Review Film New Normal

Film yang lumayan terlambat masuk bioskop Indonesia

New Normal adalah film mancanegara dari Asia pertama yang saya tonton di bioskop untuk tahun ini. Tanpa pengetahuan apapun tentang filmnya, ternyata karya terbaru dari Jung Bum-shik ini merupakan sebuah antologi yang menceritakan 6 kisah berbeda tetapi saling berkaitan. Tema besarnya sesuai dengan judul yang dipilih sang sutradara, yakni tentang tragedi yang mungkin ditemui ketika menjalani kebiasaan baru pasca pandemi. Benang merahnya adalah rangkaian berita tentang kondisi mental warga Korea Selatan yang menjadi narasi awal di adegan pembukanya.

111 menit durasinya tersusun dari 6 cerita pendek yang terjadi di kota yang sama dalam kurun waktu empat hari. Ada 6 peristiwa mengerikan yang terjadi di latar berbeda dan berhubungan secara tidak langsung. Kronologi detil yang menunjukkan peristiwa mana yang terjadi lebih dulu sudah diberikan dengan jelas di setiap awal segmen, dengan keterangan hari ke-1 hingga ke-4. Kesamaannya, selain memiliki benang merah satu sama lain adalah sebab dari kengerian yang dialami oleh setiap karakternya. Yakni interaksi dengan seseorang yang baru dikenal, baik secara maya ataupun nyata.

Segmen pertamanya hanya diberi judul “M”, mengisahkan Hyeon-jeong (Choi Ji-woo) yang tinggal sendirian di apartemen dan tengah menonton berita. Beritanya tentang kasus pembunuhan seorang wanita yang tinggal sendirian. Berita tersebut tampak membuat Hyeon-jeong cemas, terlebih ketika ia kedatangan seorang petugas reparasi. Sebagai pembuka, segmen tersebut tampil meyakinkan dalam menunjukkan rasa waspada dari Hyeon-jeong dan tabiat sang petugas yang sengaja menakutinya secara nakal. Twist-nya memberikan kejutan yang cukup menyenangkan karena tidak hadir tiba-tiba dan tampak berada di pihak penonton. Hanya saja, perlakuan naskah terhadap korbannya kurang sadis, akan meninggalkan kesan “Eh hanya begitu?” di akhir segmennya.

Segmen kedua dibuka dengan lebih ceria kala menunjukkan Seung-jin (Jeong Dong-won), pelajar SMP yang terbilang anti sosial di mata teman-temannya. Setelah pertemuan dengan sang guru, Seung-jin ingin mencoba menjadi anak yang lebih peduli dengan lingkungan sekitarnya. Angan tersebut ditunjukkan kala dirinya menolong seorang nenek yang kursi rodanya menyangkut di trotoar. Kejutannya sempat tidak terduga apabila kita melihat interaksi antara Seung-jin dengan sang nenek. Namun, mengingat film ini adalah sebuah thriller, twist yang disajikan naskahnya sudah selayaknya ada. Pesan yang ingin disampaikan penulis naskahnya pun jelas, yakni untuk tidak terlalu baik kepada seseorang yang baru kita kenal, siapa pun itu.

Suasana new normal yang menjadi latar dari film ini semakin ditampakkan pada segmen ketiganya. Kita akan bertemu Hyeon-soo (Lee Yoo-mi), wanita yang terbiasa makan di luar sendirian dan memutuskan untuk mencari teman kencan lewat sebuah dating apps. Sebelum memperkenalkan Hyeon-soo, filmnya menampilkan pasangan yang bertemu di tempat makan yang sama dengan Hyeon-soo, yang dipersatukan oleh aplikasi yang sama dengan yang Hyeon-soo gunakan. Ketegangan yang diciptakan naskahnya berasal dari interaksi dengan sosok anonim, yang sejak awal sudah men-tease niat jahatnya. Dalam kejutan berlapisnya, sang antagonis yang terungkap cukup mengingatkan saya pada berbagai sosok Ghostface dalam film-film Scream.

Peristiwa yang terjadi kepada Hyeon-soo langsung ditunjukkan benang merahnya dengan kejadian pada segmen keempat, yang menampilkan Hoon (Choi Min-ho). Berbeda nasib dengan Hyeon-soo, Hoon yang ingin mencari jodoh sekilas terlihat beruntung karena menemukan surat cinta anonim di sebuah vending machine. Ketika mengikuti instruksi surat tersebut, rasa curiga penonton mulai bangkit saat naskahnya menyajikan banyak kebetulan yang mengarahkan bahwa Hoon benar-benar akan menjadi jodoh dari sang empunya surat. Berkaca pada tiga segmen sebelumnya, penontonnya bisa membayangkan tragedi apa yang akan terjadi pada Hoon. Namun, naskahnya lagi-lagi mematahkan ekspektasi penonton dengan menyajikan sebuah tragedi yang berbeda, tetapi masih relevan dengan salah satu isu yang ingin diangkat pada film ini.

Segmen kelima dibuka dengan ceria kala memperkenalkan Gee-jin (Pyo Ji-hoon), pria yang selalu mengintip seorang wanita cantik di kamar sebelahnya. Segmen ini sebagian besar diisi keseharian Gee-jin beserta pikiran nakalnya terhadap sang tetangga apartemen. Naskahnya cukup runut menunjukkan bagaimana akhirnya ia berani menyusup ke kamar wanita tersebut. Konklusinya tetap berupa sebuah pengalaman horor tak terduga bagi Gee-jin, yang dibandingkan empat akhir kisah sebelumnya memang paling layak ditertawakan.

Benang merah dari cerita pada segmen pertama, ketiga, dan kelima ditunjukkan dengan jelas pada segmen terakhir, yang memperkenalkan Yeon-jin (Ha Da In). Kita akan agak lebih lama melihat keseharian Yeon-jin sebagai kasir paruh waktu yang membenci orang lain. Sikap tersebut tumbuh karena dirinya kerap berhadapan dengan pelanggan yang menyebalkan. Bahkan, ia menyumbang ide sadis untuk menghilangkan jejak korban pembunuhan lewat sebuah forum daring. Teror yang ia terima mirip dengan tragedi pada segmen ketiga karena sama-sama berasal dari seseorang yang pernah berinteraksi dengannya secara anonim. Pada segmen ini, benang merah terhadap tragedi lainnya tidak lagi ditunjukkan lewat sebuah easter egg saja. Hubungan antar peristiwa dari segmen-segmen sebelumnya hadir lebih jelas bagi penonton yang sudah melupakan detil adegan pada menit-menit sebelumnya.

Treatment yang diberikan sang sutradara dalam memperlihatkan nasib akhir para korban kurang lebih sama. Scoring komikal beserta slow motion yang menunjukkan ketidak berdayaan para korban menegaskan kesan satir yang ingin disampaikan naskahnya. Penontonnya bisa menertawakan sikap para korban yang terlalu bodoh untuk terjebak dalam bahaya. Di sisi lain, bahaya serupa ternyata dekat dengan kita yang semakin sering berinteraksi dengan orang-orang baru dari berbagai asal.

6.5/10

Leave a comment