Daily Archives: October 19, 2019

Review Film Cinta Itu Buta

Di film ini, Dodit paling lucu selama ia bermain film, begitu juga Shandy Aulia tampil paling cantik.

Cinta Itu Buta merupakan adaptasi dari film Filipina berjudul Kita Kita. Saya sendiri belum menonton filmnya dan baru menonton trailer-nya saja sebelum menulis ulasan ini. Jadi apa yang saya ungkapkan tentang film ini, berdasarkan kacamata seorang yang belum pernah menonton Kita Kita. Dengan demikian, ulasan kali ini tidak akan membandingkan kedua film secara head-to-head, dan lebih membahas Cinta Itu Buta sebagai sebuah film yang utuh.

Film ini menceritakan Dyah (Shandy Aulia) yang tinggal di Korea dan bekerja sebagai seorang tour guide. Dyah sudah memiliki kekasih dari Korea, sudah bertunangan, tinggal mempersiapkan hari pernikahannya. Malangnya, tunangannya malah mendua dengan sahabatnya sendiri, benar-benar menghancurkan hatinya. Terbawa stres karena kejadian itu, penglihatan Dyah kabur, membuatnya buta untuk sementara waktu. Nik (Dodit Mulyanto), pria Indonesia, pergi ke Korea memanfaatkan promo besar tiket pesawat dalam rangka move on dari tunangannya, yang juga mendua dengan temannya. Nik pertama kali membantu Dyah berbelanja di minimarket, lalu mengantarkannya pulang. Nik tertarik dengan Dyah, pergi mengunjunginya tiap hari, walaupun direspon secara sinis oleh Dyah yang merasa tidak perlu bantuan apapun. Lama-kelamaan Dyah menerima Nik yang hanya mencari teman mengobrol, yang sudah tahu bahwa mereka sama-sama orang Indonesia. Kebersamaan Dyah dan Nik adalah hari-hari yang menyenangkan, sesama menghibur keduanya, walaupun Dyah belum bisa melihat rupa Nik yang sesungguhnya.

Film ini menjadi hiburan yang sangat tepat bagi para penggemar Dodit. Candaan khasnya selalu membuat saya tersenyum sejak menyaksikannya di OK-JEK dan Cek Toko Sebelah. Kali ini pun Rachmania Arunita berhasil mengeluarkan potensi komedi Dodit secara maksimal. Shandy Aulia pun saya yakin tampil paling cantik dibandingkan tokoh yang ia perankan pada film-filmnya sebelumnya. Ia sukses dijadikan objek gombalan Dodit sepanjang babak kedua film. Berkat penampilan Dodit, kita akan dibuat tertawa terbahak-bahak, termasuk ketika Dyah sedang membayangkan rupa Nik, yang nama panjangnya adalah Nikmatullah. Namun Dodit juga berhasil menjadi sosok polos juga serius bila dibutuhkan naskah. Tanpa dialog, ia berhasil membuat kita tertawa dan bersorak “mampus lo!” ketika berhadapan dengan mantan tunangan Dyah.

Pertemuan Dyah dengan Nik dimulai atas rangkaian kejadian-kejadian serba kebetulan. Saya tampak terheran dengan keputusan luar biasa Nik untuk terbang ke Korea demi melupakan kekasihnya, “Hah, ke korea banget?” Mereka, yang bernasib sama, kebetulan senantiasa dipertemukan naskah untuk saling melengkapi, saling mengisi hari-hari keduanya. Namun film akan mengungkap sebab dari segala kebetulan itu. Nik punya alasan tersendiri mengapa ia begitu mempedulikan Dyah, juga mengapa ia berani menghadapi mantan kekasih Dyah. Melalui pengungkapan ini, film seolah berpesan bahwa kebaikan di masa depan datang atas kebaikan yang pernah kita lakukan di masa lalu. Membawa pesan tersebut, kesan bahwa kebenaran tersebut mudah ditebak sejak awal film dapat dimaafkan.

