Review Film Ku Tak Percaya Kamu Mati

Dapat saya katakan film ini berpotensi, tetapi …

Judul dari film ini sejatinya adalah reaksi Fantar ketika dikabari bahwa sahabatnya, teman sebangkunya, Bagong meninggal karena kecelakaan. Fantar antara belum merelakan kepergian sahabatnya itu atau benar-benar tidak percaya karena menurutnya hanya orang yang sudah tua saja yang dapat meninggal. Setelah Fantar melakukan berbagai upaya untuk membuktikan bahwa Bagong masih hidup, arwah Bagong benar-benar datang menemuinya. Arwah Bagong yang digambarkan tidak seperti arwah – lebih menyerupai anak kecil biasa yang masih hidup – menunjukkan dirinya pada Fantar dan ibunya. Ia dan Fantar melakukan misi untuk mencari tahu orang yang menabraknya, dengan sesekali merawat ibunya yang sakit keras.

Saya mengerti premis yang coba diangkat pada film ini, adanya arwah anak kecil yang bergentayangan untuk menuntaskan urusannya yang belum selesai. Urusan tersebut dalam hal ini adalah mencari tahu siapa orang yang menabrak Bagong. Keluar dari konteksnya, film juga menambahkan premis bahwa arwah Bagong kembali untuk merawat ibunya juga, tanpa penceritaan tentang penyakit yang diderita sang ibu atau penyebab dari sakitnya tersebut. Premis kedua tersebut sayangnya sangat kurang berkesan, hanya ditampilkan 1-2 kali saja adegan dimana sang ibu merasakan kedatangan si anak. Film punya kesempatan untuk mengangkat cerita kasih sayang anak dan ibunya, tetapi tidak dimaksimalkan. Tokoh dewasa yang dibuat paling merasakan kematian Bagong adalah Budenya, yang setia merawat adiknya di kursi roda. Namun pada dua babak pertama, kita tidak benar-benar merasakan kesedihan mendalam sang Bude, hanya digambarkan melalui imbauan untuk tabah dari orang-orang yang berbicara dengannya. Kejadian di rumah Bagong pasca kematian Bagong pun semakin mendekati akhir film semakin tidak dilirik.

Sebagian besar cerita pada babak kedua diisi dengan interaksi Fantar dan arwah Bagong. Fantar adalah sosok yang membingungkan, antara tidak percaya takdir, tidak takut hantu, atau gila. Fantar tidak ingin mendengarkan fakta bahwa Bagong telah tiada dari siapapun. Ia bahkan melakukan hal-hal konyol demi membuktikan bahwa Bagong belum meninggal. Positifnya, Fantar tidak terkejut saat Bagong datang dan berkata bahwa dirinya belum “pulang” karena ketidakikhlasan Fantar. Oleh film, Fantar dijadikan tokoh perantara Bagong untuk mencari siapa yang menabraknya. Plot investigasi Fantar dan Bagong dikerjakan dengan sangat mengesampingkan logika, mulai dari cara mereka mengetahui rumah si pelaku. Di luar adegan investigasi mereka berdua, kebersamaan Fantar dan Bagong beberapa kali diceritakan dengan bumbu persahabatan yang pas.

Ketika film ini secara gamblang menyampaikan pesan moralnya melalui dialog seperti “harus mendengar jika ingin didengar” dan soal tugas Bahasa Jawa yang dikerjakan Fantar, film malah menjalankan fungsinya sebagai film horor dengan buruk. Efek penampakan arwah Bagong di rumah Hartog, si pelaku penabrakan, dibuat berlebihan dan dilengkapi scoring yang tidak tepat guna. Alhasil penampakannya menjadi tidak menyeramkan. Bagong yang bergentayangan di rumah Hartog dan turut menghantui Titin (istri Hartog) pun agak kontradiksi dengan tujuannya. Dalam menceritakan teror yang dialami Hartog, film malah menambahkan bumbu konflik internal Hartog dan Titin, membuat film ini semakin cocok menjadi sinetron Sabtu siang daripada sebuah film horor yang utuh.

Memasuki babak ketiga, film selain kehilangan logika juga kehilangan rasa. Film tidak memberikan bumbu dramatis pada interaksi Bagong dan Fantar, juga Bagong dan ibunya. Padahal di akhir film mereka akan berpisah, pertemuan terakhir mereka berpotensi menjadi momen yang mengharukan. Alih-alih demikian, film malah melupakan sosok Bagong dan memberikan plot twist yang datang secara tiba-tiba setelah upaya Fantar dan Bagong selesai. Ketika diberikan plot twist tersebut, reaksi saya sama seperti saat saya menonton Kembalinya Anak Iblis. Saya memutar otak beberapa kali, sejak awal film adegan mana yang menjadi musabab dari konklusi film yang tak terduga itu.

Jika aspek visual dari film ini dieksekusi dengan lebih baik, bagi saya film ini memiliki potensi besar. Ide tentang kasih sayang anak kepada ibunya, juga hubungan dua sahabat sejati, dapat menjadi drama yang mengharukan pada film ini. Sayang dalam bercerita, film ini kurang memberikan rasa, malah kerap mengesampingkan logika. Jika naskah digarap dengan benar, saya mengekspektasikan film ini akan berkesan seperti Mereka yang Tak Terlihat, tontonan drama horor yang mencuri perhatian saya sejak tahun lalu. Sebagai nilai akhir, saya hanya akan memberikan nilai 2 dari 10 untuk film ini.

Leave a comment