Review Film Aku Tahu Kapan Kamu Mati

Lagi-lagi film adaptasi Wattpad

Aku Tahu Kapan Kamu Mati langsung dibuka dengan sebuah adegan situasi komedi ketika seorang pasien di rumah sakit mengalami mati suri. Ya, mati suri. Itulah yang terjadi pada Siena (Natasha Wilona), yang membuat ketiga temannya ketakutan ketika ia kembali ke asramanya. Ketiga temannya itu adalah Flo (Ria Ricis), Neni (Fitria Rasyidi), dan Vina (Ryma Karimah) yang baru mendapat kabar bahwa sahabat mereka itu telah meninggal dunia. Kabar mati surinya Siena tentu menjadi buah bibir di sekolahnya. Brama (Al Ghazali), siswa yang menyukai Siena, senang bahwa Siena kembali hidup lagi. Lain dengan reaksi Denisa (Sonia Alexa), mantan pacar Brama, yang tidak menyukai kembalinya Siena karena merasa Siena telah merebut Brama darinya.

Siena tidak hanya mengalami tekanan dari Denisa pasca mati surinya. Baik di sekolah maupun di asrama, ia beberapa kali melihat penampakan arwah. Bersamaan dengan penampakan yang ia lihat, satu persatu kematian terjadi. Siena pun menganggap bahwa setiap kali ia melihat penampakan, maka ada orang lain yang akan mati dalam waktu dekat. Tentu para sahabatnya tidak begitu saja percaya dan malah menganggap Siena aneh. Ia pun mulai cemas ketika ia melihat arwah yang mengikuti Brama, memberi ia firasat akan kematian Brama.

Diadaptasi dari cerita horor yang katanya terlaris di Wattpad, secara tak terduga saya menemukan tiga genre pada film ini, yakni komedi, drama, dan horor. Dapat saya katakan bahwa unsur komedi lah yang pada film ini paling berhasil dieksekusi. Contohnya, pada adegan pertama yang telah saya sebut di atas. Di sana, sang sutradara berhasil memaksimalkan potensi humor yang dimiliki Daus Separo dan Opie Kumis yang dibuat ketakutan di rumah sakit. Beralih latar ke asrama tempat tinggal Siena, penampilan Ria Ricis sebagai Flo, yang paling ketakutan, justru paling menghibur. Pada adegan tersebut, Ria membuktikan bahwa dirinya adalah seorang entertainer sejati. Jangan lupakan juga penampilan Asri Welas yang selalu menghibur di film manapun ia berada. Asri beberapa kali membuat saya tersenyum meski kedatangannya merusak momen-momen yang sebelumnya telah dibuat menegangkan.

Premis pada film ini adalah upaya Siena untuk menghentikan kematian dari orang-orang terdekatnya. Sayang, kematian adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari. Pesan tersebut sebenarnya sudah disampaikan berkali-kali secara eksplisit, tetapi karakter siena dibuat untuk selalu berusaha untuk menghentikan kematian. Persahabatan Siena dan teman-temannya di awal digambarkan dengan foto-foto kebersamaan mereka dan memori saat mereka sedang berkumpul. Tentu akan ada momen di mana kelompok ini sempat terpecah, tetapi cepat berlalu. Berikutnya kita pun akan diperlihatkan upaya Siena dan teman-temannya untuk menghentikan kematian salah satu tokoh. Upaya tersebut sempat dibawa secara menghibur meski tersisipi aksi bodoh (atau teledor?) yang fatal. Sangat disayangkan juga kehadiran Al Ghazali hanya sebagai pemanis film yang mengisi plot “mau tapi malu” yang kurang mengharukan. Lebih disayangkan lagi, karakter antagonis pada film ini malah diabaikan di akhir cerita regardless akibat yang telah ia timbulkan.

Semakin maju, penampakan-penampakan di film ini juga semakin tidak seram.

Elemen horor pada film ini adalah yang paling lemah karena dilandasi naskah yang tak beraturan. Alasan matinya Siena di awal film dibuat sesederhana mungkin, begitu juga dengan kematian terakhir pada film ini. Sang penulis naskah, Aviv Elham, seolah malas menciptakan tragedi. Selain itu, Siena pun dibuat langsung menerima bahwa ia bisa melihat arwah yang menandakan kematian di masa depan. Padahal, setelahnya ia akan menemukan orang yang senasib dengannya. Aviv pun tampak malas untuk menyusun tahapan mengalami – menolak – mencari tahu – menerima perihal apa yang terjadi pada Siena. Tentu saya pun teringat dengan naskah yang ia tulis dalam Roy Kiyoshi: The Untold Story, dimana ia pun menciptakan karakter Sheila yang mudah percaya pada sesuatu yang gaib. Latar film untuk mengeksplorasi perubahan dalam diri Siena pun terbilang sempit, hanya terjadi di sekitar sekolahnya. Jika di dunia nyata, tentu orang-orang akan menghindari sekolah Siena dimana murid-muridnya banyak mengalami tragedi.

Bagaimana dengan penampakan arwah yang disajikan pada film ini? Penampakan pertama yang terjadi di sekolah Siena sesungguhnya menyeramkan. Namun, seiring berjalannya cerita, penampakan yang ditunjukkan semakin tidak seram. Toh sosok arwah yang dilihat Siena pun lama kelamaan tidak akan menakutinya dan seolah hanya menjadi reminder akan kematian orang di sekitar Siena. Film ini juga masih menyajikan jumpscare murahan yang tujuannya murni untuk menakut-nakuti penonton karena aspek horor pada film sejatinya tidak dominan. Menjelang akhir pun film ini dibuat semakin tidak menyeramkan.

Begitulah film ini, tidak seram, kurang mengharukan, dan hanya berhasil membuat tertawa di bagian awal dan akhir saja. Saya pun tentu tidak tertarik untuk membaca cerita Wattpad yang diadaptasi oleh film ini. Nilai 3 dari 10 untuk film ini pun seharusnya sudah cukup.

1 thought on “Review Film Aku Tahu Kapan Kamu Mati

  1. Pingback: Review Film Aku Tahu Kapan Kamu Mati: Desa Bunuh Diri | Notes of Hobbies

Leave a comment