Menyajikan romansa yang menghibur mulai babak kedua, sebenarnya film ini kurang memberikan rasa. Dyah mendapatkan kembali hari-hari yang menyenangkan semasa divonis buta sementara berkat Nik, pria yang ingin berteman dengannya, pria yang ia kira berdarah campuran karena dipanggil “Nick”. Tentang apakah Dyah langsung menerima Nik setelah ia dapat melihat kembali, film memberikan jawaban termudahnya, tak memberikan drama tambahan untuknya. Babak ketiga film, dimana film harus meninggalkan kesan paling mengharukan, entah mengapa kurang membuat sedih. Mungkin akibat monolog Nik yang jenaka, atau adanya plot yang mudah ditebak. Waktu 86 menit terasa kurang untuk mengenang kemesraan Dyah dan Nik, romantisme mereka tak dapat dibawa pulang dari bioskop. Apalagi film mengakhiri ceritanya dengan scene yang membuat saya berpikir “Cuma gitu aja?”

Minggu lalu terdapat tiga film Indonesia yang dirilis, semuanya kurang berhasil menyampaikan rasa yang ingin disampaikan. Termasuk film ini, dimana komedinya lebih berkesan dibandingkan romansanya, padahal di situs perfilman Indonesia genre film ini dicatat sebagai drama murni. Yang akhirnya hanya dapat saya berikan nilai 6.5 dari 10. Andaikan saya sudah menonton Kita Kita sebelum menonton film ini, mungkin nilai yang saya berikan akan lebih rendah. Karena ketika menonton trailer dari kedua film, saya berpikir “Kok banyak adegan yang mirip?” dan “Kok banyak adegan yang cuma di-translate?”

Review Film Sin

Ingin tahu premis dari drama remaja ini? Baca saja caption yang tertera di poster film ini.

Diberi judul Sin, kita tidak sedang membicarakan film tentang pelajaran matematika dan mengharapkan kemunculan sekuel dari film ini, Cos dan Tan. Sin (tentu maksudnya dosa) adalah film adaptasi dari novel berjudul sama, dengan premis yang cukup kontroversial, bagaimana jika engkau tahu bahwa kekasihmu adalah adikmu sendiri? Promosi film ini di media sosial cukup matang dengan adanya berbagai versi film pendeknya. Tiga yang paling mencuri perhatian datang dari tiga sutradara terkenal pula, Hanung Bramantyo (link film), Fajar Bustomi (link film), dan Rako Prijanto (link film). Telah menonton ketiga film pendek tersebut, membuat saya memasukkan Sin ke dalam daftar tontonan saya di bulan ini.

Sin menceritakan Metta (Mawar Eva De Jongh), siswi SMA yang tinggal sendirian dalam kemewahan, ibunya telah tiada, ayahnya tidak ia ketahui. Metta bukan anak perempuan yang baik, terbilang suka mempermainkan para siswa yang ingin berpacaran dengannya, karena selalu beranggapan bahwa mereka hanya menginginkan tubuhnya. Teorinya segera terpatahkan ketika ia menemui Raga (Bryan Domani), siswa di sekolah yang sama, yang ternyata seorang petinju amatir. Dengan agak mengancam, Metta senantiasa mencuri perhatian Raga, ingin Raga selalu menemaninya, bahkan tak ragu memanggilnya “pacar”. Akhirnya keduanya saling jatuh cinta, tetapi tidak untuk waktu yang lama. Dari ayahnya, Raga mengetahui siapa Metta sebenarnya, segera memutuskan Metta. Sementara itu, Metta mulai merasakan akibat dari perbuatannya, ketika ia sedang sedih-sedihnya.

