampor digambarkan sebagai sosok iblis pembawa keranda terbang yang akan menculik siapapun yang bertatap mata dengannya.

Terhadap Lampor, Edwin bagaikan orang kota pada umumnya, menganggap Lampor sebagai takhayul. Sedangkan Netta pada saat kecil pernah menyaksikan adiknya sendiri diculik Lampor. Ia dan ibunya sepakat bahwa Lampor datang karena ayahnya kawin lagi dan memakai ilmu hitam. Pengalaman Netta tersebut belum diketahui Edwin yang skeptis. Walaupun rasional, Edwin memilih untuk menghormati adat setempat, mematuhi jam malam di kampung, hingga ia memercayai adanya Lampor setelah melihat kedatangannya sendiri.

Seperti Edwin, kita dibuat untuk penasaran tentang sebab kemunculan Lampor di kampung. Ia yakin Netta yang berusia 8 tahun bukan pendosa yang mengundang Lampor. Seperti pada Kelam, film ini senantiasa membiarkan penonton berteori mengenai dosa besar apa yang terjadi di dalam keluarga Netta. Kebenaran pada film ini diungkap berangsur-angsur melalui pengenalan anggota keluarga Netta. Ketika suatu hal sudah terbukti benar atau salah, film membuat kita kembali menduga tentang dosa apa yang telah diperbuat. Kebenaran akhir pada film ini disampaikan melalui plot twist yang dimulai adegan yang relatif mudah ditebak, tetapi kebenarannya tetap mengejutkan. Mengejutkan karena menuju akhir film kita mendapati beberapa tokoh yang semula dikira akan berbuat jahat, ternyata justru baik sekali. Sementara itu ada tokoh yang semula akan baik-baik saja ternyata berubah kejam tanpa belas kasih.

Film ini sesunguhnya lebih cocok dikatakan drama keluarga yang dibalut cerita horor lokal. Unsur drama keluarga pada film ini diperkuat penampilan Adinia Wirasti dan Dion Wiyoko yang mendapat peran orang tua. Dalam kondisi kritis, kita akan melihat bagaimana Netta merupakan ibu yang penyayang namun tegas, juga tak ingin melihat anaknya manja. Ia juga rela diculik Lampor asalkan anak-anaknya selamat. Namun yang mencuri perhatian tentu saja karakter Edwin sebagai ayah yang protektif. Pada Us dan Lorong, kita melihat bagaimana perjuangan seorang ibu untuk menyelamatkan anaknya. Pada film ini, sosok ayah lah yang lebih dominan untuk berjuang demi anak-anaknya. Kita akan melihat bagaimana Edwin berjuang mencari anaknya dalam medan yang sulit, hingga ke tempat yang dipercaya sebagai sarang Lampor sekalipun.

Lampor pada film ini tampilannya konsisten, CGI-nya juga cukup mumpuni.

Sebagai sebuah film horor, film ini kekurangan elemen surprise-nya. Perihal Lampor dan bagaimana ia memangsa korbannya sudah ditunjukkan melalui trailer, dan penggambaran sosok ini konsisten sepanjang film. Alhasil momen ketika Lampor datang tidak lagi menyeramkan, justru kita menganggapnya sebagai pahlawan saat ia menculik tokoh yang tepat (dalam hal ini sang antagonis). Pada film ini terdapat beberapa kali adegan kesurupan yang untungnya tidak dieksploitasi CGI yang berlebihan, dan cukup meyakinkan. Sementara itu di setiap babaknya film masih memberikan jumpscare yang mudah dilupakan, tak diungkit lagi apa sebabnya.

Selesainya konflik inti dari film, tak menuntaskan teror Lampor di kampung. Melalui mid-credit scene-nya, film seolah membenarkan dialog pada pertengahan film bahwa seorang pendosa pasti selalu ada di kampung, sehingga Lampor tak henti datang meneror. Film pun kembali menarik ketika bersamaan dengan gelaran credit-nya, sang produser menampilkan kisah nyata orang-orang yang pernah menjadi korban Lampor.

Film ini sesungguhnya layak untuk ditayangkan di layar bioskop, tetapi kurang seram untuk sebuah film horor. Dengan demikian saya hanya memberikan nilai 5 dari 10 untuk film ini.

The Addams Family Movie Review

A good animation to teach about neighbourly life

Addams family has unusual nature, looks dreadful by their neighbourhood, made them had to run away from an angry mob at Gomez’s and Morticia’s wedding. It made the two decided to move to New Jersey and find a scary place to live in, an abandoned asylum on a hill. There they met Lurch, the escaped patient which later recruited as their butler. The Addams family live isolated there for 13 years and got two children, Pugsley and Wednesday. They like living in danger and scary ornaments. They are going to face their family problem when Gomes prepared Pugsley to master Mazurka, as the tradition of Addams family. Meanwhile Wednesday is wondering a live outside their mansion.

Below the hill, a TV host Margaux Needler planned to build the said “perfect community real estate” called Assimilation. She planned her season finale when she found the creepy Addams’ house to be her next renovation target. The fancy construction attracted the Addams’ family to go outside, try to socialize with the neighbourhood, then made people afraid of them, couldn’t accept their creepy habit. Later, her daughter, Parker met Wednesday, looked at her without any fear, and befriend her. The interaction made Wednesday convinced her parents to attend local junior high school.

Confirm its genre as comedy-horror, The Addams Family is quite amusing indeed, made its scary scenes no longer scary and enjoyable. The writer knows how to make us laugh at their monstrous looks and make us can stand seeing them doing dangerous acts. Based on the premise of the movie, I’d treat this animated movie as family movie instead, but in this case the narrated family consists of monsters and immortal creatures who lives in mortal habitat.

Actually, this movie can brings more social issue in it, such as environmental problem and the spreading of local hoax. This movie has multiple conflicts to be resolved, but each of them seems are given simple conclusion. For example, about what Wednesday’ve done at her school. The movie didn’t elaborate further about the school’s reaction to her magical action, like how’s her teacher or headmaster react to the new girl in the town. Perhaps it’s because she already had a best friend, Parker and she isn’t on the bullies’ side. The movie also could potentially teach parents to not force their will towards their children, but deliver an inconclusive mom-daughter drama instead (for Parker’s and Needler’s case).

Regarding Addams family problem, the movie seems criticise any family tradition. From Pugsley’s effort to master Mazurka, the story itself narrates that any tradition should be adjusted over the times as long as it can maintain its essence. Later it would explain why Mazurka is important for the Addams and would give a decent conclusion to Pugsley who is bad at the sword dance. Meanwhile the relation between Addams family and their neighbour is given an easy ending, without further conflict among them. The neighbourhood problem disappear immediately after they realize that everyone in Addams family is just a regular family member, same like them, ignore the hoax problem among them.

Finally, to be kind with your neighbour is the only lesson learned from this movie besides of appreciate their differences. The Addams Family is a family movie indeed, without any complicated drama in it. My subjective score for the movie is 5.5 of 10.