Review Film Bioskop 2019: Sebuah Retrospective

Sejak memiliki hobi menonton film tiga tahun silam, saya baru mulai “memberanikan diri” untuk mengulas film-film yang saya tonton sejak tahun lalu. Hanya saja tahun lalu saya membicarakan film masih lewat cuitan di Twitter yang memiliki limit karakter. Baru tahun ini saya membuat blog baru, untuk mengulas film-film apa saja yang sudah saya tonton, dari sudut pandang penonton awam seperti saya. Semakin kesini saya sadari ulasan saya semakin objektif, tidak menilai film dari satu sisi saja atau mendefinisikan film bagus hanya karena akhirnya memuaskan penonton. Alhasil penilaian saya terhadap sebuah film di tahun ini, dibanding tahun-tahun sebelumnya jelas sekali perbedaannya dalam hal nilai maksimum yang dapat saya berikan dan ke film mana. Konkretnya, coba bandingkan saja tulisan-tulisan saya di blog ini dengan utas review film saya tahun lalu di bawah ini.

Namun dalam konsisten mengerjakan hobi baru ini saya seringkali mengalami kesulitan dalam merangkai kata, ditambah harus pintar membagi waktu dengan hobi lain dan pekerjaan utama. Oleh karena itu, semoga pada film-film berikutnya, review yang saya tulis bisa lebih cepat selesai. Tidak perlu membuat artikel review yang panjang, yang penting dapat mencakup apa yang saya suka dan tak suka dari film terkait secara singkat, padat, dan jelas. Semoga juga setiap tulisan yang saya buat bisa dikerjakan lebih lancar, dengan sedikit distraksi, cukup butuh satu kali waktu penulisan saja.

Dalam mengulas sebuah film, saya selama ini menggunakan dua bahasa. Bahasa Indonesia untuk film-film Indonesia, bahasa Inggris untuk film-film asing (Hollywood, Korea, dll). Namun dalam beberapa kesempatan, saya pernah mengulas film-film mancanegara dalam bahasa Indonesia, seperti Midsommar, Ne Zha, dan Ford v Ferrari. Alasannya, terkait pengalaman menonton di bioskop Indonesia. Contohnya, film Midsommar yang saya tonton adalah versi sensor Indonesia-nya yang telah mengalami pemotongan beberapa adegan sepanjang 9 menit. Mungkin, berikutnya saya akan mengulas semua film dalam bahasa Indonesia sebagai bahasa utama. Selain akan membuat saya lebih leluasa dalam membahas suatu film, juga supaya lebih relevan ketika ingin membandingkan film luar negeri dengan film Indonesia. Misalnya, Triple Threat yang ketiga pemerannya diberi kesempatan untuk berdialog dalam bahasa ibu masing-masing, saya bandingkan dengan Foxtrot Six, film yang berlatarkan di Indonesia, diperankan oleh aktor-aktor Indonesia, tapi berbahasa Inggris secara penuh.

Menentukan nilai atau skor untuk setiap film yang saya ulas mungkin merupakan bagian tersulit. Nilai yang saya keluarkan umumnya berupa exit poll, seperti konsep dari aplikasi Cinepoint. Alhasil, nilai yang keluar terlalu cepat tanpa berpikir terlalu panjang lebar dan membandingkannya dengan beberapa film yang pernah saya tonton. Kadang, ada sebuah film, katakanlah film A, saya beri nilai biasa saja, tetapi secara keseluruhan filmnya lebih baik dibandingkan film B yang saya beri nilai bagus. Tampak tak adil bukan? Oleh karena itu, kedepannya nilai suatu film yang saya berikan di blog ini dan di aplikasi Cinepoint akan banyak yang cukup berbeda. Pada kesempatan ini juga, saya merilis ulang nilai untuk beberapa film Indonesia yang nilainya saya “kalibrasikan” relatif terhadap film-film serupa. Berikut adalah daftar film-film tersebut

  1. Keluarga Cemara (naik dari 5.5 menjadi 6.5)
  2. Dreadout (turun dari 6 menjadi 5.5)
  3. MatiAnak (turun dari 7 menjadi 6.5)
  4. Pocong the Origin (naik dari 3 menjadi 4)
  5. Kuntilanak 2 (turun dari 6.5 menjadi 6)
  6. Iqro: My Universe (turun dari 5.5 menjadi 5)
  7. Dua Garis Biru (naik dari 7 menjadi 7.5)
  8. Kelam (turun dari 4 menjadi 3)
  9. Darah Daging (turun dari 5.5 menjadi 5)

Demikianlah refleksi blog saya selama tahun 2019, semoga tahun depan dapat membagikan konten yang lebih baik lagi.

Leave a comment