Tag Archives: Open Door

Review Film Incredible Love

Wow, ternyata kita sekarang punya film tentang broker saham.

Akhir-akhir ini cukup banyak orang di sekitar saya yang tertarik untuk belajar saham, setiap hari memantau portofolio yang dimilikinya. Sejak beberapa minggu yang lalu, tren beli saham pun menyerupai tren jual beli ikan cupang atau batu akik pada beberapa tahun yang lalu. Entah kebetulan atau tidak, di Disney+ Hotstar pun kini ada sebuah film Indonesia yang memiliki tokoh utama seorang pialang saham. Incredible Love, ternyata juga merupakan adaptasi novel berjudul sama karangan Hendra Martono, yang juga seorang pakar di bidang pasar modal. Hendra pun mengisi kursi sutradara dan produser sekaligus pada film yang diangkat dari novelnya ini.

Continue reading

Review Film Kelam

Melihat anak kecil dan boneka kelinci, apakah kamu ingat Belenggu?

Beberapa bulan lalu, Aura Kasih bermain dalam film horor yang cukup baik tetapi kurang dipromosikan, Pintu Merah. Mengingat hal itu, saya langsung penasaran dengan penampilannya dalam film horor terbaru produksi Open Door Films. Tentu saya mengekspektasikan kualitas cerita sebaik naskah dalam Pintu Merah dalam film ini. Lalu, apakah film ini benar sebaik Pintu Merah?

Kelam menceritakan Nina (Aura Kasih) dan anaknya, Sasha (Giselle Tambunan) yang harus pindah sementara ke rumah ibunya Nina karena sang ibu sedang sakit. Di rumah ibunya, Nina juga tinggal bersama Fenny (Amanda Manoppo), adiknya. Kejadian aneh menimpa Sasha sejak ia pindah, membuat penyakit jantungnya kambuh. Untung Sasha mendapatkan donor jantung dari seorang anak bernama Tiara. Anehnya, setelah kembali pulih Sasha bertemu dengan teman khayalannya dan hal-hal mistis mulai dialami di rumah mereka. Yang sempat mencuri perhatian yaitu tokoh Sasha yang sekali berubah kepribadian seolah sedang dirasuki, ditunjukkan perubahannya bertutur kata, nyatanya tidak.

Kejutan tanpa scoring penyayat telinga ini sesungguhnya juara.

Film diawali dengan mimpi Nina yang ternyata adalah kunci dari misteri yang meneror keluarganya di sepanjang film. Sejak mimpi tersebut, film tampak apik dalam menanam satu persatu petunjuk akan asal mula arwah yang muncul. Setiap kali petunjuk tersebut diletakkan, film senantiasa mempersilakan penonton untuk berteori sendiri akan asal mula arwah yang meneror Nina dan keluarganya. Momen-momen kunci seperti ucapan maaf ibunya Nina dan adanya kamar bayi kosong di rumah itu, dijelaskan melalui momen yang pas. Setiap momen kunci dibarengi dengan backstory Nina dan penyelesaian konfliknya dengan ibunya sendiri. Itu menunjukkan konsistensi naskah dalam mengeluarkan benang merahnya berangsur-angsur. Bahkan ketika ada plot yang mematahkan teori/prediksi penonton, film memberikan petunjuk baru yang mempersilakan penonton kembali berteori, hingga memasuki bagian akhir film.

Saya yang menyaksikan peran Aura Kasih sebagai Aya dalam Pintu Merah cukup kecewa dengan perannya sebagai Nina pada film ini. Karakter Nina cukup berbeda dibandingkan Aya. Ia digambarkan sebagai seorang yang kurang open minded, ia mendapatkan porsi sebagai seseorang yang bersikeras tidak mempercayai hal mistis pada film horor serupa. Ia kurang reaktif atas segala hal aneh yang menimpanya, seakan menganggap semua angin lalu. Karakter Fenny dibuat lebih open minded, yang lebih sering menguak misteri pada film.

