Review Film Anak Garuda

Satu lagi film tentang Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI)

Minggu ini ada tiga film Indonesia terbaru yang dirilis, yang seolah ditawarkan kepada saya untuk memenuhi hobi mingguan saya. Ada film dokumenter yang tayang sangat terbatas, ada film horor yang dari trailer-nya saja seolah sudah memberitahu saya “Jangan nonton film jelek ini!”, ada juga film remaja yang berpeluang untuk menghibur. Jelas saya memilih opsi terakhir, yang ternyata kisahnya terinspirasi dari para siswa di Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI). Film ini juga ternyata dibuat oleh rumah produksi yang dikelola oleh para alumni SPI, Butterfly Pictures. Perlu diketahui juga, Anak Garuda bukanlah film pertama yang menceritakan tentang Sekolah SPI, melainkan Say I Love You. Bedanya, tidak ada returning actor dari film pertama, termasuk Verdi Solaiman yang tidak lagi memerankan Koh Jul karena beralih posisi menjadi produser.

Anak Garuda dibuka dengan memperkenalkan profil SPI sekaligus menunjukkan kualitas para lulusannya. Diceritakan Sheren (Rania Putrisari), Olfa (Clairine Clay), Wayan (Geraldy Kreckhoff), Dilla (Rebecca Klopper), Sayyida (Tissa Biani), Yohana (Violla Georgie), dan Robet (Ajil Ditto) mengikuti sebuah kompetisi business plan dan mempresentasikan salah satu bisnis di sekolah mereka, Kampoeng Teenz. Sayang mereka didiskualifikasi karena para juri mengira bahwa mereka yang baru lulus SMA hanyalah “boneka” dari pengusaha profesional. Tertarik dengan konten presentasi mereka, wartawan di lomba itu pun hendak meliput keseharian di SPI. Kemudian, diperkenalkanlah SPI yang merupakan sekolah gratis yang diikuti siswa-siswi tak mampu dari seluruh Indonesia yang menerapkan sistem pendidikan yang berbeda dari sekolah lainnya. SPI didirikan oleh Julianto Eka Putra/Koh Jul (Kiki Narendra) dan lulusannya memimpin berbagai bidang usaha seperti travel, produksi makanan, dan souvenir. Sepanjang adegan pengenalan SPI ini, saya seolah ingin membuka Twitter dan membuat tweet “Ini film wajib tonton bagi kalian yang peduli sistem pendidikan di Indonesia!”

Di mana lagi kita akan menemukan upacara bendera seenerjik ini?

SPI kedatangan anggota baru, Rocky (Krisjiana Baharuddin) yang hendak membantu pekerjaan dari ketujuh lulusan yang disebutkan di atas. Suatu hari, Koh Jul memutuskan untuk pergi sejenak dari SPI dan menitipkan sekolahnya ke Yohana. Ternyata para remaja ini belum bisa menyelesaikan permasalahan mereka masing-masing tanpa kehadiran Koh Jul, mengakibatkan benih perpecahan di antara mereka. Mereka tidak bisa berkompromi demi kepentingan bersama, lebih mengusahakan kepentingan masing-masing, dan saling menyalahkan. Kehadiran Rocky selama tidak ada Koh Jul pun lebih sebagai provokator di antara mereka, yang selalu memberikan argumen justifikatif ketika disalahkan. Tentu Koh Jul sudah mengetahui kekecauan di sekolahnya, yang langsung menyampaikan ceramah motivasinya ketika kembali.

Dalam memperkenalkan ketujuh karakter utama, tokoh Olfa lah yang karakternya paling digali, trauma masa lalunya diperlihatkan lebih banyak. Sementara itu, remaja lain lebih diperkenalkan melalui interaksinya dengan karakter lain, misalnya Dilla yang kembali didekati Wayan, mantan pacarnya. Masalah utama dari film ini diperkenalkan secara padat dengan beberapa sisipan konflik lain. Namun, pada akhirnya tidak semua konflik tersebut diberikan resolusinya. Contohnya, tentang konflik dalam diri Rocky ketika masa lalunya diungkap oleh Koh Jul. Di pertengahan film, ketika saya terpaksa mengecek jam di handphone, saya mendapati bahwa film ini sudah berjalan sekitar 40 menit, tetapi terasa satu jam lebih karena kepadatan konfliknya.

Menonton film ini, saya bagaikan menonton Avengers: Infinity War dan Avengers: Endgame sekaligus, ibarat melihat para Avengers kalah terlebih dahulu, lalu melaksanakan pembalasannya kemudian. Film ini seolah terbagi dalam dua peristiwa besar, cerita tentang konflik mereka ketika ditinggalkan Koh Jul di SPI, dan tentang trip mereka ke Eropa sebagai momen pembuktian akan kemandirian mereka. Transisi antara keduanya relatif cepat dan kurang mulus. Kita seolah berpikir ketujuh pemeran utama kita sudah saling berdamai, ternyata belum dan justru terpicu lagi selama perjalanan mereka. Kehadiran Roy (Rizki Mocil), sebagai tour guide mereka yang konyol dan sok tahu akhirnya malah mengganggu alih-alih lucu.

Tentang bagaimana film ini menyisipkan masalahnya pada pertengahan kedua, caranya cukup memaksa. Ketika para karakter seolah mendapatkan perjalanan yang sial, didukung tingkah laku Roy yang mengesalkan, naskah memberikan solusinya melalui seorang karakter yang tasnya bak kantong Doraemon yang memiliki banyak perkakas. Momen rekonsiliasi bagi mereka yang terpecah belah untuk kedua kalinya pun diawali oleh adegan nekat dari ketujuh karakter yang bermalam di dekat Menara Eiffel, hingga Menara Eiffel buka paginya. Mengunjungi Menara Eiffel pun sejatinya hanya impian salah satu karakter yang sudah bercita-cita sejak kecil. Lalu bagaimana dengan Koh Jul yang semula tidak menemani mereka? Kehadirannya di akhir film, meski berperan dalam menyampaikan konklusi yang hiperbolik (tentang menganggap anak-anak asuhnya sebagai keajaiban), malah membuat saya bereaksi “Halah!” dan “Memang seharusnya begitu dari awal!”

Film ini memiliki naskah yang kurang padu karena banyak permasalahan yang ingin diceritakan sejak babak pertama, tetapi tak semuanya diberikan penyelesaian. Meski begitu, tetap memberikan inspirasi bagi para siswa dan praktisi pendidikan sejak awal. Dalam sebuah scene dimana kedua karakter berbeda agama berdoa bersama, film ini juga turut memberikan pesan keberagaman secara efektif. Berkat inspirasi tersebut, saya mempertahankan nilai 6 dari 10 untuk film ini, yang semula ingin saya kurangi.

Leave a comment