Tag Archives: Timeless Pictures

Review Film Cinta Itu Buta

Di film ini, Dodit paling lucu selama ia bermain film, begitu juga Shandy Aulia tampil paling cantik.

Cinta Itu Buta merupakan adaptasi dari film Filipina berjudul Kita Kita. Saya sendiri belum menonton filmnya dan baru menonton trailer-nya saja sebelum menulis ulasan ini. Jadi apa yang saya ungkapkan tentang film ini, berdasarkan kacamata seorang yang belum pernah menonton Kita Kita. Dengan demikian, ulasan kali ini tidak akan membandingkan kedua film secara head-to-head, dan lebih membahas Cinta Itu Buta sebagai sebuah film yang utuh.

Film ini menceritakan Dyah (Shandy Aulia) yang tinggal di Korea dan bekerja sebagai seorang tour guide. Dyah sudah memiliki kekasih dari Korea, sudah bertunangan, tinggal mempersiapkan hari pernikahannya. Malangnya, tunangannya malah mendua dengan sahabatnya sendiri, benar-benar menghancurkan hatinya. Terbawa stres karena kejadian itu, penglihatan Dyah kabur, membuatnya buta untuk sementara waktu. Nik (Dodit Mulyanto), pria Indonesia, pergi ke Korea memanfaatkan promo besar tiket pesawat dalam rangka move on dari tunangannya, yang juga mendua dengan temannya. Nik pertama kali membantu Dyah berbelanja di minimarket, lalu mengantarkannya pulang. Nik tertarik dengan Dyah, pergi mengunjunginya tiap hari, walaupun direspon secara sinis oleh Dyah yang merasa tidak perlu bantuan apapun. Lama-kelamaan Dyah menerima Nik yang hanya mencari teman mengobrol, yang sudah tahu bahwa mereka sama-sama orang Indonesia. Kebersamaan Dyah dan Nik adalah hari-hari yang menyenangkan, sesama menghibur keduanya, walaupun Dyah belum bisa melihat rupa Nik yang sesungguhnya.

Film ini menjadi hiburan yang sangat tepat bagi para penggemar Dodit. Candaan khasnya selalu membuat saya tersenyum sejak menyaksikannya di OK-JEK dan Cek Toko Sebelah. Kali ini pun Rachmania Arunita berhasil mengeluarkan potensi komedi Dodit secara maksimal. Shandy Aulia pun saya yakin tampil paling cantik dibandingkan tokoh yang ia perankan pada film-filmnya sebelumnya. Ia sukses dijadikan objek gombalan Dodit sepanjang babak kedua film. Berkat penampilan Dodit, kita akan dibuat tertawa terbahak-bahak, termasuk ketika Dyah sedang membayangkan rupa Nik, yang nama panjangnya adalah Nikmatullah. Namun Dodit juga berhasil menjadi sosok polos juga serius bila dibutuhkan naskah. Tanpa dialog, ia berhasil membuat kita tertawa dan bersorak “mampus lo!” ketika berhadapan dengan mantan tunangan Dyah.

Pertemuan Dyah dengan Nik dimulai atas rangkaian kejadian-kejadian serba kebetulan. Saya tampak terheran dengan keputusan luar biasa Nik untuk terbang ke Korea demi melupakan kekasihnya, “Hah, ke korea banget?” Mereka, yang bernasib sama, kebetulan senantiasa dipertemukan naskah untuk saling melengkapi, saling mengisi hari-hari keduanya. Namun film akan mengungkap sebab dari segala kebetulan itu. Nik punya alasan tersendiri mengapa ia begitu mempedulikan Dyah, juga mengapa ia berani menghadapi mantan kekasih Dyah. Melalui pengungkapan ini, film seolah berpesan bahwa kebaikan di masa depan datang atas kebaikan yang pernah kita lakukan di masa lalu. Membawa pesan tersebut, kesan bahwa kebenaran tersebut mudah ditebak sejak awal film dapat dimaafkan.

Menyajikan romansa yang menghibur mulai babak kedua, sebenarnya film ini kurang memberikan rasa. Dyah mendapatkan kembali hari-hari yang menyenangkan semasa divonis buta sementara berkat Nik, pria yang ingin berteman dengannya, pria yang ia kira berdarah campuran karena dipanggil “Nick”. Tentang apakah Dyah langsung menerima Nik setelah ia dapat melihat kembali, film memberikan jawaban termudahnya, tak memberikan drama tambahan untuknya. Babak ketiga film, dimana film harus meninggalkan kesan paling mengharukan, entah mengapa kurang membuat sedih. Mungkin akibat monolog Nik yang jenaka, atau adanya plot yang mudah ditebak. Waktu 86 menit terasa kurang untuk mengenang kemesraan Dyah dan Nik, romantisme mereka tak dapat dibawa pulang dari bioskop. Apalagi film mengakhiri ceritanya dengan scene yang membuat saya berpikir “Cuma gitu aja?”

Minggu lalu terdapat tiga film Indonesia yang dirilis, semuanya kurang berhasil menyampaikan rasa yang ingin disampaikan. Termasuk film ini, dimana komedinya lebih berkesan dibandingkan romansanya, padahal di situs perfilman Indonesia genre film ini dicatat sebagai drama murni. Yang akhirnya hanya dapat saya berikan nilai 6.5 dari 10. Andaikan saya sudah menonton Kita Kita sebelum menonton film ini, mungkin nilai yang saya berikan akan lebih rendah. Karena ketika menonton trailer dari kedua film, saya berpikir “Kok banyak adegan yang mirip?” dan “Kok banyak adegan yang cuma di-translate?”