Tag Archives: Damn! I Love Indonesia Movies

Review Film Susi Susanti: Love All

Berkat film ini, saya jadi tahu makna “love all” di setiap pertandingan badminton.

Melalui trailer Susi Susanti: Love All, Sim F. berhasil membuat saya terharu ketika menggambarkan kecintaan Susi Susanti akan negerinya, regardless apa yang sedang terjadi di Indonesia kala itu. Pernyataan Susi bahwa dirinya orang Indonesia, walaupun belum resmi diakui oleh negaranya sendiri, adalah momen yang membuat merinding seketika, menyalakan api nasionalisme siapapun yang menontonnya. Dua menit potongan film tersebut cukup untuk mengajak kita untuk tak berhenti menunjukkan cinta pada negara ini, sesuai kapasitas masing-masing.

Susi Susanti kecil (diperankan sangat apik oleh Moira Tabina Zayn) di sebuah perlombaan 17an di Tasikmalaya seharusnya menaiki panggung pentas untuk menari dengan busana balerinanya. Namun ia lebih tertarik untuk menonton kakaknya di pertandingan bulu tangkis, yang menjadi momen awal untuknya mengalahkan sang juara, yang telah mengalahkan kakaknya, kemudian mencuri perhatian pencari bakat. Susi kecil rajin mencatat teknik-teknik dasar bulu tangkis yang ia pelajari dari ayahnya, dan membenci pola latihan yang monoton semasa pelatihan pertamanya. Mendapatkan kesempatan lebih dulu dari kakaknya untuk mengikuti pelatihan di Jakarta, Susi berjanji pada ayahnya yang juga mantan atlet bulu tangkis, untuk menjadi wanita pertama peraih medali emas olimpiade.

Menceritakan sisi manusia Susi, film ini mulai menceritakan kisah Susi sejak remaja dan bagaimana ia bisa dekat dengan dunia bulu tangkis. Cerita Susi saat kecil tentu berguna untuk menunjukkan sisi manusiawi Susi, hubungannya dengan keluarganya. Sejak kecil, ayahnya (Iszur Muchtar) sukses menjadi sosok sahabat dan motivator bagi Susi. Interaksi keduanya pada film ini dibawakan dengan manis dan ringan, meninggikan peran seorang ayah dibalik kesuksesan anaknya. Sisi manusia dari Susi dikembangkan juga melalui kisah cinta lokasinya dengan Alan (Dion Wiyoko) selama pelatnas. Terhadap keluarganya, film tak lupa menambahkan interaksi Susi yang sudah mengoleksi banyak medali dengan keluarganya yang cemas dengan situasi negaranya yang sedang tidak memihak warga keturunan Tionghoa. Melalui adegan tersebut, film berhasil berpesan bahwa seturunnya dari podium, derajat setiap rakyat itu sama.

Penceritaan Susi kecil berguna dalam menggambarkan karakter Susi di lapangan juga (kata kunci: menari, split).

Menceritakan Susi sebagai atlet, penulis naskah tahu betul bagaimana menggambarkan perjuangan seorang atlet dan apa yang membuat seorang atlet menjadi juara. Seorang atlet tidak cukup bermodalkan bakat dan kekuatan tetapi juga kedisiplinan dan fighting spirit. Pesan itulah yang sukses disampaikan melalui Rudy Hartono dan kedua pelatih Susi semasa pelatnas, Chiu Sia (Jenny Zhang) dan Tong Sin Fu (Chew Kin Wah). Selain men-highlight Susi Susanti sebagai tokoh utama, film ini juga memberikan perhatian yang cukup untuk menghormati seorang Rudy Hartono, legenda bulu tangkis asal Indonesia, barangkali Johan Cruyff atau Pele-nya bulu tangkis pada zamannya. Kehidupan Susi selama pelatnas tentu tidak sebatang kara. Film juga memberikan penampilan dan karakter dalam taraf yang pas kepada teman-teman seperjuangannya.

