Review Film Nightmare Alley

Film tentang pelaku “Seven deadly sins

Ketika menonton trailer Nightmare Alley di bioskop, hal pertama yang menarik perhatian saya adalah pertunjukan “manusia geek” yang dijanjikan hadir pada filmnya. Salah satu tokohnya mempertanyakan apakah sosok tersebut manusia ataukah spesies buas lainnya? Saya pun turut penasaran mengingat sang sutradara dan penulis naskah pernah menciptakan sosok manusia kadal dalam The Shape of Water (2017). Namun, misteri tentang makhluk aneh tersebut tidak akan menjadi cerita utama. Sebagai gantinya, kita akan mendapatkan drama psikologis dari seorang performer yang hijrah ke kota besar.

Kita akan bertemu dengan Stan (Bradley Cooper) yang setelah membakar habis rumahnya beserta jenazah di dalamnya, memilih untuk bergabung dengan kelompok karnaval jalanan. Salah satu pertunjukan utama mereka adalah “manusia geek” yang telah saya sebutkan, yang sejatinya adalah eksploitasi seorang yang ketergantungan alkohol dan kejiwaannya terganggu. Pada karnaval yang dipimpin Clem (Willem Dafoe) ini, kita pun akan bertemu manusia-manusia aneh lainnya yang memiliki kelebihan masing-masing. Salah satu performer yang dekat dengan Stan adalah pemilik aksi clairvoyant yang merupakan pasangan suami istri, Zeena (Toni Collette) dan Pete (David Strathairn).

Hampir satu jam pertama film diisi oleh pengenalan karakter Stan yang terlalu lama. Film ini tampak berputar-putar menceritakan Stan yang tertarik dengan trik mentalist yang dikuasai Zeena, keseharian di karnaval, dan sekuens mimpi buruknya akan peristiwa yang ia lalui di awal film. Nyatanya, film melaju lambat, pelan-pelan membangun motivasi Stan. Saya pun beberapa kali jatuh hampir mengantuk di hadapan berbagai adegan minim scoring ini. Setidaknya, naskah sudah mempersiapkan beberapa adegan yang akan menjadi breakpoint terhadap penontonnya yang mengantuk. Salah satunya adalah tatkala manusia geek andalan mereka berusaha kabur ke wahana rumah hantu. Pada titik ini pula film menyiapkan sisipan cerita melalui isu eksploitasi manusia dan aneka simbol yang ditunjukkan di wahana karnaval. Salah satunya adalah tempelan nama-nama Seven Deadly Sins yang menjadi petunjuk akan konflik dari film ini.

Film pun tak akan lagi membosankan ketika menggali plot romansa yang melibatkan Stan dan Molly (Rooney Mara), si perempuan listrik. Ketika menceritakan Stan dan Molly dua tahun kemudian, yang sudah hidup bersama terpisah dari rombongan karnaval, film baru membangun konflik yang akan dihadapi Stan. Dikisahkan Stan kini mendapatkan panggung untuk aksi mentalism yang lebih mahal di kawasan elit di New York. Pertunjukan mereka menarik perhatian seorang psikolog, Dr. Ritter (Cate Blanchett) yang sempat menantang kemampuan Stan sendirian. Pertemuan antara Stan dan Ritter kelak akan menciptakan kerja sama untuk mendapatkan keuntungan lebih dari pertunjukan yang dilakukan Stan. Yang disayangkan adalah film melewatkan momen kemesraan Stan dan Molly di tempat tinggal mereka yang baru. Apalagi ketika melompat dua tahun, kita mendapatkan cerita Molly yang masih belajar menguasai trik dari Zeena. Membuat saya ingin bertanya pada mereka, “Kalian berdua 2 tahun bareng ngapain aja?” Ajakan Stan untuk hidup bahagia dengan Molly pun hanya diwujudkan dengan pertunjukan mereka di tempat yang lebih mahal dengan Molly hanya menjadi asisten baginya.

Konflik utama film ini baru muncul ke permukaan sejak kita bertemu dengan Ritter manakala Stan menunjukkan spooky trick ke penonton barunya. Trik tersebut berupa berpura-pura dapat berkomunikasi dengan arwah yang kerap kali menyentuh hari sang target. Di awal film bahkan sang protagonis sudah diperingatkan bahwa trik ini tabu dilakukan karena penonton pada zaman itu mudah percaya dengan hal mistis. Namun, Stan melihat aksi ini sebagai peluang untuk mendapatkan untung lebih dengan memanfaatkan posisi Ritter yang memiliki banyak klien kaya raya. Hubungan keduanya tentu akan berdampak pada kelangsungan hubungan Stan dan Molly. Berikutnya, cerita akan mengarahkan Stan menemui berbagai dosa mulai dari keserakahan.

Ketika sang protagonis dibacakan nasibnya melalui Tarot, cerita menjadi terprediksi. Kita akan mudah memahami kemana karakter Stan akan dibawa berdasarkan ramalan negatif yang ia dapat. Pertanyaannya, akankah dirinya tahu kapan harus berhenti melakukan kebohongan melalui triknya? Karenanya pengalaman menonton yang ditawarkan pun berubah, dari berjalan-jalan ke belakang panggung berbagai atraksi sulap dan manusia aneh menjadi tegang menanti kapan kebohongan sang antagonis terkuak. Sebuah pengalaman menonton yang jika saya ingat, terakhir kali saya rasakan ketika menonton Nailed (2019). Baik Stan maupun penonton sama-sama menanti tragedi yang belum diketahui bentuknya.

Apa yang terjadi di rumah yang dibakar Stan pada awal film? Film ini pun tak luput untuk mengungkapnya dengan terlebih dulu menggambarkan dinamika karakternya sejak bekerja sama dengan Ritter. Bahkan kita pun akan melihatnya perlahan menyerupai sosok yang ia benci. Hingga tiba di akhir film, dirinya menemui sebuah ironi. Pertanyaannya di awal film akan terjawab sendiri. Didukung akting seorang Bradley Cooper yang mumpuni, ironi yang disajikan turut membuat penontonnya merinding sembari mengingat dosa masing-masing.

7/10

Leave a comment