Daily Archives: December 30, 2019

Review Film Bioskop 2019: Sebuah Retrospective

Sejak memiliki hobi menonton film tiga tahun silam, saya baru mulai “memberanikan diri” untuk mengulas film-film yang saya tonton sejak tahun lalu. Hanya saja tahun lalu saya membicarakan film masih lewat cuitan di Twitter yang memiliki limit karakter. Baru tahun ini saya membuat blog baru, untuk mengulas film-film apa saja yang sudah saya tonton, dari sudut pandang penonton awam seperti saya. Semakin kesini saya sadari ulasan saya semakin objektif, tidak menilai film dari satu sisi saja atau mendefinisikan film bagus hanya karena akhirnya memuaskan penonton. Alhasil penilaian saya terhadap sebuah film di tahun ini, dibanding tahun-tahun sebelumnya jelas sekali perbedaannya dalam hal nilai maksimum yang dapat saya berikan dan ke film mana. Konkretnya, coba bandingkan saja tulisan-tulisan saya di blog ini dengan utas review film saya tahun lalu di bawah ini.

Namun dalam konsisten mengerjakan hobi baru ini saya seringkali mengalami kesulitan dalam merangkai kata, ditambah harus pintar membagi waktu dengan hobi lain dan pekerjaan utama. Oleh karena itu, semoga pada film-film berikutnya, review yang saya tulis bisa lebih cepat selesai. Tidak perlu membuat artikel review yang panjang, yang penting dapat mencakup apa yang saya suka dan tak suka dari film terkait secara singkat, padat, dan jelas. Semoga juga setiap tulisan yang saya buat bisa dikerjakan lebih lancar, dengan sedikit distraksi, cukup butuh satu kali waktu penulisan saja.

Dalam mengulas sebuah film, saya selama ini menggunakan dua bahasa. Bahasa Indonesia untuk film-film Indonesia, bahasa Inggris untuk film-film asing (Hollywood, Korea, dll). Namun dalam beberapa kesempatan, saya pernah mengulas film-film mancanegara dalam bahasa Indonesia, seperti Midsommar, Ne Zha, dan Ford v Ferrari. Alasannya, terkait pengalaman menonton di bioskop Indonesia. Contohnya, film Midsommar yang saya tonton adalah versi sensor Indonesia-nya yang telah mengalami pemotongan beberapa adegan sepanjang 9 menit. Mungkin, berikutnya saya akan mengulas semua film dalam bahasa Indonesia sebagai bahasa utama. Selain akan membuat saya lebih leluasa dalam membahas suatu film, juga supaya lebih relevan ketika ingin membandingkan film luar negeri dengan film Indonesia. Misalnya, Triple Threat yang ketiga pemerannya diberi kesempatan untuk berdialog dalam bahasa ibu masing-masing, saya bandingkan dengan Foxtrot Six, film yang berlatarkan di Indonesia, diperankan oleh aktor-aktor Indonesia, tapi berbahasa Inggris secara penuh.

Menentukan nilai atau skor untuk setiap film yang saya ulas mungkin merupakan bagian tersulit. Nilai yang saya keluarkan umumnya berupa exit poll, seperti konsep dari aplikasi Cinepoint. Alhasil, nilai yang keluar terlalu cepat tanpa berpikir terlalu panjang lebar dan membandingkannya dengan beberapa film yang pernah saya tonton. Kadang, ada sebuah film, katakanlah film A, saya beri nilai biasa saja, tetapi secara keseluruhan filmnya lebih baik dibandingkan film B yang saya beri nilai bagus. Tampak tak adil bukan? Oleh karena itu, kedepannya nilai suatu film yang saya berikan di blog ini dan di aplikasi Cinepoint akan banyak yang cukup berbeda. Pada kesempatan ini juga, saya merilis ulang nilai untuk beberapa film Indonesia yang nilainya saya “kalibrasikan” relatif terhadap film-film serupa. Berikut adalah daftar film-film tersebut

