Review Film Benyamin Biang Kerok (2018)

Benarkah film ini sama sekali tidak lucu?

Berdasarkan ulasan yang saya baca dua tahun yang lalu, film ini adalah salah satu film yang saya hindari karena mendapatkan komentar yang umumnya negatif. Saya juga tahu beberapa kali film ini sempat ditayangkan di TV. Namun, demi bisa mengerti cerita dari film keduanya, saya rela menonton film yang sudah dapat disaksikan melalui Disney+ Hotstar ini. Sebagai sebuah disclaimer sebelum mulai mengulas Benyamin Biang Kerok (2018), saya perlu memberi tahu bahwa saya belum pernah menonton film Benyamin versi lawas manapun secara utuh. Namun, saya tetap tahu beberapa lagu yang pernah dibawakan atau menjadi pengiring dalam beberapa filmnya.

Memerankan karakter yang dulunya biasa diperankan H. Benyamin Sueb, penampilan dan gaya bicara Reza Rahadian cukup sukses diubah menjadi seorang Pengki. Diceritakan Pengki adalah anak orang kaya yang terlibat misi rahasia untuk mengacaukan casino ilegal milik Said (Nurul Qomar). Dibantu Somad (Adjis Doaibu) dan Achie (Aci Resti), Pengki mengalahkan kemenangan seorang bos mafia, Hengki (Hamka Siregar). Namun, aksi Pengki dan kawan-kawan tidak berjalan mulus, membuat Said dan Hengki sama-sama memiliki dendam padanya. Beberapa hari kemudian, perumahan tempat markas Pengki akan digusur gerombolan preman yang merupakan anak buah Hengki. Namun, mereka berhasil mengusir para penggusur berkat bantuan Mpok Rocker (Lydia Kandou). Suatu hari, Pengki bertemu dengan Aida (Delia Husein), penyanyi yang baru naik daun, yang ternyata juga adalah pelayan tawanan Said. Jatuh cinta pada Aida, Pengki pun nekat ingin menemui Aida, yang membuat ia bermasalah lagi dengan Said. Pengki pun merencanakan misi untuk melepaskan Aida dari Said.

Sesungguhnya film ini kaya akan keunikan karakternya. Kita akan menemui Somad, ilmuwan aneh yang sering memberikan alat-alat unik untuk misi Pengki. Orang tua Pengki dikisahkan masih bersama tetapi tinggal di lingkungan yang berbeda. Nyak Mami (Meriam Bellina) adalah pebisnis yang sering berurusan dengan mafia dan lebih sering tinggal di gedung tinggi, berbeda dengan Babe Sabeni (Rano Karno) yang lebih membumi, setia mengurus kambing dan oplet miliknya. Tokoh antagonisnya pun tak kalah mengesankan. Ada Bella (Billa Barbie), robot pelayan Said yang creepy setiap kita mendengar perkataannya. Ada pula pemimpin anak buah Hengki yang dari penampilannya merupakan Bane (dari The Dark Knight Rises) versi lokal. Terhadap orang-orang di sekitar Pengki, film kurang memberikan latar belakang karakter yang jelas. Misalnya, kita tidak tahu pasti apakah orang tua Pengki sudah berpisah atau belum? Duo komika yang memerankan Somad dan Achie pun malah meninggalkan kesan annoying karena tingkah lakunya yang menyebalkan di beberapa adegan krusial. Kelakuan mereka kerap kali merusak ketegangan dari aksi-aksi Pengki yang sebenarnya dieksekusi dengan standar yang cukup.

Saya pun penasaran apakah film-film H. Benyamin dulu juga selalu disisipi parade musikal seperti di sini?

Satu setengah jam lebih film diselingi dengan parade musikal yang menceritakan tentang apa yang dirasakan Pengki dan apa yang akan dilakukannya. Sebagai penonton pemula, saya tidak terlalu mengerti kegunaan dari adegan musikal yang perlu berpindah latar tempat tersebut. Mungkin itu hanya gambaran imajinasi Pengki saja. Durasi yang sudah terpangkas dibagi lagi untuk menceritakan beberapa kejadian mulai dari yang membingungkan hingga yang menyindir isu-isu terkini di ibukota. Misalnya, kekacauan Pengki cs di casino milik Said yang tidak jelas tujuannya apa dan drama Aida yang tiba-tiba dekat dengan Pengki padahal sebelumnya ia cenderung menolak Pengki. Dalam menceritakan banyak peristiwa, film melaju cukup cepat dan menyelesaikan konflik yang muncul dengan cara yang mudah. Film ini juga tampak tidak memiliki pesan kecuali isu-isu yang diangkatnya. Namun, film tetap memberi teladan melalui penceritaan sisi lain Pengki yang ingin berbakti terhadap lingkungannya.

Dosa terbesar film ini bukanlah kegagalan para tokohnya untuk membuat penonton tertawa. Namun, film ini diakhiri di titik yang salah. Saya mengerti maksud sang produser untuk membagi cerita Pengki ke dalam dua film seperti dua film Warkop DKI Reborn (2016 dan 2017) dari rumah produksi yang sama. Namun, tetap saja film pertama ini dihentikan ketika babak ketiga film sedang tegang-tegangnya. Artinya keberhasilan misi yang Pengki lakukan dengan penuh hambatan meninggalkan tanya hingga kita menonton film keduanya. Berkat film ini lah saya makin tidak menyukai film yang sengaja dibagi menjadi dua bagian dengan meninggalkan banyak tanya di akhir film pertamanya.

Akhirnya, keragaman karakternya lah yang agak menyelamatkan film secara keseluruhan. Andai tidak ada poin plus tersebut, saya tak segan untuk memberikan nilai 1 atau 2 dalam skala 10 kepada film ini. Sebagai nilai akhir, saya memberikan 3 dari 10 untuk Benyamin Biang Kerok (2018).

3 thoughts on “Review Film Benyamin Biang Kerok (2018)

  1. Pingback: Review Film Benyamin Biang Kerok 2 | Notes of Hobbies

  2. Pingback: Double Review: Yowis Ben 3 dan Finale | Notes of Hobbies

  3. Pingback: Review Film Para Betina Pengikut Iblis | Notes of Hobbies

Leave a comment