Review Film Aku Tahu Kapan Kamu Mati: Desa Bunuh Diri

Cerita horor Wattpad yang ternyata ada lanjutannya

Hal pertama yang saya lakukan sebelum menulis ulasan ini adalah membaca ulasan saya tentang Aku Tahu Kapan Kamu Mati (2020). Selain berbagai kekurangannya, saya pun teringat akan dua hal. Pertama, film tersebut adalah film horor terakhir yang ditayangkan di bioskop sebelum masa pandemi. Kedua, saya menyebut film tersebut memiliki tiga genre: horor, drama, dan komedi. Sebuah kesan yang agak mengagetkan karena sekuelnya, Aku Tahu Kapan Kamu Mati: Desa Bunuh Diri tampil lebih serius.

Siena (Natasha Wilona) kini sudah berkuliah dan memiliki dua sahabat, Windy (Marsha Aruan) dan Rio (Giulio Parengkuan). Namun, kemampuannya untuk melihat tanda kematian orang lain masih ada dan membebani dirinya. Karena hal tersebut lah dia kerap berkonsultasi dengan Naya (Acha Septriasa), psikolog yang merupakan seniornya di kampus. Di suatu malam, Siena menyaksikan sebuah kejadian bunuh diri tetapi dirinya tidak bisa melihat penampakan yang menandakan kematian sang korban. Pelaku bunuh diri tersebut ternyata kerabat Naya dari desa yang sama, yang membuat Naya esoknya ikut mengantar pulang jenazahnya. Kepulangan Naya membuat Siena khawatir karena Siena mendapatkan firasat buruk tentang Naya. Oleh karena itu, Siena beserta kedua sahabatnya mendatangi Desa Remetuk, kampung halaman Naya yang terkenal akan kualitas berasnya.

Desa Bunuh Diri tampak mencoba naik kelas dengan menggaet sutradara dan penulis naskah yang baru, Anggy Umbara dan Lele Laila. Tidak hanya itu, cerita yang dikemasnya lebih fokus pada drama, tidak ada sisipan komedi yang dipaksakan. Dilihat dari jajaran cast-nya pun, film ini diramaikan oleh nama-nama yang lebih besar seperti Acha Septriasa, Ratu Felisha, Pritt Timothy, hingga Jajang C. Noer. Nama-nama tersebut menghadirkan penampilan dramatis berdasarkan porsi masing-masing, sedikit mengangkat kualitas filmnya secara keseluruhan.

Saya suka bagaimana naskahnya memberikan callback dari film pertamanya terkait bagaimana Siena bisa mendapatkan kelebihannya. Hal tersebut merupakan kelebihan minor yang membantu penontonnya yang malas mengingat detil karakter dari film pertamanya. Namun, sesuai dengan genrenya, kelebihan utama dari film ini terletak pada elemen horornya. Tragedi yang disajikan Anggy pada adegan pembukanya lebih brutal, sebagaimana kesukaan dirinya dalam menyipratkan darah. Berbagai penampakan yang dilihat Siena tampak lebih berkonsep dan menyeramkan, berbeda dengan arwah-arwah pada film pertamanya yang terbilang hanya setor muka.

Cerita pada film ini mengemas sebuah pesan yang cukup penting perihal pencegahan bunuh diri. Tujuan Naya menetap di desanya juga adalah demi men-tackle isu tersebut dengan caranya sendiri. Karena memang banyak kejadian bunuh diri yang dilakukan penduduk desanya. Salah satu upaya pencegahannya adalah untuk tidak membiarkan orang yang kita duga akan bunuh diri tinggal sendirian. Imbauan tersebut menciptakan sebuah pantangan bagi penduduk desa untuk tidak beraktivitas sendirian, yang dikembangkan menjadi salah satu rule dari kejadian horor yang disajikan. Sayangnya, upaya Naya terbilang dangkal, fokusnya terbagi pada cerita Siena yang lebih mencari penjelasan mistis alih-alih psikologis.

Aturan tentang siapa yang didatangi sang arwah untuk dipengaruhi supaya membunuh dirinya sendiri hadir tidak konsisten. Kadang arwahnya merasuki karakter yang memang memiliki keinginan untuk mati, kadang hadir sesukanya demi sebuah alasan klise: menakuti penonton. Begitu juga aturan yang menjelaskan mengapa Siena tidak lagi bisa melihat tanda-tanda kematian yang seolah lupa untuk dieksplor. Bahkan, di akhir film pun kita tidak bisa memastikan apakah kelebihan Siena tersebut bersifat permanen atau hanya terjadi kala dirinya melihat penduduk desa Remetuk?

Setelah rangkaian adegan pengungkapan misteri medioker (terdiri dari sekuens kilas balik dan protagonisnya yang terang-terangan menyebutkan tindakan yang harus diambil warga desa) pada babak ketiganya, konklusi dari film ini datang meninggalkan kesan tidak memuaskan. Hubungan antar karakternya ditunjukkan begitu subtil, membuat penonton memiliki konklusi masing-masing. Penontonnya akan lupa dengan pesan anti bunuh diri yang semula terlontar. Karena akan ada kesan bahwa perjalanan Siena di desa tempat tinggal Naya adalah sebuah kesia-siaan.

4/10

Leave a comment