Mawar Eva yang semula memerankan Annelies dalam Bumi Manusia menjadi sosok yang sangat berbeda dalam film ini. Ia berhasil tampil menjadi drama queen yang agresif, jauh dari image Annelies yang pernah ia tunjukkan. Ia hanya terlihat baik ketika berbicara tentang ibunya yang telah berpulang, mengisyaratkan bahwa keonarannya adalah karena ketiadaan sosok orang tua darinya. Sebagai laki-laki, saya sempat dibuat kesal dengan karakter Metta, terutama ketika ia menolak mentah-mentah siswa baik yang menginginkannya. Saat awal film, saya sempat berpikir “Am I watching the girl version of Joker?” terhadap Metta. Sedangkan untuk Bryan yang memerankan Raga, di awal ia sempat mengingatkan saya dengan dinginnya Rangga dalam Ada Apa Dengan Cinta? Semakin cerita maju, chemistry Bryan dan Mawar semakin menyerupai pasangan labil nan kurang romantis, gagal membuat penonton balik mencintai mereka.

Satu lagi, Metta adalah gadis baik ketika menghadap keluarga barunya.

Dari aspek audio, kebutuhan akan scoring pada film ini terlalu mengandalkan soundtrack. Saya sempat menghitung berapa banyak lagu cinta yang digunakan di sepanjang film, hingga akhirnya saya lupa berhitung. Itu bukan sesuatu yang buruk, tetapi saya ingin coba membandingkan penggunaan soundtrack ini dengan Twivortiare. Twivortiare mengandalkan satu soundtrack yang konsisten, di mana tidak selalu mengiringi adegan konflik pada filmnya. Banyaknya lagu yang diputar pada film ini akhirnya membuat film ini lebih cocok jadi FTV.

Ketertarikan Metta akan Raga diawali secara tidak kebetulan, karena jaket yang Raga berikan. Untuk mengembangkan premis tersebut, perpindahan alur film ini relatif cepat. Mulai dari memperkenalkan kehidupan Metta, beranjak memperkenalkan Raga, mengantarkan pada momen saat mereka resmi berpacaran, mengungkap kebenaran akan Raga dan Metta, hingga momen di mana Raga harus menyelamatkan Metta. Setiap plot tersebut terasa singkat saja, itulah yang membuat saya tidak merasakan cinta antara keduanya. Semuanya, ditambah plot yang ditambahkan untuk membuat film makin dramatis, seolah terbatas porsi waktu masing-masing plot, gagal membuahkan rasa. Mungkin dapat saya hitung dalam film, adegan masa berpacaran Metta dan Raga tidak kurang dari lima menit dari durasi keseluruhan. Tambahan konflik karena rivalitas yang dibawa keluar ring tinju dan balas dendam sahabat yang tersakiti pun terjadi dan selesai dalam waktu yang singkat, benar-benar konflik pendek bercita rasa FTV. Ya, plot balas dendam sahabat Metta tersebut benar adanya, tampak untuk mewujudkan karakter “orang jahat adalah orang baik yang tersakiti,” seperti kata warganet setelah menonton Joker.

Penyelesaian cinta terlarang antara Metta dan Raga dibuat cukup mengejutkan. Demi mencapai titik happy ending, film menunjukkan satu lagi kebenaran tentang asal usul Metta melalui plot rasa sinetron lainnya. Sebuah konklusi yang membuat premis awal film ini maskin sedikit untuk dirasakan. Di akhir film juga kita akan paham mengapa film ini diberi judul Sin atas monolog terakhir dari Metta. Sayang keterbatasan durasi membuat film ini tidak sempat menunjukkan perubahan dalam diri Metta setelahnya.

Untuk film yang memiliki banyak soundtrack ini, saya berikan nilai 5 dari 10. Jika film dapat lebih fokus dalam menceritakan hubungan Metta dan Raga sejak awal, saya mungkin akan memberikan nilai lebih. Sebagai bonus, dari ketiga film pendek Sin yang saya sebutkan di paragraf awal, inilah film pendek yang paling menarik perhatian saya dari segi cerita, yang saya setuju jika disebut versi dark dari Dua Garis Biru.