Sebagai salah satu nilai jual, drama percintaan Susi dan Alan dikembangkan terlalu cepat. Dalam beberapa adegan kita ditunjukkan sudah sedekat apa mereka, tetapi proses pendekatannya tidak ditunjukkan lagi setelah adegan “melanggar jam malam”. Semakin film menuju akhir, kebersamaan Susi dan alan yang diceritakan semakin kekurangan rasa. Di antara keduanya, konflik yang diceritakan pun seputar prestasi mereka dan masalah para tokoh keturunan dalam mendapatkan SBKRI. Sulitnya mereka untuk “diakui” negara pun hanya berdasarkan pernyataan, jarang ditunjukkan sulitnya proses yang mereka lalui.

Harus berbagi durasi dengan plot romansa kedua pemeran utama dan kondisi Indonesia pada saat itu, sejak pertengahannya film semakin mengurangi adegan yang berhubungan dengan pertandingan bulu tangkis yang dilalui. Padahal film sempat membuat reka ulang salah satu pertandingan Susi yang disajikan tetap menegangkan walaupun kita sudah mengetahui akan bagaimana akhir pertandingannya. Selain penggambaran pertandingan yang sedang berlangsung, suasana bangku penonton pun digambarkan cukup realistis. Sejak reka ulang pertandingan tersebut, kita akan semakin sedikit melihat Susi dan teman-temannya bertanding. Dalam menceritakan keberhasilan kontingen Indonesia, film menceritakannya secepat hanya menunjukkan medali demi medali yang mereka dapatkan. Itulah yang terjadi ketika film semakin mendekati akhir tetapi masih memiliki banyak hal yang ingin diceritakan pada sisa waktunya.

Latar waktu paruh kedua film adalah masa orde baru tahun 1990an, ketika Indonesia sudah mengalami berbagai krisis. Untuk mendeskripsikan suasana tersebut Sim F. tidak mengambil cara ekstrem dalam menunjukkan betapa mengerikannya kerusuhan dan polemik politik yang terjadi. Film cukup menunjukkan bahwa usaha bakpao keluarga Susi sedang tidak laku dan mereka khawatir akan adanya kerusuhan yang mengancam nyawa mereka. Narasi yang cukup meyakinkan bagi penonton. Terhadap Susi dan kontingen Indonesia lainnya, dampak kerusuhan yang tengah terjadi di Indonesia kurang berasa. Bagi mereka, dampak tersebut hanya disisipkan sebagai pressure tambahan bagi para atlet di dalam lapangan. Selain pernyataan Susi yang mengobarkan api nasionalisme penonton ketika diwawancarai, film tak menggambarkan dampak pernyataan Susi tersebut kepada atlet Indonesia lainnya. Sekali lagi, film hanya menunjukkan hasil akhir dari pertandingan yang dilalui, hampir tanpa reka ulang pertandingan, dan makin kehilangan rasa.

Frasa “Badminton bisa mempersatukan negara” sukses ditunjukkan oleh film ini. Saya sangat menyukai bagaimana Sim F. menggambarkan situasi seluruh rakyat Indonesia ketika menonton pertandingan Susi dan kawan-kawannya. Semua perhatian tertuju pada pertandingan yang sedang dilalui Susi, semua mendoakan untuk kemenangan Susi, semua bersorak atas kemenangannya. Penggambaran suasana ini lebih berhasil dibandingkan penggambaran krisis yang sedang dialami Indonesia pada saat itu.

Jika film ini berakhir saat Susi mendapatkan medali emas pertamanya, saya akan memberikan nilai 8.5 untuk film ini. Sayang sejak titik tersebut film berlanjut dengan menceritakan banyak peristiwa dalam sisa waktu yang minimum, sehingga setiap adegannya kurang diberikan rasa. Bahkan peristiwa yang hanya diceritakan lewat tulisan di akhir film pun masih relatif banyak. Akhirnya saya hanya akan memberikan nilai 6.5 dari 10 untuk film ini.