Tag Archives: Rocky Soraya

Review Film Indigo

Film tentang anak indigo lagi?

Selama 11 tahun terakhir, Hitmaker Studios konsisten melahirkan film-film horor mewah yang memiliki premis dramatis. Beberapa judulnya dapat dilabeli sebagai film horor tentang orang kaya. Termasuk di tahun ini, Rocky Soraya melahirkan film tentang wanita yang dapat melihat makhluk tak kasat mata, yang diberi judul Indigo. Secara khusus, premis dari film ini mirip dengan Mata Batin (2017) yang juga disutradarai oleh Rocky. Mengamati fakta tersebut, langsung muncul pertanyaan apakah yang membedakan kedua film tersebut?

Continue reading

Review Film The Doll 3

Sudahkah kalian bertemu boneka Bobby kemarin?

Setelah dua film The Doll (2016 dan 2017) dan satu spin-off berjudul Sabrina (2018), semesta yang diciptakan Rocky Soraya – yang naskahnya juga ia tulis sendiri – masih mengandalkan boneka populer sebagai sumber utama teror yang ia ciptakan. Pada The Doll 3 yang direncanakan sebagai penutup trilogi The Doll, boneka yang laris tersebut dinamai boneka Bobby, yang penampilannya mengingatkan kita pada boneka Chucky. Memiliki sosok boneka seram yang menjanjikan, sayangnya tidak dapat membuat The Doll 3 menjadi penutup yang baik, tentu karena kelemahan naskahnya. Setidaknya, itulah kesan singkat saya yang sudah menanti lama tayangnya film ini, yang terkendala pandemi sejak tahap produksi.

Continue reading

Review Film Sunshine Becomes You (2015)

Film dari Hitmaker yang bukan horor

Hitmaker Studios dan Rocky Soraya. Ketika mendengar dua nama tersebut, film seperti apa yang kalian bayangkan? Horor adaptasi yang penuh adegan sadis? Pada 2015 silam ternyata bukan film yang demikian yang dibuat Rocky, melainkan sebuah drama romansa yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Ilana Tan. Terlepas dari genre yang diusung, film ini tetap memiliki ciri khas seperti film dari Hitmaker Studios lainnya, tampak dari kualitas produksinya yang tampak mahal. Ditambah lagi, proses syuting film ini dilakukan di dua negara, Indonesia dan Amerika.

Continue reading

Review Film Jeritan Malam

Akankah adaptasi cerita ini mengecewakan seperti Keluarga Tak Kasat Mata?

Film adaptasi cerita Keluarga Tak Kasat Mata dua tahun lalu termasuk daftar film horor paling mengecewakan yang pernah saya tonton. Selain banyak plot yang dihilangkan, sang penulis naskah juga lalai dalam menyisipkan pesan moral dari sang pemilik cerita pada filmnya. Tahun ini, sebuah cerita horor yang lebih dulu terkenal di forum yang sama kembali dibuatkan versi filmnya. Ditulis dengan jumlah chapter yang relatif banyak, akankah Jeritan Malam menjadi sebuah cerita adaptasi yang sukses? Sayang saya tidak bisa menilainya karena sebelumnya saya tidak pernah membaca satu bagian pun dari cerita Jeritan Malam yang ditulis sejak tahun 2015 silam. Dengan demikian saya akan mengulas film ini sebagai sebuah film yang utuh.

Jeritan Malam berisi cerita pengalaman Reza (Herjunot Ali) sejak kelulusannya dari kampusnya. Ia menganggur cukup lama sebelum mendapatkan pekerjaan yang mengharuskannya merantau ke Jawa Timur dari Jakarta. Pekerjaan tersebut praktis membuatnya harus berpisah dengan orang tuanya, juga kekasihnya, Wulan (Cinta Laura). Berkaitan dengan tema pada film ini, sejak awal kita sudah ditunjukkan watak Reza yang tidak percaya hal-hal berbau mistis karena tragedi di masa lalu. Ia yakin setiap takhayul dapat dijelaskan dengan logika dan setengah hati menerima jimat yang diberikan ayahnya sebelum pergi dengan kereta. Sesampainya di tempat Reza bekerja, kita akan berkenalan dengan Indra (Winky Wiryawan) dan Minto (Indra Brasco) yang akan menjadi teman se-mess dari Reza. Sepanjang film pun kita akan disuguhi misteri di mess tempat tinggal mereka bertiga yang juga dijaga oleh Pak Dikin (Fuad Idris), dimana semua penghuni kecuali Reza sudah terbiasa dengan gangguan mistis seperti terdengarnya jeritan misterius saat tengah malam dan hantu yang terkadang menyerupai sosok salah satu dari mereka. Reza yang merasa tidak percaya dunia gaib pun tentu tidak percaya dengan kejadian-kejadian yang pernah dialami oleh kedua temannya.

