Tag Archives: Fajar Nugros

Review Film Sleep Call

Benarkah film ini untuk generasi pelaku sleep call?

Tahun lalu, Fajar Nugros berhasil menyutradarai sebuah horor slow burn yang mengangkat kepercayaan akan hari Rebo Wekasan dengan premis tentang perempuan yang hamil di luar nikah. Di tahun ini, Fajar menghadirkan Sleep Call, yang tokoh utamanya juga seorang perempuan. Dari materi promosinya, ada dua daya tarik utama yang membuat saya cukup menyesal karena tidak bisa menontonnya di hari pertama penayangannya. Pertama, dialog “Anjing!” dari Laura Basuki yang belum diketahui konteksnya. Kedua, judul dari filmnya sendiri yang familiar bagi para pengguna sosial media di masa kini.

Continue reading

Review Film Inang

Salah satu film horor dengan babak pertama yang kuat

Inang layak menjadi salah satu milestone dari karir penyutradaraan Fajar Nugros karena menjadi film horor pertama dirinya. Setelah bereksperimen menyisipkan adegan horor-komedi dari film-film terakhirnya, seperti keempat film Yowis Ben dan Srimulat: Hil yang Mustahal – Babak Pertama, Fajar akhirnya memiliki kesempatan untuk menciptakan film horornya sendiri. Meski demikian, bagian terbaik dalam film ini tetaplah porsi drama yang menunjukkan kesulitan yang dialami protagonis kita. Bagaimana?

Continue reading

Review Film Srimulat: Hil yang Mustahal Babak Pertama

Sebuah biopik yang benar-benar hanya babak pertamanya

Sebagai sebuah disclaimer awal, saya adalah penonton yang semasa kecil tidak pernah menonton pertunjukan grup lawak Srimulat baik secara langsung maupun dari TV. Apalah saya yang ketika kecil hanya gemar menonton kartun dan acara kuis. Meski demikian, saya tetap mengenali beberapa aktor yang pernah tergabung dalam Srimulat, dan setidaknya ciri khas mereka masing-masing. Namun, ternyata Srimulat: Hil yang Mustahal – Babak Pertama merupakan sebuah tontonan yang akan sukses menghibur generasi manapun, termasuk saya yang minim pengetahuan akan grup yang didirikan Teguh Slamet Rahardjo tersebut.

Continue reading

Double Review: Yowis Ben 3 dan Finale

Cerita penutup yang ternyata dibagi dua

Suasana pandemi yang menimbulkan ketidakpastian di tahun lalu membuat berbagai film Indonesia yang berencana tayang di bioskop batal tayang. Ada yang masih enggan dirilis oleh pihak rumah produksi, ada pula yang menyerah untuk ditayangkan di berbagai layanan streaming. Saya tidak tahu apakah Yowis Ben 3 termasuk salah satu film yang menjadi korban ketidakpastian pandemi tahun lalu. Yang pasti, alih-alih merilis film baru, franchise Yowis Ben tahun lalu dilanjutkan dengan sebuah series yang dapat ditonton di WeTV/iFlix, yang merupakan prekuel dari film pertamanya. Yang saya sayangkan adalah, Yowis Ben: The Series sempat menciptakan inkonsistensi untuk plot awal mula persahabatan antara Bayu (Bayu Skak), Doni (Joshua Suherman), Nando (Brandon Salim), dan Yayan (Tutus Thomson). Namun, series tersebut tetap memiliki sebuah plot penting yang akan memiliki benang merah dengan cerita pada Yowis Ben 3 dan Yowis Ben Finale.

Continue reading

Review Film Aku Cinta Kamu (2014)

Film omnibus lain dari Indonesia, tentang ungkapan “Aku Cinta Kamu”

Aku Cinta Kamu (2014) adalah satu lagi film omnibus tentang percintaan yang tayang di kanal Youtube Starvision Plus pada 8 Januari 2021 lalu. Kisah yang diangkat pada keempat segmen yang ditayangkan, bisa dibilang merupakan visualisasi dari empat lagu ciptaan Piyu, yang masing-masing juga menjadi judul dari setiap segmen. Piyu sendiri juga turut menyutradarai segmen keempat dari film ini, dan ikut muncul sebagai kameo di dalamnya.

Continue reading

Review Film Generasi Micin (2018)

Apakah film ini benar bercerita tentang generasi kini, Generasi Micin?