  1. Keluarga Cemara (naik dari 5.5 menjadi 6.5)
  2. Dreadout (turun dari 6 menjadi 5.5)
  3. MatiAnak (turun dari 7 menjadi 6.5)
  4. Pocong the Origin (naik dari 3 menjadi 4)
  5. Kuntilanak 2 (turun dari 6.5 menjadi 6)
  6. Iqro: My Universe (turun dari 5.5 menjadi 5)
  7. Dua Garis Biru (naik dari 7 menjadi 7.5)
  8. Kelam (turun dari 4 menjadi 3)
  9. Darah Daging (turun dari 5.5 menjadi 5)

Demikianlah refleksi blog saya selama tahun 2019, semoga tahun depan dapat membagikan konten yang lebih baik lagi.

Review Film Si Manis Jembatan Ancol

Akankah film ini sesukses remake film Suzzanna di tahun lalu?

Cerita tentang Si Manis sudah dibuatkan versi filmnya di tahun 1973 dan 1993, pernah dijadikan serial televisi pula. Tahun ini Anggy Umbara menghidupkan kembali sosok Si Manis dengan image yang berbeda dari film-film terdahulunya. Si Manis versi kini adalah wanita bernama Maryam, yang pada film sebelumnya disebut Mariah atau Mariam. Namun, saya tidak akan membahas banyak mengenai versi filmnya yang terdahulu karena belum pernah menontonnya. Dengan demikian, inilah ulasan saya untuk film horor lokal terakhir di tahun 2019 ini, dari sudut pandang penonton baru.

Pada Si Manis Jembatan Ancol, Maryam (Indah Permatasari) adalah seorang istri yang tak dianggap oleh suaminya, Roy (Arifin Putra). Roy lebih mementingkan proyeknya yang ia kejar dengan cara yang tak halal (KKN) dan memiliki banyak hutang. Suatu hari, Maryam yang bersedih dengan pernikahannya bertemu Yudha (Randy Pangalila), seorang pelukis yang baru pindah dekat rumahnya, yang diam-diam mengaguminya. Yudha yang buntu mencari ide untuk lukisannya, ingin menjadikan Maryam model lukisannya, sementara Maryam ingin dilukiskan bersama ayahnya yang telah tiada.

Masalah datang ketika Roy merasa Maryam selingkuh dengan Yudha, ditambah lagi ia terlilit hutang dengan Bang Ozi (Ozy Syahputra) karena gagal mendapatkan proyek. Roy dan Bang Ozi pun merencanakan pembunuhan terhadap Maryam dan ingin membuat seolah Maryam dibunuh oleh Yudha, sehingga rumah milik Maryam dapat dijual untuk melunasi hutang Roy. Namun, Roy berubah pikiran sementara Maryam dapat memberontak, membuat anak buah Bang Ozi terpaksa membunuh Maryam dan membuang mayatnya ke sungai. Beberapa hari kemudian, hantu Maryam yang dipanggil Si Manis pun terlihat menghantui warga yang melewati Jembatan Ancol. Hantu Si Manis dipercaya bergentayangan untuk membalaskan dendamnya.

Setengah pertama dari film ini sejatinya adalah drama cinta segitiga antara Maryam, Roy, dan Yudha. Roy pernah sungguh-sungguh mencintai Maryam sebelum menghadapi kesulitan bisnis. Terbukti, pada saat tahu Maryam akan dibunuh komplotan Ozi, Roy sempat berubah pikiran, ingin Maryam selamat. Meski tergesa-gesa, kebersamaan Maryam dan Yudha pun cukup tergambarkan. Drama yang terbangun dengan baik ini membuat kita setelahnya akan sangat bersimpati pada arwah Maryam untuk membalaskan dendamnya. Premis “menghantui untuk balas dendam” ini tentu mengingatkan kita pada film horor tahun 80-an dan 90-an, termasuk juga pada Suzzanna: Bernapas Dalam Kubur yang dirilis tahun lalu. Ditambah lagi, film ini juga menyisipkan unsur komedi yang beberapa kali sukses membuat penonton tertawa, yang dibawakan oleh Bang Kotan (Arief Didu), Sri (TJ), dan Ucup (Anyun Cadel). Meskipun kita lebih akan menertawakan situasi dan kebodohan yang dilakukan dibanding lelucon yang mereka lontarkan.