Bagi para penonton yang sudah percaya akan adanya dunia mistis, karakter Reza akan dinilai sebagai sosok yang sangat menyebalkan. Ia benar-benar menolak untuk mempercayai hal mistis yang ia alami atau dengar, bahkan meremehkannya. Ketika mata batinnya sejenak dibuka, ia malah merasa baru dihipnotis oleh orang pintar yang hendak menyelamatkan para penghuni mess. Bahkan ketika temannya dihantui di hutan hingga tak sadarkan diri, ia malah menyalahkan racun tumbuhan di hutan. Terhadap peristiwa seram di mess tempat tinggal Reza, film pun melibatkan sebuah tragedi yang dialami Wulan dalam rangka membuat Reza penasaran akan apa yang dahulu terjadi di tempat tinggalnya. Ketika kita dibuat kesal dengan skeptisnya Reza, terkadang kita pun akan berhasil dibuat tertawa oleh suasana ketakutan kedua penghuni lainnya, terutama Minto.

Kita akan sedikit dibuat kaget ketika film ini menunjukkan adegan-adegan seramnya. Meski demikian penampilan makhluk-makhluk seram di film ini cukup konsisten dan meyakinkan. Walaupun demikian saya tetap kecewa berat dengan CGI penampakan makhluk-makhluk kecil di hutan yang membuat saya bertanya “Apakah itu dark mode dari Upin dan Ipin?” Selain menceritakan pengalaman horor yang dialami Reza, film pun sedikit mengangkat fenomena penglaris makanan di awal film, yang pada bagian akhir turut menjadi bagian dari konklusi film.

Keseluruhan film sesungguhnya adalah pengalaman pribadi Reza menuju versi dari dirinya yang mempercayai adanya dunia gaib. Dengan demikian film agak mengesampingkan beberapa misteri yang tak terjawab seperti asal usul jimat yang diberikan oleh ayah Reza dan apa yang pernah terjadi di tempat tinggal Reza. Bagi penonton yang mengharapkan film akan mengungkap sejarah dari para arwah yang menggentayangi, tentu akan keluar bioskop dengan rasa tidak puas. Film pun tidak mengambil sudut pandang lain seperti ritual apa yang direncanakan oleh sang dukun terhadap Reza, apakah tipu daya atau ada salah paham? Terhadap teman-teman Reza pun, mengapa mereka tidak berusaha mencari tempat tinggal lain jika sudah tahu mess mereka berhantu? Apakah kejadian-kejadian di mess juga diketahui atasan mereka?

Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada film disertai narasi yang baik walau terkadang berlebihan. Maksudnya, ada adegan yang cukup ditunjukkan saja tanpa monolog dari Reza. Pesan akhir pada film ini pun tersampaikan dengan cukup baik. Dengan demikian nilai saya untuk film ini tidak terlalu buruk, 5 dari 10.

Review Film Mata Batin 2

Jessica Mila adalah hal favorit saya yang tersisa dari sekuel ini

Film Mata Batin adalah film horor yang menyisip di antara Danur dan Pengabdi Setan sebagai film horor favorit saya sepanjang 2017. Meski tidak sesukses Danur dan Pengabdi Setan dalam mengumpulkan kuantitas penonton, film ini tetap berhasil menjaga reputasi Hitmaker Studios dalam menakuti dan memutar alur pemikiran penontonnya. Berkat kesuksesan itu, Rocky Soraya akhirnya percaya diri untuk merilis sekuel film tersebut di periode penayangan yang salah menurut saya.