Pendeknya durasi film membuat beberapa plot disajikan secara terlalu pendek. Film seringkali berpindah suasana, lupa meninggalkan konklusi akan adegan-adegan menyeramkan yang disajikan. Untuk sebuah film yang berdurasi 75 menit, saya cukup kaget ternyata time scope cerita dari film ini bisa sampai 2-3 bulan. Film pun lupa untuk membuktikan temuan kunci yang digunakan untuk mengembangkan cerita, seperti bukti bahwa boneka Tiara tetap ada di atas kuburannya, atau kapan pertama kali Sasha ketahuan mengobrol sendiri.

Sebagai sebuah film horor, Kelam tidak jauh dari kriteria film-film horor lokal papan menengah kebawah. Hal pertama yang janggal adalah setting rumah keluarga Nina sendiri, yang membiarkan sang ibu yang sakit tinggal di kamar yang paling susah dilalui dan relatif berbahaya (diapit balkon dan tangga). Untuk menambah kesan seramnya, film memberikan jumpscare salah guna, membiarkan si hantu kecil menghantui orang yang tak bersalah, Fenny. Tujuan si hantu ini sebenarnya jelas, tetapi sebab akibatnya dibuat tak konsisten. Apakah si hantu cilik ingin membalas dendam, mencari teman, atau mencari ibunya? Jika ingin membalas dendam, tentu ia tak harus menunggu Nina dan Sasha pindah ke rumah itu. Jika ingin mencari ibunya, mengapa ia tidak menghantui Nina sejak awal? Film menjawab perihal motif si hantu di akhir film dengan lebih membingungkan, dengan membiarkannya tetap menghantui walaupun asal usulnya sudah terkuak. Bahkan bagi saya tragedi yang dialami Nina dan Fenny di akhir film tidak perlu terjadi.

Efek CGI terhadap hantu pada film ini membuat saya kembali harus mengatakan bahwa Kelam adalah film horor bercitarasa FTV yang ditayangkan kamis malam. Melihatnya, saya menjadi batal takut dan malah ingin menahan tawa. Penampakan sang hantu pun tak konsisten tampilannya dan berlebihan, membuat film berada dalam golongan film horor yang “asal banyak penampakannya”.

Hasil akhir dari Kelam adalah sebuah film horor yang penuh inkonsistensi, termasuk mengenai karakter dan motif si hantu cilik. Side conflict pada film ini pun kurang berasa, karena akhirnya harus diselesaikan dengan campur tangan si hantu alih-alih diselesaikan dengan tokoh manusianya sendiri. Melihat inkonsistensi sana-sini dan kualitas visual penampakan di film ini, saya tak bisa memberikan nilai lebih dari 4 dari 10 untuk film ini.

Review Film Kutuk

Untungnya film ini bukan plagiat dari The Nun

Film yang ternyata diproduseri Shandy Aulia ini menceritakan tentang Maya (Shandy Aulia) yang baru saja bekerja di sebuah panti jompo. Maya akan tinggal bersama suster lain bernama Gendis (Vitta Mariana) yang tampak membencinya, juga Bu Elena (Alice Norin), si pemilik panti. Sejak tiba di kamarnya, Maya mengalami hal-hal aneh dan merasakan keberadaan suster lain selain dirinya dan Gendis. Ia pun semakin ketakutan ketika tahu bahwa seorang lansia yang sebelumnya ia temui malah meninggal dan siap untuk dikebumikan. Merasa ada hal yang tidak beres di panti jompo tersebut, Maya berusaha mencari tahunya mula-mula melalui Reno (Bryan McKenzie), pemuda yang sering membantu di panti.

Sesungguhnya film ini memiliki potensi menjadi film horor yang baik berkat pengambilan gambar dan setup karakter dari Maya. Karakter setiap pemeran utama pun sangat mudah diklasifikasi sejak awal, ada Elena dan Dr. Sean (Stuart Collin) yang sangat ramah pada Maya, ada juga Gendis yang sangat sentimen kepadanya (yang hingga akhir film tidak pernah dijelaskan motif sikapnya pada Maya). Jika film ingin membuat Maya menjadi tokoh yang mengungkap sosok suster misterius yang ia lihat, dengan aspek horor yang proporsional, film ini akan menjadi film horor yang lengkap. Namun dalam mengembangkan ceritanya, sang sutradara lebih memilih memasukkan aspek horor yang cenderung berlebihan. Film horor yang bagus bagi saya bukanlah film horor yang asal menampilkan jumpscare di setiap saat atau menampilkan hantu yang bervariasi. Film horor bagus versi saya adalah yang jelas sebab akibatnya, menakuti seperlunya, dan para pemerannya tidak bersikap bodoh dalam menghadapi teror si setan. Hantu nenek yang mengucapkan “potongin kuku oma” pada trailer tidak begitu berkaitan dengan plot utama film ini, dan hanya tampak sebagai hantu tambahan untuk membuat film tampil lebih seram. Paruh pertama film selesai selayaknya film horor lokal mainstream yang asal banyak elemen horornya dan masih menunjukkan jumpscare basi berupa “ketakutan, padahal hanya mimpi”.

