Review Film Love Story (2011)

Mari kita saksikan film terakhir Acha bersama Irwansyah

Love Story (2011) adalah film terakhir yang manyandingkan Acha Septriasa dan Irwansyah setelah Heart (2006) dan Love is Cinta (2007). Dilihat dari latar waktu dan tempatnya, dapat dikatakan bahwa film ini adalah prequel dari kedua film yang ditayangkan lebih dulu tersebut. Sama-sama disutradarai oleh Hanny R. Saputra, dapat saya katakan bahwa film ini adalah yang paling mengharukan dibanding kedua pendahulunya meski cerita didalamnya laagi-lagi kurang didasari logika yang kuat.

Galih (Irwansyah) dan Ranti (Acha Septriasa) sudah berteman sejak kecil, bersekolah di tempat yang sama, tetapi tinggal di desa yang terpisahkan oleh sebuah sungai. Di kedua desa tempat mereka tinggal, terdapat kepercayaan yang berawal dari sebuah cerita rakyat tentang kisah cinta yang kandas antara Joko Angin-Angin dan Dewi Bulan. Penduduk setempat percaya bahwa dahulu desa mereka adalah satu, lalu terpisah sungai yang terbentuk akibat kemarahan Joko Angin-Angin karena tidak dapat menikahi Dewi Bulan. Joko Angin-Angin pun bersumpah bahwa tidak akan ada cinta di antara anak-anak di desa tersebut. Sumpah itu kemudian dianggap sebagai kutukan oleh penduduk desa yang melarang dua orang dari desa yang terpisahkan tersebut untuk saling mencintai. Jika dilanggar, maka bencana akan menghampiri.

Desa tempat tinggal Galih dan Ranti adalah desa yang terbelakang. Untuk sekolah pun mereka harus menyeberangi sungai lalu menaiki bis ke sekolah yang jauh. Setiap rumah penduduk pun terbilang sederhana tanpa pencahayaan lampu listrik. Melihat upayanya untuk sekolah, Ranti pun bercita-cita untuk menjadi guru di desanya, supaya anak-anak lain tidak perlu susah payah jika ingin belajar. Cita-cita tersebut diketahui Galih sejak kecil, yang ingin diwujudkan Galih ketika kembali dari kuliah di kota. Jika para pria di cerita rakyat yang kita kenal membuat perahu atau candi berkat permintaan perempuan pujaannya, Galih justru ingin mendirikan sekolah di desa Ranti atas kemauannya sendiri, bukan permintaan Ranti. Ketika Galih meminta Ranti dari sang ayah untuk dinikahi, jelas sang ayah menolak karena takut cinta Galih dan anaknya akan membawa bencana di desa mereka. Ditambah lagi, beberapa kejadian tragis terjadi di desa mereka setelah warga tahu Galih ingin menikahi Ranti.

Galih dan Ranti pun sebenarnya bisa meminta bantuan kepala desa juga untuk membangun sekolah yang bermanfaat bagi anak-anak.

Memiliki premis cinta yang terhalang adat, kedua pemeran utama sama-sama mendapatkan giliran untuk menjadi sosok yang paling optimis dalam hubungan mereka. Baik Galih maupun Ranti, keduanya adalah sosok yang cerdas. Galih memiliki modal yang cukup untuk membangun sekolah yang tak sekedar tempat belajar karena ia sudah berkuliah di kota. Ranti pun gemar mengajari anak-anak di desa. Terhadap adat setempat pun, Galih lebih mengedepankan logika dibanding kepercayaan. Reaksi yang sama baru kita lihat dari Ranti tatkala sebuah bencana terjadi di desa mereka. Ada adat yang dipatuhi, ada pula orang-orang yang memegang kuat akannya. Salah satunya adalah ayah Ranti yang jelas membenci hubungan cinta anaknya, yang juga merasa bahwa istrinya pernah menjadi korban atas pantangan yang sama. Namun, kita hanya akan menyaksikan penolakan dari pihak keluarga Ranti saja, sedangkan keluarga Galih, meski muncul pada awal film, tidak terlihat lagi entah karena apa. Sang ayah pun kedudukannya kurang jelas di mata penduduk desa, apakah ia termasuk tokoh yang punya nama atau hanya seorang yang terbutakan dendam. Apa yang terjadi pada ibu Ranti dulu pun tidak dibahas lagi penyebabnya. Padahal bisa saja ada penyebab logis atas kejadian yang menimpa dirinya.

Dalam menceritakan perjuangan Galih dan Ranti melawan kepercayaan setempat, film menampilkan cerita yang berulang dalam mengisi durasi untuk babak keduanya. Kita akan melihat beberapa kali Ranti kabur demi bertemu Galih di sekolah yang sedang ia bangun. Kita pun akan melihat sejumlah masalah berkat penolakan warga di bangunan tersebut. Padahal, film ini benar-benar memiliki penyelesaian yang mengharukan dan juga mengubah persepsi penduduk desa akan mitos yang mereka imani. Melibatkan rombongan penduduk desa, penyelesaian film ini cukup mengingatkan saya pada resolusi Perempuan Tanah Jahanam (2019). Hanya saja, kali ini reaksi para warga dibuat lebih lengkap.

Meski tidak sefenomenal My Heart dan Ada Cinta, soundtrack yang dibawakan Melly Goeslaw pada film ini tetap terasa menyentuh ketika disisipkan pada adegan-adegan yang pas. Dari para pemerannya sendiri, seperti pada Heart dan Love is Cinta, kualitas akting Acha Septriasa jauh di atas lawan mainnya, Irwansyah. Penilaian tersebut cukup berdasarkan pada banyaknya ekspresi wajah berbeda yang ditunjukkan masing-masing. Selain Acha sebagai Ranti, tokoh yang menarik perhatian adalah Pengkor yang diperankan Reza Rahadian. Pengkor adalah seorang yang memiliki gangguan jiwa, tidak dapat berbicara dengan jelas, dan sering ikut dalam gerombolan penduduk desa. Reza benar-benar total dalam memerankan karakter Pengkor. Sayang sekali, Pengkor yang menjadi simbol tertinggalnya penduduk desa, perannya terasa redundan dengan sosok ayah Ranti yang membenci proyek sekolah Ranti dan Galih. Cerita pada film ini pun tidak memberikan latar belakang yang cukup pada karakter Pengkor, tentang apa yang terjadi padanya di masa lalu misalkan. Hanya tampil untuk memprovokasi beberapa kali, kemunculan Pengkor pun malah semakin annoying seiring film bergulir.

Selain menceritakan kesungguhan cinta Galih yang diwujudkan dengan sekolah yang ia bangun, film pun punya potensi untuk mengangkat sebuah realita sosial. Tentang sulitnya anak-anak di pedesaan menempuh pendidikan hanya sedikit dibahas meski dipertegas dengan tragedi yang terjadi pada film. Sebagai nilai akhir untuk film ini, saya hanya memberikan 5 dari 10. Jika realita pendidikan yang saya sebut lebih dikembangkan lagi, mungkin nilai tersebut akan sedikit saya naikkan.

Leave a comment