Sejujurnya trailer film ini adalah trailer terfavorit saya karena selain menjanjikan teror yang lebih menyeramkan juga cukup berhasil menunjukkan efek visual dan audio yang megah. Ekspektasi saya film akan lebih menyeramkan karena trailer seolah menujukkan “parade hantu” dan kembali mengajak kita berpetualang di dunia arwah versi Mata Batin Universe. Pada trailer pun diberikan premis bahwa film ini menceritakan kisah Alya setelah adiknya, Abel meninggal terbunuh. Alya pun akhirnya pindah ke sebuah panti asuhan yang didalamnya terkurung arwah anak kecil bernama Darmah. Sedangkan pada akhir film sebelumnya, Abel dan Alya menemui arwah wanita bernama Mirah. Pada film ini kita akan bertemu dengan kedua arwah tersebut.

Unsur drama pada film ini lebih menunjukkan kehidupan Alya (Jessica Mila) setelah mata batinnya terbuka dan apa saja yang dapat ia lakukan selain melihat makhluk gaib. Pada film ini juga diperkenalkan Nadia, anak indigo di panti asuhan tempat Alya bekerja, yang menggantikan tokoh Abel pada film sebelumnya. Unsur horor pada film ini pun dimulai dengan Alya dan Nadia yang secara tak langsung berinteraksi dengan Darmah, satu-satunya arwah di panti asuhan tersebut.

Setelah kemunculan Darmah, film hanya berhasil menawarkan adegan-adegan seram yang sederhana dan mudah ditebak, yang kengeriannya hanya bertahan hingga setengah pertama film. Sebabnya adalah, pola film horor khas Hitmaker sudah langsung ditunjukkan secara komplit di pertengahan film. Baru pertengahan cerita, film sudah menunjukkan plot twist yang cukup menjadi alasan mengapa Darmah menghantui panti asuhan tersebut, yang juga mudah ditebak akan berkaitan dengan siapa.

Lengkapnya pola khas Hitmaker hingga pertengahan film ini tidak lantas mengakhiri konflik dan ketegangan film. Film pun lanjut mengungkapkan kebenaran lain perihal Darmah dengan satu siklus pola yang sama lagi. Hanya saja pada paruh kedua film menunjukkan apa saja hal-hal yang dapat dilakukan para pemilik mata batin dalam film, selain melihat hatu tentunya. Termasuk adegan saat dibukanya gerbang neraka yang menurut saya adalah adegan berefek terkonyol pada film ini. Ilustrasi dunia arwah baik dan jahat yang diperkenalkan pada film pertama pun ditunjukkan kembali, dengan melemparkan para pemeran utama ke dunia tersebut. Begitu juga dengan adegan Alya yang kemasukan arwah jahat untuk kedua kalinya. Kombinasi satu paket pola film horor Hitmaker ditambah daur ulang unsur-unsur mistis pada film sebelumnya adalah formula paruh kedua film ini. Namun kombinasi tersebutlah yang mengungkap segala kebenaran yang tertutup pada film secara lengkap, termasuk mengapa Abel terbunuh dan urusannya dengan arwah Mirah.

Secara keseluruhan, film ini gagal meninggalkan kesan mengerikan dan lebih mengeksplor sisi setiap tokoh yang mata batinnya terbuka. Sebagai sebuah film yang berdiri sendiri, film ini tetap berhasil menjadi film horor yang meninggalkan pesan moral. Namun jika melihat film sebelumnya dan film-film horor dari rumah produksi yang sama, film ini menjadi film horor yang membosankan dan ceritanya akan mudah ditebak. Maka itu saya berseru dalam hati “Tidak lagi!” saat melihat akhir dari film ini.

Ibarat makanan, jika Mata Batin adalah sebuah cheeseburger maka Mata Batin 2 adalah double cheeseburger dengan daging sapi dan keju yang lebih kecil pada lapisan keduanya. Oleh karena itu, konsumen yang ingin membelinya akan merasa rugi jika harus membayar seharga double cheeseburger yang biasanya. Akhir kata, saya memberikan nilai 5 dari 10 untuk film ini.