Memasuki paruh keduanya, film mulai membuka rahasia panti tempat Maya bekerja dan dimulai dengan romantisme yang tidak perlu. Perubahan atmosfer dari menyeramkan menjadi menegangkan pada film ditandai dengan character twist dari para penghuni panti jompo. Sejenak film mengesampingkan elemen mistisnya untuk mengungkap rahasia kelam yang melibatkan sosok suster yang menghantui Maya, juga wujud kejahatan sebenarnya yang mengancam para penghuni panti. Mencapai klimaks, penyelesaian dari film ini terbilang mengecewakan. Film seolah terlalu ambisius dalam menampilkan elemen-elemen horor pada babak terakhirnya. Alhasil terlalu banyak horror alternatives yang ditampilkan hanya untuk menyelesaikan satu plot saja, ada adegan kerasukan, mayat bangkit, hingga saling tikam antar tokoh yang masih hidup. Sebagai perbandingan yang mudah, rangkaian adegan tersebut mirip adegan-adegan mencekam yang muncul pada film-film horor produksi Hitmaker, tetapi dieksekusi dengan lebih sederhana. Film pun kembali terjebak dalam mindset “banyak korban, makin ramai”. Pada paruh kedua ini pula lah scene-scene bodoh mulai bermunculan yang diakhiri dengan aftermath yang menggantung. Maksudnya, setelah kejadian paling berdarah pada akhir film, kita tidak tahu pasti apakah orang-orang yang selamat segera membersihkan TKP secara layak dan memanggil polisi, atau malah menutup kejadian tersebut seolah tak terjadi apapun pada malam itu. Scene penutup film ini pun tampak sebagai ending yang tidak perlu.

Meninggalkan lumayan banyak plot hole bukanlah kelemahan utama film ini, melainkan terlalu ambisiusnya film dalam berusaha menakuti penonton. Tanpa mempertimbangkan dialog antar tokoh yang kurang natural pada paruh pertama, dan banyak terpengaruh oleh elemen horor yang terlalu variatif menjelang akhir, nilai yang muncul untuk film ini adalah 3 dari 10.

Review Film Sekte

Satu lagi film horor tentang aliran sesat produksi Indonesia. Akankah sebaik MatiAnak?

Nama Derby Romero di perfilman horor tanah air identik dengan MatiAnak, film horor yang menjadi debutnya sebagai sutradara. Film yang membuatnya disebut-sebut sebagai promising director ini kerap dikaitkan dengan film berikutnya yang ia perankan dan juga ikut tulis naskahnya, Sekte. Film yang kembali bercerita tentang suatu aliran sesat ini, apakah berhasil menakut-nakuti sesukses MatiAnak?

Film ini menceritakan Lia (Asmara Abigail) yang ditolong sekelompok orang dari sebuah kecelakaan. Kecelakaan tersebut tampak menghilangkan ingatan Lia hingga ia pun lupa akan namanya sendiri. Lia pun dirawat hingga pulih dan tinggal bersama dengan orang-orang yang menolongnya di sebuah rumah yang besar namun tertutup dari dunia luar. Dewi (Gesata Stella) yang memimpin kelompok di rumah tersebut mengatakan bahwa rumah yang ditinggali adalah tempat tinggal bagi orang-orang yang sudah tidak diterima lagi di lingkungan luar dan menyarankan agar Lia tetap tinggal bersama mereka. Mulai pulih, Lia pun mulai menemukan keanehan pada rumah yang ia huni dan berusaha untuk kabur keluar rumah. Upaya melarikan diri tersebut berujung pada penemuan bahwa rumah tersebut adalah tempat tinggal suatu sekte sesat yang para anggotanya tidak pernah mampu keluar dari rumah tersebut.

