Review Film Srimulat: Hil yang Mustahal Babak Pertama

Sebuah biopik yang benar-benar hanya babak pertamanya

Sebagai sebuah disclaimer awal, saya adalah penonton yang semasa kecil tidak pernah menonton pertunjukan grup lawak Srimulat baik secara langsung maupun dari TV. Apalah saya yang ketika kecil hanya gemar menonton kartun dan acara kuis. Meski demikian, saya tetap mengenali beberapa aktor yang pernah tergabung dalam Srimulat, dan setidaknya ciri khas mereka masing-masing. Namun, ternyata Srimulat: Hil yang Mustahal – Babak Pertama merupakan sebuah tontonan yang akan sukses menghibur generasi manapun, termasuk saya yang minim pengetahuan akan grup yang didirikan Teguh Slamet Rahardjo tersebut.

Film memperkenalkan Srimulat sebagai grup lawak yang tenar di tanah Jawa. Beberapa saat setelah bergabungnya Gepeng (Bio One), Srimulat mendapatkan undangan ke Jakarta untuk tampil di hadapan presiden. Di tanah ibukota, mereka adalah pendatang baru, dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Demi menjadi tenar dan sukses di kota yang baru, para anggota Srimulat yang dipanggil pun kompak mencari ciri khas masing-masing dalam pertunjukannya kelak. Ketika pengukuhan identitas selesai, mereka pun menemui masalah baru tentang materi lawak mereka. Srimulat yang terbiasa berbahasa Jawa fasih di atas panggung harus membiasakan diri tampil dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Disajikan sebagai babak pertama dari biopik Srimulat, film ini memang ibarat babak pertama dari struktur sebuah film. Inti dari 110 menit ceritanya adalah perkenalan para anggota Srimulat yang hijrah ke Ibukota beserta penetapan konflik yang akan mereka hadapi. Narasi dari film pun cukup menjelaskan sekilas sejarah dari Srimulat itu sendiri. Prinsip bahwa anggota Srimulat harus lucu dan merupakan pelawak yang membumi pun sudah ditegaskan di awal film. Cerita lebih terfokus pada karakter Gepeng yang sejak awal ingin tergabung dalam Srimulat tetapi ditentang oleh sang ayah. Ketika pergi ke Jakarta pun cerita Gepeng yang menyukai putri sang pemilik kontrakan, Royani (Indah Permatasari) turut diselipkan pada babak pertama ini.

Setiap pemeran dari anggota Srimulat berhasil menjadi ansambel yang saling melengkapi, pula membawa ciri khas dari tokoh yang mereka perankan. Contohnya saja Elang El Gibran yang memerankan Basuki, sahabat Gepeng yang setia termasuk ketika keduanya sudah di Jakarta. Erick Estrada sebagai Kabul, Zulfa Maharani sebagai Nunung, hingga Morgan Oey yang memerankan Paul sukses menonjolkan karakter masing-masing. Di luar para tokoh Srimulat, karakter seperti Makmur (Rano Karno) dan Royani cukup memberikan hiburan tambahan dengan identitas mereka sebagai warga Betawi. Meski demikian, diksi yang mereka gunakan sebagai orang Betawi dapat lebih ditonjolkan lagi.

Ketika sebuah film komedi diputar di bioskop dan ditonton berramai-ramai, ada cara sederhana untuk menguji keberhasilan lawakannya. Saya teringat dengan istilah Laughs per Minute (LPM) dari penonton yang menunjukkan apakah jokes yang mereka tonton works atau tidak. Ketika film ini kerap kali menunjukkan lawakan ala Srimulat, penonton tertawa dengan mudahnya menandai bahwa film ini berhasil menghibur seluruh lapisan penonton. Termasuk ketika komedi yang dibawakan memiliki setting suasana horor. Sayangnya, meski kerap berhasil menarik tawa, lawakan Srimulat yang disajikan cenderung overused, termasuk oleh tokoh non-Srimulat. Bagi saya, hanya ada dua situasi komedi yang membuat saya geram alih-alih tertawa. Pertama, lelucon di dalam kamar mandi yang menjijikan. Kedua, pada adegan pengusiran setan oleh dukun yang agak membelokkan fokus cerita.

Drama yang mengisi cerita pada film ini berasal dari masing-masing anggota Srimulat. Kita akan bertemu Tarsan (Ibnu Jamil) yang merasa gagal dalam melucu, Nunung (Zulfa Maharani) yang ingin tampil bernyanyi, hingga Kabul (Erick Estrada) yang terpukul dengan kegagalan komedinya di masa lalu, yang kelak mengubah penampilannya sebagai Tessy. Semua seolah mendapatkan penyelesaian ketika menetapkan identitas baru masing-masing dalam cara yang sederhana. Mengikuti cerita mereka semua, bagaikan sedang menonton Eternals (2021) yang juga punya banyak cast. Semua tokoh memiliki latar belakang menarik, tetapi harus berbagi penceritaan karena faktor durasi. Belum lagi cerita tentang Gepeng yang ditemani Basuki dalam mendekati Royani.

Konflik yang pecah di babak ketiga cenderung mendapatkan penyelesaian sederhana. Status “babak pertama” pada film ini memang membuat konflik utamanya hanya dimunculkan di permukaan, tidak untuk diselesaikan. Meski demikian, perkenalan akan Srimulat di sepanjang film sudah menanamkan karakter kuat akan Srimulat itu sendiri. Mulai dari lawakan khas mereka, hingga karakter personilnya yang kelak aakn dikenal lebih banyak orang melalui TV nasional.

6.5/10

2 thoughts on “Review Film Srimulat: Hil yang Mustahal Babak Pertama

  1. Pingback: Review Film Ngeri-Ngeri Sedap | Notes of Hobbies

  2. Pingback: Multireview Edisi 25: 4 Film Bioskop November 2023 | Notes of Hobbies

Leave a comment