Cerita pada Generasi Micin (2018) tidak dibuka dengan pengenalan karakter utamanya, Kevin (Kevin Anggara), melainkan ayahnya, Anggara (Ferry Salim). Dikisahkan Anggara adalah pedagang yang bekerja keras. Ketika menikah, ia menjanjikan ruko mewah pada istrinya (Mellisa Karim), yang belum terwujud hingga masa kini. Cerita kemudian beralih ke masa kini, menunjukkan Kevin yang membawa karakter generasi kini (kelak disebut generasi micin) yang enggan bersosialisasi dan banyak menghabiskan waktu di depan game dan komputer. Film pun turut memperkenalkan Trisno (Morgan Oey), paman Kevin yang diceritakan berasal dari generasi 90-an yang sebenarnya pintar tapi lamban. Mengumpulkan ketiga tokoh tersebut, tujuan film membandingkan generasi kini dengan generasi orang tua kita sudah tercapai, tetapi hanya sebatas permukaan. Bergulir ke babak keduanya, film ini seolah tidak jelas tujuannya ingin bercerita tentang apa dan berhenti membandingkan ketiga generasi yang diwakilkan ketiga tokoh tersebut.

Continue reading

Review Film Melodylan (2019)

Inikah pengawal tren film adaptasi cerita Wattpad?

Hari ini saya mengetahui bahwa kanal Youtube MD Entertainment juga menyediakan beberapa filmnya untuk ditonton secara gratis selama masa Stay at Home ini. Salah satu film yang tersedia adalah Melodylan, yang tahun lalu banyak dikaitkan dengan Dilan 1991 karena kemiripan judulnya. Padahal antara trilogi Dilan dan film ini tidak ada hubungannya sama sekali, judulnya pun tak sengaja mirip. Bagi yang tertarik untuk menontonnya, bisa langsung cek link berikut selagi masih ada.

Continue reading

Review Film Cinta Brontosaurus (2013)

Salah satu drama galau suka-suka Raditya Dika

Cinta Brontosaurus, adaptasi buku berjudul sama dari Raditya Dika, dijadikan sebuah film di tahun 2013. Seperti bukunya, filmnya menceritakan pengalaman cinta Radit sendiri yang memerankan Dika. Kali ini dikisahkan Dika adalah penulis novel yang sulit untuk menjalin hubungan dalam waktu yang lama. Terakhir kali, ia putus dengan Nina (Pamela Bowie). Semanjak itu, Dika percaya bahwa cinta adalah perasaan yang bisa kedaluwarsa.

Continue reading

Review Film Yowis Ben 2

Para personil Yowis Ben dengan pasangan (baru)nya masing-masing.

Tahun lalu ada sebuah film drama komedi dengan 90% dialognya berbahasa Jawa. Faktor bahasa tersebut lantas menjadi keunikan tersendiri yang berhasil membekas bagi para penontonnya yang hampir berjumlah satu juta. Bayu Skak dan bahasa daerah yang mendominasi adalah kunci bertahannya film ini di saat Dilan 1990 dan Black Panther sedang menguasai jaringan bioskop se-indonesia. Berkat keberhasilan film ini, dibuatlah sekuel film tersebut pada tahun berikutnya, Yowis Ben 2.

Yowis Ben 2 mengisahkan para personil band, yang mendapatkan nama band mereka secara tak sengaja ini, sudah menyelesaikan masa studinya di jenjang SMA. Kehidupan setelah masa sekolah ini lah yang menjadi intro bagi permasalahan baru untuk masing-masing personil, secara umum merupakan premis awal yang ditawarkan film. Film memulai ceritanya dengan pendistribusian masalah personal bagi keempat mereka. Bayu (Bayu Skak) ditinggal kekasihnya, Susan (Cut Meyriska) kuliah ke Jerman. Alhasil Susan pun keluar dari jajaran tokoh utama pada film ini. Nando (Brandon Salim) khawatir dengan kedekatan ayahnya dengan seorang penyanyi dangdut. Yayan (Tutus Thomson), personil paling saleh, memilih untuk ta’aruf lalu memulai rumah tangga muda dengan Mia (Anggika Bolsterli). Sedangkan Doni (Joshua Suherman), konfliknya tidak terlalu diekspos karena film kemudian mencoba memusatkan konflik pada Bayu yang juga menghadapi permasalahan mengenai keluarga dan masa depan band-nya.

