Review Film She Said

Salah satu drama jurnalistik yang menegangkan yang pernah saya tonton

Sejak empat tahun yang lalu, saya terbiasa membuka minat untuk menonton film-film yang tergolong berbeda dari genre yang sudah common seperti horor atau drama. Salah satu yang menarik adalah drama yang mengangkat isu tertentu dan ternyata ceritanya diangkat dari kisah nyata. Dark Waters (2019), Hustlers (2019), dan Bombshell (2020) adalah beberapa film yang saya ingat dan cukup mengesankan. Di tahun ini, muncul She Said yang mengusung tema serupa dengan Bombshell (2020), sebuah reka ulang proses pembuatan berita yang memberi dampak pada masifnya gerakan #MeToo yang mendunia.

Sebagai konteks, naskah buatan Rebecca Lenkiewicz pada film ini adalah reka ulang untuk proses pencarian berita akan kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh Harvey Weinstein kepada para aktris yang terlibat di perusahaan hiburan Miramax. Detil kronologi kasusnya sudah terarsip cukup lengkap dalam beberapa tautan berita di internet dan tidak akan saya jelaskan secara mendetil. Proses investigasi yang dilakukan New York Times dilakukan oleh Megan Twohey (Carey Mulligan) dan Jodi Kantor (Zoe Kazan). Sebelum melihat Kantor dipertemukan dengan Twohey untuk mencari informasi, Lenkiewicz mengajak kita untuk sedikit berkenalan dengan keluarga dari keduanya.

Ada alasan mengapa film dibuka dengan memperkenalkan Twohey terlebih dahulu. Kita akan melihat dirinya berada di posisi yang kalah ketika menangani kasus serupa yang melibatkan tokoh dengan nama yang lebih besar dari Weinstein. Selain itu, penonton juga akan memahami seintens apa pekerjaan Twohey dan Kantor saat itu, terlebih keduanya sudah menjadi seorang ibu. Efeknya, waktu mereka mengurus anak agak tersita. Ditambah lagi, keduanya senantiasa was-was terhadap ancaman eksternal yang terjadi karena akan mengungkap sebuah kejahatan yang masif.

Alurnya bagi saya cukup sistematis, memperlihatkan tahapan Twohey dan Kantor mencari informasi, yang hasilnya tidak mudah didapat. Salah satu upaya yang menunjukkan kegigihan keduanya dalam menyelidiki kasus ini adalah perjalanan hingga ke luar negeri yang harus ditempuh demi mendapatkan narasumber yang ingin buka suara. Sebabnya, hampir semua wanita yang terduga pernah menjadi korban Weinstein tidak ingin buka suara. Film pun menunjukkan secara detil alasan mereka berlaku demikian, hingga menggali bukti upaya sang pelaku dalam menutup mulut korbannya. Penonton yang belum mengetahui kasusnya akan ikut mudah memahami mengapa para korban sulit untuk bersuara. Maka, tampak tujuan sang penulis naskah tidak hanya inginmengutuk sang pelaku, tetapi juga sistem yang mencegah para korban untuk mengakui perbuatan keji yang mereka terima.

Cerita yang disajikan repetitif (jika enggan disebut monoton) tetapi realistis karena memang begitu upaya yang harus dilalui kedua jurnalis kita. Lingkup ceritanya mulai dari tahap penyampaian mengapa artikel yang akan dibuat begitu penting hingga detik-detik terakhir sebelum artikel yang digarap terbit. Sepanjang film, penonton senantiasa berada di pihak Twohey dan Kantor berkat chemistry dan ekspresi dari Mulligan dan Kazan. Keduanya berakting sangat baik. Beberapa adegan “woman support woman” yang ditunjukkan keduanya sukses dimanfaatkan demi menunjukkan betapa peliknya pekerjaan mereka.

Dua jam lebih durasi film ini tidak hanya diisi pemaparan proses investigasi dari Twohey dan Kantor. Naskahnya makin diperkaya dengan menunjukkan keberpihakan penulis kepada para korban. Beberapa korban turut diungkap sedikit masa lalunya, ketika pertama kali mereka mengenal Weinstein. Kita akan melihat bagaimana masa muda mereka yang masih mengenal impian di dunia entertainment, lalu bagaimana pula dampak pelecehan yang dilakukan terhadap karir mereka hingga masa kini. Ada pula hal menarik yang dilakukan Maria Schrader selaku sutradara terhadap sosok pelaku. Pengarahannya tidak pernah sampai menunjukkan wajah Weinstein, yang dapat diartikan sebagai simbol tidak hormat.

Saya jarang mengomentari masalah teknis dari film yang saya tonton, termasuk aspek audio. Namun, kali ini saya merasa perlu memberikan credit khusus pada Nicholas Britell. Scoring yang ia garap konsisten menghidupkan ketegangan selama mengiringi pencarian fakta yang dilakukan dua jurnalis kita. Selama itu pula, penonton akan tetap terpaku menanti akankah ada ancaman atau hambatan yang menghampiri Twohey dan Kantor. Karenanya, benar bahwa film ini adalah salah satu yang memiliki suasana paling tegang dan mencengkeram di tahun ini.

7.5/10

1 thought on “Review Film She Said

  1. Pingback: 10 Film Mancanegara 2022 Pilihan | Notes of Hobbies

Leave a comment