Kembali saya akan mengulas Ford v Ferrari dalam bahasa Indonesia karena dalam ulasan kali ini saya akan sedikit membandingkan biopik seorang pembalap ini dengan film Indonesia serupa yang beberapa saat lalu sudah ditayangkan. Selain itu, ada hal teknis juga terkait pengalaman menonton saya di bioskop di Indonesia. Apakah itu? Simak saja ulasan saya berikut ini.
Ford v Ferrari, yang di beberapa negara mendapatkan judul alternatif Le Mans 66 diangkat dari kisah nyata Carroll Shelby dan Ken Miles yang direkrut Ford untuk menciptakan mobil balap yang mampu mengalahkan mobil keluaran Ferrari. Shelby (Matt Damon) adalah seorang pembalap yang pensiun karena kondisi jantungnya, sementara Miles (Christian Bale) adalah pekerja otomotif sekaligus pembalap yang temperamental.
Selain memperkenalkan Shelby dan Miles awal film ini juga mengulas perusahaan Ford yang terancam bangkrut. Seorang petinggi mengajukan usul pada direktur saat itu, Henry Ford II supaya Ford ikut serta dalam 24 Hours of Le Mans, ajang balap mobil tahunan yang terlaksana selama 24 jam penuh. Alih-alih membuat mobil balap mereka sendiri, Ford malah mencoba membeli perusahaan Ferrari dan bertemu langsung dengan direkturnya, Enzo Ferrari. Perbedaan kepentingan antara Ford dan Ferrari membuat Ferrari menolak mentah tawaran itu. Ferrari merendahkan Ford melalui utusan Ford dan malah bekerja sama dengan Fiat. Tersinggung, Ford pun merekrut Shelby, yang kemudian mengajak Miles.
Saya tidak begitu mengharapkan keistimewaan dari penampilan Matt Damon dan Christian Bale karena saya kurang memperhatikan akting mereka di film-film sebelumnya. Namun saya dapat merasakan eratnya persahabatan karakter mereka pada film ini. Kedekatan mereka tidak hanya ketika di bengkel atau sirkuit. Dalam beberapa interaksi mereka, kita dapat menganggap Shelby sebagai kakak yang memotivasi dan Miles ibarat adik yang emosional.
Mengusung cerita biografi dari dua orang pembalap, film ini berhasil menggunakan mobil dan hal lain yang berhubungan dengan balapan sebagai cara untuk menyampaikan ceritanya. Ketika menceritakan drama keluarga Miles, kita akan dibuat tegang sekaligus takjub melihat pertengkaran Miles dan istrinya. Di film drama mana lagi kita akan melihat sepasang suami istri bertengkar di mobil yang dikendarai sang istri dengan kencang? Anak dari Miles, Peter pun cukup mencuri perhatian mengingat ia punya wawasan yang cukup tentang balap mobil karena sering ikut dengan ayahnya. Ia juga kerap menunjukkan kecemasan akan keselamatan ayahnya ketika mobil ayahnya sedang melaju kencang. Drama keluarga Miles cukup mengantarkan motivasi baginya untuk kembali ikut balapan.
Saya bukan penggemar balap mobil, juga tidak tahu siapa Shelby dan Miles di masa lampau. Namun saya dapat menikmati proses Shelby dan Miles dalam menciptakan mobil balap mereka di film ini. Ilustrasi balapan yang diikuti oleh kedua tokoh kita memiliki hasilnya meyakinkan, membuat kita tegang hingga balapan berakhir. Selain bagian balapannya, film juga cukup akurat dalam menarasikan strategi balapan Shelby dan Miles, mulai dari manajemen kecepatan hingga menanggapi peraturan tertulis di setiap perlombaan. Bagian favorit saya tentu ketika perlombaan Le Mans 66 terjadi. Film tidak hanya detil menggambarkan peristiwa di sirkuit balap, tetapi juga suasana yang terjadi di luar sirkuit. Kesibukan para teknisi mobil di tepi sirkuit, psychological attack terhadap kubu lawan, reaksi media ketika rekor lintasan baru tercapai, semua lengkap dideskripsikan dalam balapan 24 jam tersebut. Alhasil, kita tidak hanya dibuat tegang melalui Miles yang tancap gas untuk menyusul rivalnya, tetapi juga sikap taktis Shelby di luar sirkuit.
