Review Film Just Mom

Kisah kasih ibu yang tak terhingga

Setelah sukses dengan Mekah: I’m Coming (2020) yang menghibur secara total, Jeihan Angga kembali dengan sajian drama keluarga yang mengundang haru. Melalui film terbarunya, Just Mom, Jeihan menyajikan cerita tentang seorang ibu yang merindukan kehadiran anak-anaknya. Ditunjukkannya bahwa sang ibu selalu menganggap anak-anaknya ada, hadir di rumahnya, meski mereka sedang sibuk sendiri. Namun, kita tidak akan dibuat selalu sedih selama 88 menit film berjalan karena kehadiran comic relief dalam takaran yang pas.

Sosok ibu yang kesepian tersebut adalah Siti (Christine Hakim). Karena penyakitnya, Siti disarankan oleh dokter untuk tidak banyak diam melamun di rumah. Ditambah lagi, Siti kini hanya tinggal bersama anak bungsunya yang segera berkuliah ke luar negeri, Jalu (Toran Waibro) dan ART di rumahnya, Sum (Dea Panendra). Maka Siti pun membawa orang gila yang sedang hamil ke rumahnya, Murni (Ayushita) dan menganggapnya sebagai anak sendiri. Siti yang merawat Murni tentu menuai protes dari kedua anaknya yang lain, Tiwi (Niken Anjani) dan Damar (Ge Pamungkas). Kekhawatiran jika Murni berulah dan membahayakan keluarga mereka tentu muncul. Namun, sejak merawat Murni, Siti menjadi lebih bahagia di rumahnya.

Karakter para pemeran utama digali dengan cukup efektif. Keputusan Murni untuk mengadopsi Siti adalah simbol kebaikan hatinya yang menurut teman-temannya memang suka menolong orang lain sejak aktif menjadi bidan. Bahkan Siti turut membawa Murni memeriksa kandungannya secara rutin. Sementara itu, baik Tiwi maupun Damar memiliki alasan yang cukup untuk tidak lagi tinggal bersama sang ibu. Tiwi dikisahkan sudah berkeluarga dan disibukkan dengan pekerjaannya bersama sang suami. Sementara itu, Damar sebagai anak laki-laki tertua kerap kali perlu keluar kota demi melancarkan proyeknya. Siti memang merindukan keduanya, tetapi mudah merelakan anak-anaknya untuk mengurus kesibukan masing-masing. Di antara sajian drama keluarga yang mengharukan, kemunculan karakter Sum sebagai comic relief membawa bumbu komedi yang proporsional, tidak mengganggu momen-momen haru. Sayangnya perannya sebagai ART yang bertanggung jawab akan pekerjaan rumah tampak berkurang di paruh kedua.

Premis tentang kasih sayang seorang ibu ini agak mengingatkan saya dengan Cinta Pertama, Kedua & Ketiga yang sama-sama berupa drama keluarga. Hanya saja, film ini mengambil sudut pandang dari seorang ibu yang ditinggal pergi oleh anak-anaknya. Keduanya pun terbilang terselamatkan oleh akting pemeran utamanya yang sangat baik. Untuk film ini, penyelamat tersebut tentulah Christine Hakim yang selalu berhasil menghantarkan rasa kesepian yang dialami. Rasa tersebut sangat kuat baik melalui adegan rekaman aplikasi chat di awal film maupun shoot close up yang menjadi andalan sang sutradara dalam menarik rasa haru penonton.

Kerinduan Siti akan anak-anaknya yang telah hidup masing-masing (kecuali Jalu) diungkap melalui kebiasaannya merindu yang terekam oleh Jalu. Kita pun akan mendapatkan sedikit cerita kilas balik ketika ketiga anak-anak Siti masih kecil dan sempat ia urus. Sayang, kilas balik tersebut baru muncul pada babak ketiga dan diceritakan dalam durasi yang kurang. Film pun memberi sedikit kejutan tatkala mengungkap jati diri Jalu yang bukan anak kandung Siti. Kejutan tersebut memperkuat premis perihal kebaikan Siti dan memicu konflik untuk anak-anaknya dengan mengangkat persepsi bahwa sang ibu lebih disayangi anak angkatnya dibandingkan anak kandungnya.

Konflik yang melibatkan anak-anak Siti disajikan relatif datar. Misal ketika ada yang disalahkan karena batal ikut menjaga ibunya, alasan yang ditunjukkan sesederhana karena ada pekerjaan mendesak dan sang ibu sedang baik-baik saja, yang mana tidak salah. Ketika sebuah tragedi terjadi sebagai dampak kehadiran Murni pun, suasananya tidak dibawa ke kepanikan yang maksimal. Konflik antara mereka yang menguras emosi baru ditemukan pada babak ketiga, yang mengandalkan permintaan maaf guna menarik rasa haru.

Setidaknya, film ini tuntas menyelesaikan setiap masalah yang ditunjukkan terutama tentang kondisi Siti dan kehamilan Murni. Kita benar-benar akan mendapatkan akhir cerita berupa sekuens paling mengharukan sepanjang film yang kadang turut membuat kita tersenyum. Sayang, ketika saya hampir menangis menontonnya, saya batal sedih. Penyebabnya adalah penggunaan adegan rekaman aplikasi chat yang menurut saya tidak tepat, karena membuat cerita yang terjadi dalam kurun waktu 2-3 tahun hanya berjalan dalam 2 menit saja.

6/10

Leave a comment