Saya langsung ingat dengan Kyubi di Naruto saat melihat Si Manis dan selendangnya.

Dalam hal menakuti penonton, film tidak sampai mengeluarkan jumpscare yang mengagetkan dan mengganggu telinga. Penampilan terseram dari Si Manis pun sudah ditunjukkan di trailer-nya. Sayang film menggunakan adegan penampakan terseramnya dalam plot usang yang sudah terlalu banyak digunakan film horor lain (adegan dihantui, tetapi hanya mimpi). Kesadisan yang hendak ditunjukkan pun tampak meyakinkan, meski dengan cara yang repetitif ketika itu dilakukan oleh Si Manis. Namun tenang saja, kita hanya akan ditunjukkan hasil akhir dari momen-momen sadis pada film, baik pada manusia atau hewan, tidak termasuk prosesnya. Termasuk adegan yang menampilkan mayat mengenaskan “musuh” Si Manis di pagi hari di atas jembatan, yang sempat mengingatkan saya pad salah satu scene dari Jigsaw (2017).

Semula kita akan menganggap film ini akan berpola sama seperti Suzzanna: Bernapas Dalam Kubur, dimana pada babak ketiganya si arwah penasaran berhasil menggenapkan balas dendamnya dan bertemu secara dramatis dengan orang yang dicintainya. Namun, sang penulis naskah mengambil langkah penuh resiko, berbelok dari pola tersebut dengan memberikan plot twist yang membagi penontonnya kedalam dua kubu: yang menerima ceritanya berjalan demikian, dan yang tidak. Saya lebih condong ke golongan yang tidak, meski tujuan sang penulis naskah dapat saya maklumi karena niatnya mengangkat isu derajat wanita. Bahkan ketika memasuki bagian akhir, saya menunjukkan reaksi yang hampir serupa dengan ketika mendapatkan plot twist di film #MalamJumat the Movie dan Danur 3: Sunyaruri. Mengapa?

[Spoiler Warning] Paragraf berikutnya mengandung spoiler. Jadi, bagi yang menghindari spoiler silakan langsung scroll down ke paragraf terakhir.

Setelah adegan bodoh tentang polisi yang menanggapi laporan Roy tentang penampakan hantu Maryam, film memberikan adegan pengusiran hantu yang antiklimaks. Dukun pada film ini gagal mengusir arwah Maryam karena sejatinya Maryam masih hidup sebagai manusia biasa, yang ternyata berhasil survive. Identitas Maryam yang ternyata mantan anggota pasukan khusus pun diungkap dan mudah diterima, karena film memberikan petunjuk kecil tentang ini pada babak pertamanya. Pemilihan akhir cerita ini tetap saja meninggalkan banyak plot hole mengenai bagaimana cara Maryam menyusun rencana balas dendamnya, walaupun menyediakan 1-2 flashback yang menjelaskan trik pembunuhan Maryam. Film pun tampak sukses menunjukkan sisi lain Maryam sebagai wanita tangguh, dengan menciptakan ketakutan terhadap para musuhnya. Sayang akhirnya Maryam dibuat bernasib naas alih-alih mendapatkan momen pembunuhan terakhir yang dapat menegaskan karakternya. Segala kejadian berdarah yang terjadi pun akhirnya ditimpakan pada karakter yang tak seharusnya.

[End of spoiler]

Meski menunjukkan ketidak konsistenannya lagi, film ini mempersembahkan scene terakhir dan mid-credit scene-nya bagi mereka yang pernah menonton versi serialnya dulu. Itulah hal terakhir yang dapat saya sedikit apresiasi meski film ini meninggalkan cukup banyak kebodohan. Ketika nilai awal saya untuk film ini adalah 4.5, akhirnya cukup menurun menjadi 4 dari 10 setelah menyelesaikan ulasan ini.