Review Film Posesif (2017)

Mari kita lihat debut Putri Marino 4 tahun lalu

Posesif (2017), yang ternyata merupakan film pertama yang dibintangi Putri Marino ini pada tahun penayangannya berhasil mendapatkan 10 nominasi Festival Film Indonesia. Jika baru menontonnya di tahun ini, mungkin kita memang tidak akan mendapatkan ide cerita yang baru dari film ini. Namun, film ini dapat bercerita secara komplit – lebih dari sekedar penggambaran sebuah toxic relationship – dan dapat memberikan penutup yang klop bagi saya.

Lala (Putri Marino) yang merupakan atlet loncat indah, peraih medali PON kembali masuk sekolah. Setelah lama absen, Lala yang sedang mengerjakan tugas susulan bertemu siswa baru yang hendak mengambil sepatunya yang disita, Yudhis (Adipati Dolken). Alhasil, keduanya dihukum keliling lapangan dengan cara yang unik, membuat mereka mengenal satu sama lain. Hukuman tersebut menjadi awal manis bagi mereka yang akhirnya berpacaran setelah dorongan teman-teman mereka di sekolah.

Setelah menunjukkan romantisnya hubungan Lala dan Yudhis, dengan cepat film membawa kita ke cerita yang tak mengenakkan bagi keduanya. Yudhis mulai posesif terhadap Lala, meminta lebih waktu darinya yang juga disibukkan dengan latihan persiapan PON. Kita pun akan beberapa kali melihat handphone Lala yang menerima hingga puluhan missed calls dari Yudhis, termasuk ketika Lala sedang bersama kedua sahabatnya, Ega (Gritte Agatha) dan Rino (Chicco Kurniawan) – yang juga menjadi pematik kecemburuan Yudhis.

Sesuai dengan judulnya, film ini cukup sukses mengupas kebiasaan seseorang yang menunjukkan sikap posesif. Dominasi Yudhis terhadap hidup Lala ditunjukkan cukup menyeluruh, tidak sekedar membatasi hubungan Lala dengan kedua sahabatnya. Bahkan, Yudhis pun dapat melakukan hal tak terduga demi menyingkirkan orang lain yang ia kira akan mencuri hati Lala. Dampak terburuk dari rasa posesif adalah bahwa pasangan kita dapat berlaku abusive demi mendapatkan yang ia inginkan. Sikap Yudhis tentu menimbulkan rasa tidak nyaman, yang akhirnya pada film pun memicu beberapa kali permintaan untuk putus dan rasa penyesalan.

Perilaku posesif cenderung menyebabkan sikap mengekang. Selain menunjukkan bagaimana Yudhis mengekang Lala, film pun menunjukkan bagaimana karakter keduanya dibentuk melalui orang tua masing-masing yang mengekang mereka. Lala tinggal hanya bersama sang ayah (Yayu Unru) sekaligus pelatihnya. Yang diinginkan sang ayah adalah Lala dapat menjadi atlet yang lebih hebat dibandingkan sang ibu yang telah tiada. Sementara itu, Yudhis tinggal bersama sang ibu (Cut Mini) yang tidak ingin ditinggalkannya, termasuk ketika Yudhis harus pindah keluar kota untuk kuliah. Kedua back story ini dibuat masih relevan dengan konflik kedua tokoh utama kita. Dengan demikian, penonton dapat memahami alasan masing-masing untuk bertahan di hubungan mereka yang sudah rusak. Demi memperkuat motifnya, film pun menunjukkan bagaimana kehidupan Lala tanpa Yudhis, juga Yudhis tanpa Lala, yang lumayan berbeda jauh suasananya.

Adalah kesempatan yang menyenangkan untuk melihat akting Adipati Dolken dan Putri Marino di sini. Terutama Putri, yang dalam debutnya ini sudah dapat mengisi adegan-adegan sesederhana bernyanyi di dalam mobil dengan sangat ekspresif, didukung gesture kecil yang membuatnya semakin natural. Ternyata kelak, ini lah yang akan menjadi ciri khas Putri pada film-film dia berikutnya. Sementara itu, penampilan Gritte Agatha cukup efektif dan mencuri perhatian sebagai sahabat yang terkenal sebagai sosok mak comblang di sekolahnya. Penampilan Chicco Kurniawan sebagai sahabat Lala, yang diam-diam memberikan perhatian lebih pun berhasil membuat kita tak membenci dirinya jika kita berpihak pada kebersamaan Lala dan Yudhis.

Kekurangan cerita di film ini, menurut saya adalah back story Yudhis yang bisa diperdalam lagi. Hal menarik seperti alasan Yudhis pindah sekolah atau kesehariannya dengan sang ibu dapat ditunjukkan. Bukannya baru mengungkap kejamnya kekangan sang ibu menjelang akhir film. Sementara itu, penceritaan dari sudut pandang Lala sudah cukup, beberapa kali kita akan mendengar klaim bahwa Lala di mata sang ayah hanya dipandang sebagai atlet, bukan anak.

Sejak tahun lalu, saya mulai mempertimbangkan nama penulis naskah (selain sutradara) yang bertanggung jawab akan cerita dari film yang saya tonton. Termasuk terhadap film ini, yang ternyata naskahnya ditulis oleh Gina S. Noer yang hingga kini dikenal berkat judul-judul seperti Dua Garis Biru (2019), Bebas (2019), dan Ali & Ratu-Ratu Queens (2021). Perlu saya katakan bahwa pada film ini, Gina telah memberikan penutup yang sangat layak dan tegas terhadap kisah Lala dan Yudhis. Maka itu, nilai yang akan saya berikan untuk Posesif adalah …

8/10

1 thought on “Review Film Posesif (2017)

  1. Pingback: Review Film Romantik Problematik | Notes of Hobbies

Leave a comment