Konflik utama pada film ini merupakan konflik kepentingan antara Ford dan para pembalap kita. Motivasi Ford mengikuti ajang Le Mans sejak awal adalah untuk berjualan mobil, berbeda dengan Ferrari yang fokus pada ajang balapan tahunan itu. Perbedaan tersebut digambarkan juga dengan perbedaan sikap Henry Ford II dan Enzo Ferrari ketika para pembalapnya berjuang selama 24 jam. Menguatkan konflik tersebut terhadap para pembalap, film menghadirkan karakter Leo Beebe, pengurus utama divisi balapan Ford yang tersinggung dengan kritikan Miles akan mobil terbarunya di pasaran. Praktis, Beebe ingin menjauhkan Miles dari tim balapnya meski Miles adalah pembalap yang paling cocok bagi mobil ciptaan Shelby. Sikap dan muslihat Beebe di sepanjang film sukses membuat penonton ingin melihat ia dipukuli hingga babak belur. Akhir dari balapan yang diceritakan pun adalah akhir yang menegaskan perbedaan tujuan para direksi Ford dan Miles sebagai pembalap andalan mereka. Ketika para direksi ingin brand mereka populer dan laris di pasaran, sang pembalap hanya ingin memecahkan rekornya sendiri dan menjadi team player yang handal secara bersamaan. Untuk bisa kembali ke sirkuit pun sudah memuaskan bagi Miles.
Kekurangan teknis yang saya rasakan saat menonton film ini di Indonesia hanya satu. Film ini berdialog dalam dua bahasa, Inggris sebagai bahasa utama, dan Italia ketika film menyorot orang-orang dari Ferrari. Walau beberapa adegan berbahasa Italia diterjemahkan dalam dialog tokoh penerjemah dalam film ini, tetapi tetap ada beberapa dialog berbahasa Italia yang butuh subtitle tambahan. Alhasil saya yang tidak mengerti bahasa Italia tidak dapat menangkap beberapa dialog para tokoh yang berbahasa Italia. Mungkin beberapa dialog tersebut tidak cukup penting, yang lebih penting adalah emosi mereka ketika menyampaikannya.
Memiliki akhir yang mengharukan, sebenarnya lingkup film ini dapat diperluas dengan menunjukkan legacy Shelby dan Miles setelah Le Mans 66. Namun cerita kembali berfokus pada drama keluarga Miles dan Shelby setelah sebuah kejadian tragis pasca berlomba. Prestasi mobil mereka setelah tahun 1966 pun hanya disampaikan lewat narasi singkat. Namun film ini sudah memberikan pengalaman yang seru dan memuaskan hingga saat Miles mencapai finish pada Le Mans 66.
Ford v Ferrari adalah contoh yang sangat baik bagi biopik seorang atlet. Beberapa pekan lalu di Indonesia pun tayang 6.9 Detik (yang tidak sempat saya tonton, tetapi pernah membaca ulasannya) dan Susi Susanti: Love All. Ketika menonton film ini, saya langsung teringat dengan kekurangan dari kedua film tersebut, yang kurang memberikan pengalaman menonton yang konsisten, terutama saat menggambarkan kompetisi yang diikuti oleh atlet yang diceritakan. Yang satu melah cocok menjadi film dokumenter saja, yang satu membuat saya heran “Kok udah dapet medali aja?” di beberapa adegannya. Film ini pun saya berikan nilai 8.5 dari 10 dan tampaknya akan masuk dalam daftar film mancanegara favorit saya sepanjang 2019.