Merasa butuh penghasilan dan reputasi yang lebih besar, para personil Yowis Ben berhenti tampil di acara-acara yang agaknya kurang tepat sasaran dan berniat meninggalkan monecot manajer mereka. Terlebih lagi mereka telah bertemu calon manajer baru, Cak Jim yang hendak melambungkan nama mereka. Akan kemana karakter Cak Jim ini kedepannya sudah mudah diprediksi sejak awal. Plot ini pun digunakan untuk mengembangkan cerita yang telah dibangun pada film pertamanya, sekaligus melebarkan latar film ke luar kota Malang.

Film membawa narasi Yowis Ben mencari popularitas di kota Bandung, yang artinya lanjut bercerita sambil memperkenalkan latar Bandung itu sendiri. Maka kita akan sering mendengarkan dialog bahasa Jawa dan Sunda yang alternating. Hampir semua lawakan pun disampaikan secara bergantian dalam kedua bahasa tersebut, termasuk lawakan karena roaming yang dialami para tokoh utama. Dengan demikian film mendapatkan formula tambahan untuk menyampaikan jokes mereka. Efek sampingnya, fokus film mulai babak kedua terbagi dan tidak hanya mengeksplorasi penyelesaian konflik yang sudah didistribusikan di awal. Setelah cukup lama mengeksplorasi kehidupan para tokoh di Bandung, konflik percintaan pun kembali ditambahkan, kali ini antara Bayu si tokoh utama dengan Asih (Anya Geraldine).

Sisa durasi menuju konklusi film terbagi dengan menceritakan perjuangan Yowis Ben di Bandung dan upaya Bayu dalam mencuri perhatian Asih (dan ayahnya). Karena masing-masing mendapatkan durasi yang sedikit, kedua plot tersebut diceritakan dengan sangat cepat tanpa pengembangan karakter yang kuat. Keduanya bersinggungan kembali pada konflik utama yang mirip dengan konflik pada film sebelumnya di mana band mereka kembali retak. Jika pada Bohemian Rhapsody diceritakan Queen yang mengalami keretakan karena Freddy yang bersolo karir, maka pada Yowis Ben 2 keretakan band disebabkan perbedaan kepentingan antar anggotanya. Film pun berhasil menggambarkan bagaimana para personil mengesampingkan jati diri band mereka dan dihadapkan pada pilihan antara idealisme dan jaminan kesuksesan. Setiap konflik yang terjadi kembali menunjuk Bayu sebagai tokoh yang paling bersalah. Namun rasa simpati penonton tidak seluruhnya untuk Bayu, tetapi juga pada teman-temannya yang ditinggalkan, terutama Yayan yang segera menjadi seorang bapak. Di saat konflik yang dibebankan pada Bayu sedang panas-panasnya, film justru malah menyisipkan plot twist yang menjamin bahwa film akan berakhir dengan happy ending.

Dari segi tokoh, film memiliki tokoh yang terlalu banyak dan beberapa di antara mereka muncul pada film secara tak terduga. Akhirnya film terkesan ambisius dalam menjadi film yang bertabur bintang. Akhirnya lagi film menjadi terlalu ramai berkat tokoh-tokoh dari berbagai kalangan seperti Siti Badriah, Timo Scheunemann, Gading Marten, Andovi dan Jovial Da Lopez, hingga Ridwan Kamil yang rajin menjadi kameo di film-film Indonesia yang “potensial”. Bahkan saat beberapa cast serial Preman Pensiun muncul, saya sempat berpikir apakah mereka salah masuk film? Apakah mereka pindah film karena tidak dapat panggung di film Preman Pensiun yang lalu?

Secara keseluruhan, film ini berakhir dengan kurang mengesankan. Baru pada akhir film kita diingatkan kembali akan alasan Bayu ingin kembali sukses. Soundtrack baru yang dibawakan pada film pun tidak berhasil menjadi lagu yang se-memorable Gak Iso Turu. Kesimpulan film pun sudah tergambarkan pada poster film ini di mana setiap personil memiliki pasangan masing-masing dan Bayu berhasil move on karena menemukan Asih yang mana hubungan mereka berkembang begitu pesat pada film.

Yowis Ben will return

Akhir kata saya memberikan nilai 6 dari 10 bagi film, yang menurut saya akan lebih baik jika ditayangkan sebagai komedi serial di TV atau streaming platform seperti HOOQ. Dengan demikian, film akan mendapatkan lebih banyak durasi untuk mengeksplor segala unsur pada film ini, mulai dari Bandung hingga kehidupan Marion (Laura Theux).