Review Film Glenn Fredly: The Movie

Salah satu musisi terbaik Indonesia yang “dihidupkan” kembali

Di tahun 2020 lalu Indonesia kehilangan salah satu musisi berbakat nan berkharisma, Glenn Fredly. Kepergiannya menyisakan rasa kehilangan bagi setiap penikmat musik Indonesia sejak tahun 2000-an. Sebuah peristiwa mengharukan, baik untuk penggemarnya maupun bukan. Di tahun ini, sosok Glenn Fredly seolah dihidupkan kembali oleh seorang Marthino Lio, lewat sebuah film biografi karya Lukman Sardi. Uniknya, naskah yang ditulis Raditya Mangunsong mengambil langkah yang berbeda dari film-film biografi kebanyakan. Yang mana bagi saya ada kelebihan dan kekurangannya sendiri.

Alih-alih kisah sang bintang sejak kecil, film ini dibuka dengan sebuah wawancara radio ketika Glenn sudah menjadi musisi yang memiliki dua album. Dalam wawancara tersebut, disinggung tentang konflik yang tengah dialami warga Ambon, kampung halaman dari Glenn, yang langsung diikuti sebuah peristiwa tragis. Ketika hadir untuk menghibur jemaat salah satu gereja di Ambon, Glenn menyaksikan salah satu penggemarnya yang muslim, yang baru menghampirinya, tewas berkat sebuah kerusuhan. Sejak saat itu, Glenn pun bertekad untuk turut memperjuangkan perdamaian antar umat lewat suara dan popularitasnya.

Itu lah perbedaan Glenn dengan musisi lainnya yang coba disorot oleh naskah dari Raditya. 109 menit filmnya didominasi aktivitas Glenn dalam berbagai aksi di bidang sosial hingga lingkungan. Jika film ini dirilis untuk mengemas visi perdamaian dari sang produser, upaya tersebut cukup berhasil. Plotnya sendiri cepat berpindah dari satu aksi yang diikuti Glenn ke aksi yang lainnya, diselingi konflik kepentingan yang dialaminya bersama sang manajer dan sahabat. Konfliknya pun realistis karena membenturkan idealisme Glenn yang percaya bahwa musik dapat membawa perdamaian dengan kebutuhan komersil industri yang dinaunginya.

Sisi personal dari Glenn tentu ikut disorot. Awal perkenalan Glenn dengan musik pun tak luput diangkat lewat sebuah alur mundur. Hanya saja, potongan cerita hidupnya yang “dianggap menarik” malah tampak mendistraksi plot yang selaras dengan misi dari film ini. Muatan dari narasinya pun cenderung negatif demi menegaskan konflik utama yang pernah dilalui sang musisi. Bahwasanya sinar seorang Glenn malah membakar orang-orang di dekatnya. Yang paling disayangkan, kisah cinta Glenn bersama ketiga wanita yang pernah mengisi hidupnya dipaparkan secara melompat-lompat dan sangat cepat. Contohnya seperti kebersamaan dirinya dengan Dewi (Sonia Alyssa) yang kehidupan pernikahannya sangat kontras dengan masa pendekatannya. Kisah manisnya dengan Mutia (Zulfa Maharani) pun akhirnya tampak sangat ajaib. Perlu beberapa scene yang lebih natural untuk memperkuat gambaran cinta mereka sejak diawali sebuah meet cute yang tidak cute. Apalagi ketika akhirnya dirinya bisa menyimpulkan bahwa agama yang dianutnya adalah kemanusiaan. Sementara itu, dinamika hubungan Glenn dengan sang ayah (diperankan Bucek Depp) mendapatkan konklusi yang ternyata bisa merangkum ranngkaian pesan perdamaian yang disisipkan pada film ini. Walau sejak awal film, baik Glenn maupun ayahnya sama-sama sulit menarik simpati penonton.

Sebagai sebuah biografi dari seorang musisi, harus diakui lagu-lagu dari Glenn yang turut disisipkan sukses membuat penontonnya (yang mengalami masa popularitas Glenn) ikut bernyanyi. Beberapa lagu seperti Kasih Putih (yang pantas menggantikan judul official dari film ini) dan Januari diperdengarkan dalam konteks yang tepat dengan potongan cerita dari Glenn yang sedang diperlihatkan. Penonton pun dapat mengira “Oh, jadi begitu awal mula terciptanya lagu tersebut”. Sebagian lagi ditempatkan cenderung acak, tampak hanya sekedar meningkatkan kuantitas lagu berbeda yang diperdengarkan.

Akan ada rasa tidak puas terhadap film ini karena naskahnya tidak melirik hal-hal menarik lain dari seorang Glenn Fredly. Contohnya seperti ketika dirinya menjadi produser film yang membawa pesan ekologis atau mengajak duet pedangdut yang baru dicekal pemerintah daerah dalam lagu terbarunya. Berbeda dengan penampilan sang aktor utama, Marthino Lio yang dapat saya jamin tidak mengecewakan. Sejak adegan pembukanya, dirinya sukses menghidupkan kembali profil dari sang musisi, mulai dari gestur tubuh hingga gaya berbicaranya. Lagu-lagu yang dinyanyikan sang aktor tentu bukan berasal dari suaranya sendiri. Dapat diperkirakan ada rekaman langsung dari Glenn atau voice actor lain. Namun, transisi suara dirinya ketika berdialog seperti biasa dan suara nyanyian yang diputar bisa begitu mulus. Apakah transformasi Marthino kali ini layak berbuah Piala Citra lagi dari tahun ini? Bagi saya, iya.

5.5/10

Leave a comment