Sejak awal film tampak berhasil dalam membangun rumah yang ditempati para penghuni sekte sebagai rumah yang menyeramkan dan memiliki banyak rahasia. Film seolah menjanjikan pengungkapan setiap rahasia di akhir nanti. Pada ujung paruh pertamanya, film ini mendapatkan momen paling menegangkan di saat salah satu anggota sekte ditemukan bunuh diri dan Lia menemukan berbagai kejanggalan pada rumah itu yang membuat ia ingin segera kabur. Pada saat itulah film juga menunjukkan momen menegangkan lainnya yang mengingatkan kita pada Don’t Breathe. Namun unsur yang digunakan untuk membangun ketegangan ini tampak tidak konsisten apalagi saat film berlanjut hingga akhir. Jati diri dari film ini adalah film horor yang menceritakan suatu aliran sesat, dengan demikian akan kurang cocok jika film ini memunculkan formula jumpscare yang sudah digunakan di film-film horor yang dipenuhi penampakan arwah penasaran.

Dalam membangun ceritanya, film ini memilih cara yang mirip dengan yang dilakukan Mata Batin 2. Masuk pertengahan film, kita seolah dibuat berpikir bahwa kebenaran akan para penghuni rumah tersebut sudah terungkap. Lia yang dikurung di suatu sel ternyata bertemu seorang lelaki yang mengaku sebagai abangnya (Derby Romero) yang menceritakan latar belakang Lia sebenarnya dan bagaimana Lia semula berakhir di sekte tersebut. Tokoh yang diperankan Rizky Nazar yang merupakan daya tarik film ini pun hanya muncul sebagai bagian dari flashback ingatan Lia, sebagai kekasihnya. Setelah disuguhi twist pertama, film pun menambahkan konflik internal pada para anggota sekte yang sebentar lagi akan membangkitkan sosok Bunda yang mereka puja. Bunda di sini digambarkan sebagai makhluk yang tengah sekarat dan membutuhkan tubuh baru untuk ditinggali. Setelah berbagai adegan menegangkan hingga menjelang akhir, film malah ditutup dengan grand plot twist yang cukup membuat kesal. Plot twist terakhir yang dilemparkan film boleh dikatakan mind blowing dan mengagumkan oleh penonton awam mereka. Namun pilihan tersebut justru membuat ketegangan dan pengembangan karakter yang sudah dilakukan sejak awal film menjadi sia-sia. Twist tersebut menjelaskan dengan rinci tentang kebenaran yang sebenarnya pada film, juga tentang yang dialami oleh Lia sendiri. Bahkan saat selesai menonton pun kita akan langsung tersadar bahwa “kecelakaan” yang membuat Lia menjadi amnesia di sepanjang film pun akan berasa janggal ketika kita sudah sampai di pertengahan film.

Jadi, Lia hilang ingatan karena sebelumnya mencoba bunuh diri?

Pada awalnya, film ini tampak bingung ingin menjadi film horor yang seperti apa. Film ini pun diakhiri dengan plot yang membuat bagian awal dan pertengahan film terasa sia-sia. Namun film ini tetap menarik dan layak mendapat tepuk tangan atas isu yang ingin diangkat melalui adegan pemujaan Bunda oleh para anggota sekte tersebut. Ada adegan konflik internal para anggota sekte yang secara tak langsung menyindir orang-orang yang tidak segan untuk mengorbankan apa yang mereka miliki demi kekayaan dan ketenaran yang mereka puja. Contoh sederhananya adalah para milenial yang berkorban uang dan waktu demi recognition dari para followers Instagram mereka. Tokoh Dewi pada film pun sekilas mirip Patrick Star yang pernah berkata “Ingat, pemujaan yang berlebihan itu tidak sehat” di salah satu episode Spongebob Squarepants.

Film ini akhirnya gagal menjadi film yang sebaik MatiAnak yang lebih dulu disutradarai Derby Romero. Rangkuman dari ulasan saya akan film ini adalah sebuah nilai yang bulat, yakni 5 dari 10.